Sastra Lampung Post

Minggu, 14 Juni 2009

APRESIASI

Minggu, 14 Juni 2009

Lampung Post



SAJAK-SAJAK

Sunlie Thomas Alexander

Menyusur Glodok

--bersama zen hae

di mulut lorong,

hikayat pipih serupa tubuhku

terimpit pintu pintu hoki (dan besi!);

buah tanganmu yang terberkahi

kubuka daun jendela reyot di matamu

lalu mendapati meja-kursi berdebu,

lemari kayu cokelat tua

dan teh yang kau suguhkan padaku

mengental di dasar teko

seperti menjarah

setiap kenangan yang lewat,

setiap kecemasan yang hinggap!

ah, menjelang sin cia

jarak dan waktu begitu kusam

di dinding dinding papan

yang merapuh dari intaian

mata lapar

wahai, sahibul hikayat!

berilah aku riwayat kota cina

di lorong-lorong padat yang

menyusun labirin dalam tubuhku

di wangi aroma dupa yang menjauh,

atau huruf huruf merah yang terbakar

di dahiku

maka, akan kuhaturkan tabik

dengan rapat jemariku yang luka

sembari merajah angka angka,

tato dan doa

kenangan kian menepi

dari rencana, spekulasi, dan

boneka kucing pemanggil hoki di etalase

hikayat makin pipih,

kisah-kisah hinggap dan terbang lagi

Jakarta-Yogyakarta, 2008-2009

Sin Cia: Tahun Baru Imlek

Lanskap Leluhur

di tanah asing bagi jatuh sauhmu,

aku telah menyusu pada

sejarah tak utuh

hingga ari-ariku

yang terpotong dari luka

di pusar ibu;

hangus juga oleh kobaran dendam

masa silam itu

tapi telah kuwarisi

dendang ibu, dan mantera

yang kau tuliskan di sekujur tubuhku

jadi penangkal bala

di setiap pintu rumah (dan cerita hantu)

walau tak kunjung merindu

pada tempat kau melepas sauh

dengan panji-panji merah

terpancang di keningmu,

tebingku!

o, sempurnalah tubuhku

sebagai aksara ganjil

yang menerima dan menolak

takdirmu: hikayat pahit

terampas dari buritan kapal

yang berlayar di ganas lautan

dengan tiga titik nyala dupa

mengasapi hari lahirku

di sini, kuperas darahmu

dari setiap ujung kesakitan di tubuh,

dari seluruh lekuk sejarahku

sebagai perantau abadi

di tanah kelahiran yang pilu!

Yogyakarta, 2008

Bunga Matahari
: romi zarman 

dalam sebuah operet anak-anak

aku telah membayangkanmu

menjadi bunga matahari

mekar di antara rerumputan,

merona liar di liat belukar

bila kelopakmu ingin menyaingi mentari,

akulah penyaksi yang gugup

membaca bahasa agung tuhan

hingga setiap kehendaknya

siap ditakwil ulang

lalu setiap kupu-kupu akan bertandang

mencumbui kemolekan yang jantan:

berkelok jalan rimba, berderet kampung tua

bersusun bukit, bersimpang ngarai

sampai ke tepian perempuan

dan kehidupan tiba-tiba purba

untuk kembali dikisahkan

di beranda atau pelataran halaman

tapi begitulah kau mekar bersama cahaya

matahari di kedua mataku yang polos:

mengintip girang pertunjukan

yang mengamalkan permainan kudus

o, dalam operet anak anak itu

kubayangkan kau mempersembahkan

keindahan dengan ikhlas kepada kupu-kupu

dan kelopak perempuan;

luka yang diam diam direstui Tuhan

Yogyakarta, 2008


Sunlie Thomas Alexander, lahir di Belinyu, Pulau Bangka, 7 Juni 1977. Belajar Seni Rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan Teologi-Filsafat di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menulis cerpen, puisi, esai dan artikel di berbagai media dan dalam sejumlah antologi bersama. Buku kumpulan cerpennya, Malam Buta Yin (Gama Media, 2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman