Jawa Pos, Minggu, 11 Juli 2010
Lukisan Perempuan di Museum Blanco
debu berebut merajam waktu
aku terpenjara mata perempuan
semata perempuan dalam kanvasmu
mata yang menari entah dalam irama
gamelan, jazz, bosanava atau salsa.
mata yang samar serupa kabut
memucat pada lembar biografi
mefosil dalam geletar ingatan
mata perawan menyimpan rahasia api
buah larangan yang disembunyikan dewa-dewa
pada bilik-bilik kahyangan yang pengap
ruas tubuhnya bergetar menafsiri rahasia malam
jejak-jajak malaikat tersesat
pada rambut yang berkibar-kibar
meramu wangi udara serupa harum sesajen
ditaburkan pada pori-pori di tubuhmu
di tengah ranum bola matanya
jalan-jalan rumpil berkelok-kelok,
sungai dengan jenggot sulur yang getas
di antara akar-akarnya
bayangmu bergoyang-goyang
bungkuk dan batuk-batuk di bangku batu
menganyam senja, jarak, peristiwa
juga warna malam dan awan
menunggu menjadi hantu di taman tua
merajam sunyi menjadi bunyi
Ubud-Ngawi, 09/010
---
Camar Mencari Ceruk Karang
waktu yang digaris gerimis mengingatkanku
ketika tapak kaki bergilir satu-satu menapak jalan setapak
mendadak matahari begerak pelan terbenam di wajahmu
bersama kleneng lonceng yang ditabuh bergantian
mengiringi lumut-lumut liar dibesarkan embun
bertumbuhan menggerogoti batu-batu tepian
''kuiringi perjalananmu bersama dongeng ibu selepas senja'' bisikmu lamat-lamat
sebongkah mesiu rindu meledak di pusat jantung: amis keringat bapa,
harum rambutmu, juga suara bocah-bocah main jamuran di pelataran
sebelum mengabur dalam lembar kalender yang berlepasan
dan kita terperangkap cuaca bersama getar kuncup bunga
kenangan purba yang berhamburan dalam warna tanah
selangkah lagi sampai di ujung belawan
angin menuliskan pesan di ranting-ranting: ini tak akhir perjalanan!
mendadak danau di kelopak matamu mengobarkan api
membuka kembali rute-rute perjalanan yang mesti dilalui
meski bumi menjadi murung kehilangan kata-kata
di ujung belawan di awal malam, seekor camar berputar-putar dalam gelap
mencari sisa ceruk karang yang akan ditatahnya jadi sarang terakhir
Ngawi, 2009/2010
---
Kunti di Tepi Kali
ranjang batu, ayunan batu, lumut di atas batu
kenangan yang akan setia mengunjungimu
dia akan mengingatkanmu tentang kalender yang pernah tanggal
segera musnah oleh taring rayap tapi angkanya tetap tinggal
alir kali jalan kenangan terpanjang
lurung waktu tak bisa dipagar kawat berduri
di laut gericiknya akan sampai
di hulu-hulunya kau akan menemu sampan
melayarinya seperti nahkoda haus mengangkat sauh
menitip rindu pada tajam cadas karang
rindu yang beku dan kelu
meledak dalam palung paling arus
kenangan akan turut meledak dijakunmu
membayangkan ibu mengibar-ngibarkan sejarah
pada secarik kutang di kain jemuran
melambai-lambaimu bersama angin
mendekam ngilu di sebujur pori-porimu
''Radeya, eja dan rapal namamu dengan benar meski lidahmu beku!''
Di gudang tua itu suatu saat akan kau dapati potretmu
ibu meletakkannya di samping pigura laki-laki
yang disebut-sebut sebagai suami
''Radeya, tak usah kau risau
toh sebuah nama adalah fana
seperti debu kelak turut larut
dibawa lari kereta kudamu
menuju dunia yang lain lagi''
Ngawi, 2008/2010
Tjahjono Widijanto , lahir di Ngawi, 18 April 1969. Buku puisi tunggalnya: Ekstase Jemari (1995) dan Dunia Tanpa Alamat (DKJT, 2003). Diundang menjadi pengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan (Juni, 2009), peserta Festival Sastra Internasional Ubud Writter and Reader Festival 2009.
Sastra Lampung Post
Sabtu, 10 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Catatan ke 23
Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!
17 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar