Sastra Lampung Post

Sabtu, 21 Februari 2009

Merampok Holt, Mencederai Lekra

Kompas, Minggu, 22 Februari 2009 | 01:27 WIB 

WAHYUDIN

Pada September 2008, Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri menerbitkan buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 setebal 584 halaman dengan sampul putih bergambar palu-arit.

Siapa yang tak akan terpikat dengan kata-kata Adrian Vickers ini:

”Ini adalah terbitan yang punya makna penting bagi Indonesia di masa periode Demokrasi Terpimpin. Nilai dari buku ini adalah bahwa ia dengan sangat hati-hati menggunakan/mengumpulkan bukti untuk menyingkirkan mitos tentang Lekra yang muncul sebelumnya. Setelah buku Keith Foulcher tentang Lekra yang terbit pada 1986, tak ada lagi studi komprehensif tentang subjek yang paling penting ini, sehingga kita sangat berterima kasih kepada penulisnya yang memberi gambaran yang jelas tentang sejarah kebudayaan Indonesia” (hal 2; kursif dari saya).

Adrian Vickers adalah guru besar kajian bahasa dan budaya Asia Tenggara. Ini artinya, ia bukanlah orang sembarangan yang mau sembrono menilai sebuah riset atau buku sejarah—kecuali ia memang ingin memalukan diri sendiri.

Mungkin itu sebabnya, Muhidin dan Rhoma menjadi begitu percaya diri—dan membuka buku ini dengan pengantar, antara lain, seperti ini:

”Peran buku ini adalah membangunkan kembali panggung buat Lekra ’sepersis’ mungkin pada periode-periode yang bergemuruh itu…. Suara-suara persemayaman Lekra yang sejatinya hiruk-pikuk itu kami biarkan mengaok-ngaok dominan seperti apa adanya” (hal 6; kursif dari saya).

Sungguh besar kehendak mereka, bukan saja untuk mendudukkan buku ini dengan terhormat di ranah intelektual, melainkan juga untuk memuliakan Lekra di panggung sejarah Indonesia—dan ini tak main-main.

Betapa tidak, selama 1,5 tahun mereka bergelut dengan sekitar 15.000 artikel kebudayaan Harian Rakjat yang ”telah tersangkar selama 30-an tahun” sebagai ”bacaan terlarang” di sebuah perpustakaan di Yogyakarta. Dari sini, sejak April hingga pertengahan Agustus 2008, mereka merekonstruksi artikel dan guntingan berita itu menjadi buku yang dilewarkan Penerbit Merakesumba, Yogyakarta, ini.

Sungguh itu merupakan laku intelektual yang benar-benar heroik. Wajarlah jika mereka menjadi begitu bersimpati—kalau bukan berpihak—kepada Lekra. Tapi justru di sinilah letak perkara buku ini. Simpati yang begitu kuat membikin mereka lalai bersikap analitis.

Maka izinkan saya ”membersihkan” kelalaian tersebut, terutama yang berserakan di halaman 283-333 pada ”Bagian Lima: Seni Rupa” buku ini, sedangkan perkara ”membersihkan” halaman-halaman lainnya biarlah menjadi urusan peneliti surat kabar, sastra, film, seni pertunjukan, seni tari, musik, dan perbukuan.

Pada ”Bagian Lima: Seni Rupa” ini, mereka tak benar-benar mempersilakan ”suara-suara persemayaman Lekra mengaok-ngaok dominan seperti apa adanya”, tapi mengintervensinya dengan merampok secara brutal perkataan dan pikiran Claire Holt dalam edisi bahasa Indonesia Art in Indonesia: Continuities and Change (1967)—yang kini telah menjadi klasik.

Karena itu, saya curiga besar mereka sebenarnya tak memiliki pengetahuan yang memadai tentang wacana dan sejarah seni rupa Indonesia. Perhatikan kutipan perkataan Muhidin dan Rhoma di bawah ini:

”Di tahun 1939, Sudjojono dengan teknik baru menghasilkan lukisan terbaiknya ’Di depan kelambu terbuka’. Lukisan yang lain yang dihasilkan dalam tema dan gaya yang sama adalah ’Cap Go Me’” (hal 289).

Saya sempat terkesima: bagaimana mereka tahu lukisan ”Di Depan Kelambu Terbuka” merupakan karya terbaik Sudjojono yang dikerjakan dengan menggunakan teknik baru—teknik macam apa? Ternyata, pencerapan tersebut merupakan ikhtisar dari pencerapan Claire Holt atas kedua lukisan Sudjojono tersebut. Berikut ini pencerapan Claire Holt yang sesungguhnya:

”Pada tahun 1939 Sudjojono menghasilkan apa yang mungkin merupakan lukisannya yang terbaik selama ini, yaitu ’Di depan kelambu terbuka’. Dalam tema dan ekspresi lukisan ini benar-benar tak ada yang mendahului dalam kancah seni Indonesia” (Claire Holt, hal 283).

Saya yakin anda bakal terkejut sangat setelah menyimak kata-kata Claire Holt ini:

”Pada tahun berikutnya Sudjojono menghasilkan lukisan yang lain yang baru dalam tema dan gaya. Dengan disebut ’Cap Go Me’, lukisan ini menggambarkan kegembiraan yang tidak keruan dari sekerumunan orang pada perayaan Tahun Baru Cina” (Claire Holt, hal 284).

Sungguh saya tak bisa menalar kelancungan yang serampangan itu—dan yang membikin saya semakin gregetan adalah tatkala mengetahui bahwa mereka melakukan perbuatan yang sama dongoknya kepada Basuki Resobowo. Simak baik-baik uraian mereka di bawah ini:

”Basuki Resobowo memandang Affandi yang hidup pada masa Orde Baru dengan cara yang berbeda. Affandi menurutnya adalah sosok yang memiliki mutu seni paling unggul di Indonesia, tetapi Affandi tanpa dimengerti dan disadari telah menjadikan salah satu faktor penghambat lahirnya manusia baru Indonesia, manusia konyol dan dekaden” (hal 330; huruf miring dari saya).

Mereka menginstruksikan pembaca buku ini untuk membaca pernyataan tersebut selengkapnya dalam buku Basuki Resobowo, Bercermin di Muka Kaca (Yogyakarta: Ombak, 2005: 30). Saya patuhi perintah itu—dan inilah, antara lain, kata-kata asli Basuki Resobowo yang saya temukan di halaman itu:

”Baiklah ini soal dia, karena di sini letak kepuasan hidupnya sebagai manusia. Yang jadi prihatin saya ialah bahwa Affandi tanpa dimengertinya dan disadari telah menjadikan dirinya sebagai faktor penghambat lahirnya manusia baru di Indonesia, manusia yang tidak konyol dan tidak dekaden” (kursif dari saya).

Kita lihat, betapa mereka telah bertindak tak semenggah terhadap Basuki Resobowo—sosok yang mereka tahbiskan sebagai ”juru bicara seni rupa Lekra” (hal 296)—dengan menyelewengkan kata-katanya dalam paramasastra lancut yang menyesatkan pemahaman pembaca atas kemasygulan Basuki Resobowo terhadap sosok Affandi pada masa rezim Soeharto.

Para pembaca yang peka sangat mungkin menyaksikan aksi-aksi perampokan semacam itu—juga anakronisme menjengkelkan (hal 288 dan 312; hal 289 dan 312)—merajalela dalam ”Bagian Lima: Seni Rupa” buku ini.

Maka, saya terpaksa bereaksi keras: dengan segala kegegabahan mereka dalam merampok data sejarah milik penulis lainnya dan menggelapkannya dalam interpretasi sesat dan kesimpulan-kesimpulan beracun, mereka justru jauh dari ”sangat hati-hati”—bahkan cenderung melecehkan ”kebenaran ilmiah” untuk tidak berat sebelah, jauh dari purbasangka, dan bebas dari kepentingan nonilmiah.

Dengan demikian, mereka sesungguhnya berlaku tidak adil—bukan hanya kepada pembaca buku ini, melainkan juga kepada Lekra. Alih-alih memuliakan Lekra, mereka mencederainya dengan sejumlah mistifikasi sehingga Lekra tampak konyol dalam buku ini.

Sampai pada titik ini, saya kira, mereka telah mengabaikan wejangan anggota Pimpinan Pusat Lekra (1958), Pramoedya Ananta Toer: ”Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”.

Wahyudin, Kurator Seni Rupa, Tinggal di Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman