Sastra Lampung Post
Sabtu, 20 Maret 2010
Setelah Keruntuhan Candi Kata
korantempo,21 Maret 2010
Zen Hae
DUNIA puisi Indonesia modern adalah dunia yang hancur-lebur. Lebih dari 60 tahun silam Chairil Anwar sudah menyatakan itu dalam sajak-sajaknya. Kehancuran dunia dan upaya aku untuk terus bertahan bukan hanya menjadi tema yang bersembunyi di balik struktur sintaksis puisi, tetapi muncul lewat frasa-frasa yang tegas sekaligus kikuk, padat-gerumpung, dengan bentukan kata yang bergerak antara kelisanan yang telah berurat-akar dan keberaksaraan yang terus memperkukuh diri. Chairil mengalami modernitas sebagai yang pedih dan mematikan tapi juga menyala-nyala, memberi daya hidup hingga seribu tahun lagi.
Sindu Putra adalah salah satu penyair Indonesia mutakhir yang memperpanjang gema kehancuran dunia itu. Dalam naungan gema itu, segalanya bisa tidak memberi harapan sama sekali, termasuk puisi itu sendiri. Baginya, puisi adalah “candi kata”--“Rumahku dari unggun-timbun sajak,” kata Chairil. Sebuah tempat semadi yang semula dipercaya bisa menyelamatkan penyair, tapi kemudian terus-menerus kehilangan aura mistiknya dan kelak hancur.
Tentu saja candi kata bukanlah temuan yang khas Sindu. Lebih dari delapan abad silam, menurut P.J. Zoetmoelder, para penyair Jawa Kuno (sang kawi) menegaskan puisi sebagai alat untuk berkomunikasi dengan dewa sekaligus wadah tempat ia bersemayam. Dalam “yoga literer” itu, sang penyair berharap keindahan syair-syairnya mampu memikat sang dewa supaya turun dan berdiam di dalam candi kata sebelum akhirnya ia mencapai kemanunggalan dengan dewa pilihannya itu. Pengantar kakawin Bhomantaka menyebut, “Semoga candinya kini didirikan di dalam kata-kata syair ini, sehingga merupakan suatu tempat kediaman yang pantas bagi dewa asmara yang menampakkan diri.”
Sindu dan para pendahulunya menempatkan candi kata sebagai sebentuk metafora. Bedanya, Sindu mengupayakan tipografi puisi yang lebih asosiatif. Di mana pun dalam puisi Dongeng Anjing Api (Arti Foundation, Juli 2008), pemenang Khatulistiwa Literary Award 2009, kita akan menemukan bangun puisi yang menyaran kepada wujud separuh candi, yang jika dicerminkan akan menjelma sosok candi utuh. Penyair memadukan sedemikian rupa larik-larik panjang dan pendek, di samping menjarangkan secara ekstrem spasi antarkata, sehingga menyerupai lubang-lubang pada dinding candi.
Lubang-lubang itu seakan-akan mau menegaskan bahwa sebuah tempat semadi tidak terputus sepenuhnya dengan dunia ramai, semacam ventilasi yang mengalirkan udara dan cahaya matahari. Tapi mereka bisa juga muncul akibat copotnya sejumlah besar batu penyusun candi tersebut. Karena itu, unsur-unsur di dalamnya bukan lagi “puing-puing yang saling merekatkan diri,” sebagaimana dinyatakan Nirwan Dewanto dalam pengantar Lima Pusaran: Bunga Rampai Puisi Festival Seni Surabaya 2007, tetapi yang bersiap menyongsong kehancuran. Sebuah nujuman sang penyair menyebut pada akhirnya “candi kata itu pun runtuh.” Lantas, “puisi terakhir yang aku tulis di tubuhku, punah” (puisi “Akhir dari Puisi”).
Puisi sebagai candi telah runtuh, selaku rajah pun sirna. Maka tampillah zaman tanpa puisi. Zaman tanpa keindahan. Ketika manusia, dengan “tangan meleleh”, “tanpa aksara”, “kehilangan warna dan rambut merah”, terpenjara di dalam “rumah kaca”. Sedang di luarnya hanyalah dunia yang penuh luka dan kematian. Tapi dua makhluk yang melambangkan kebebasan dan keindahan penyair dan puisinya masih mencoba bertahan hidup: “kupu-kupu mendaur ulang sayapnya / di sela waktu yang tersobek / burung-burung mengeramkan paruhnya hingga tanpa abu”. Dalam hantaman samsara ini yang bisa dilakukan aku kemudian adalah semadi untuk menemukan kembali kaitan dirinya dengan alam ilahiah. Maka, di bait akhir puisi itu Sindu menulis:
Tubuhku inilah tanah sebuah hutan terbuka
ke mana pohon merapuh, burung dan kupu-kupu dituakan”
aku ciumkan tanah, menghormati padi
menghormati segala yang ditanam dengan siraman air mata
tubuhku pun payau, merindukan bakau
puisi, berakhir juga ke tubuhku
Tamatnya puisi adalah tema penting, jika bukan terpenting, dalam Dongeng Anjing Api. Puisi lainnya, “Dalam Tubuh Artupudnis”, menyatakan sirnanya puisi berlangsung di dalam keseluruhan tubuh “artupudnis” (anagram dari Sindu Putra). Bedanya, sirnanya puisi di sini tidak didahului oleh bencana. Bukan manusia, melainkan tuhan (dengan “t”) yang mendapati fakta itu. Apakah itu berarti penyair artupudnis sudah mati, sehingga puisi di tubuhnya lenyap begitu ajalnya tiba? Sehingga yang hadir di hadapan tuhan adalah bukan lagi penyair, tetapi “mantan penyair”?
Teka-teki ini bisa dipecahkan dengan menelusuri berubahnya proyeksi ujaran puisi. Jika pada dua bait pertama “aku lirik tersembunyi” menempatkan artupudnis sebagai alter ego dalam posisi orang ketiga yang tampaknya sudah mati, baik harfiah maupun metaforis. Di bait-bait berikutnya aku menempatkan alter ego-nya itu dalam posisi orang kedua dan disebutnya “kau”: “Kau masuk ke dalam mimpi mereka”.
Lantas siapakah mereka? Mereka adalah orang-orang yang memburu terang yang lain setelah kematian penyair. Yang berpesta di bawah patung pahlawan di tengah keramaian kota. Sebuah pesta yang karena permainan oksimoron dan pengulangan subjek menjadi tak bermakna dan mengasingkan: “mereka berpesta cahaya lampu yang gelap / mereka kenakan bunga-bunga tanpa warna”. Kau kemudian bukan hanya hadir dalam mimpi tapi dalam kehidupan nyata, seperti Yesus yang menampakkan diri di depan muridnya, yang membuat mereka “melolong / memandangimu yang tegak di antara mereka / bagai patung pahlawan, bagai patung garam”.
Kini yang terasing bukan hanya mereka, tetapi juga kau yang tidak bisa memahami perilaku mereka, karena “mereka baca sajak-sajak yang tak kau kenal / yang belum dicipta para mantan penyair”. Tapi di mata tuhan, semua ini keheningan belaka; sebuah kondisi yang mendorongnya menunjukkan kuasa, “dan keheningan ini tuhan / mewarnai juga mimpi mereka”. Sebuah keheningan mahapanjang yang menandai tamatnya puisi: “dalam tubuh artupudnis / tuhan tak lagi menemui puisi / sepanjang sejuta tahun keheningan ini”.
Jika tamatnya puisi membuat penyair tidak lagi punya peran dominan, kematian penyair berlangsung bersamaan dengan kelahiran puisi. Ia adalah pemakzulan terhadap hasrat yang mendewa-dewakan penyair sebagai oknum yang lebih penting daripada puisi itu sendiri, setelah sebelumnya otoritas kepenyairan itu disangsikan. Dalam puisi “Penyair dalam Diriku” sang penyair dinyatakan “mati” dan puisi menjadi “epitaf nisan, tempat namaku / dilupakan, nama penyairku”. Sementara puisi “Batuan” merumuskan pemakzulan itu dengan pembalikan logika Cartesian: “karena aku menulis puisi / maka aku tak ada”.
Penyair tidak sepenuhnya sirna, sebenarnya. Ia mengepompong. Momen yang dalam puisi lainnya dimanfaatkan untuk “memahami gurat bunga” (puisi “Hutan Bakau”). Lanjutan puisi “Batuan” menegaskan bahwa sebagai patung indigo si penyair akan menjadi penjaga rumah kupu-kupu:
...
dan nun di batu-batu Batuan
sebuah rumah kupu-kupu berdiri
setipis bayangan,
dikelilingi pohon-pohon yang dikerdilkan
yang bersikeras memanjang
berbunga dalam redup, lebih rendah dari perdu
sarang serangga malam, dengan sengat beracun
dengan mata awan yang tumbuh
rumah kupu-kupu itu kini,
milikmu. tinggi.
sementara dengan sayap-sayap berlumpur
aku berkepompong dari luarnya
Kutipan ini menonjolkan setidaknya dua hal. Pertama, surutnya dominasi aku lirik atas ujaran puisi. Di sini ia semata-mata narator dan bukan tokoh utama. Ia dikendalikan, bukan mengendalikan. Ia hanya kepompong, belum lagi kupu-kupu. Yang dominan di sini adalah suasana liris alam yang bergerak sedemikian rupa; yang tak terjangkau lagi oleh kekuasaan aku. Kosongnya peran aku lirik, dalam contohnya yang terbaik, bisa kita temukan dalam sejumlah “puisi suasana” Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono.
Kedua, pemalihan. Kepompong adalah fase yang menghubungkan “aku-yang-sudah” (manusia-ulat) dengan “aku-yang-akan” (manusia-kupu-kupu). Dengan kata lain, “aku” akan mengalami pemalihan (metamorfosis). Bukan lagi manusia, tetapi segala yang bukan-manusia: hewan dan tumbuhan. Bukan hanya kupu-kupu, tapi juga burung, ulat, serangga, ikan, kodok hijau, batang pisang, dan seterusnya. Dalam Hinduisme, konsep yang berkerabat dengan fenomena ini adalah reinkarnasi. Yakni, seperti kata Robert Zaehner, “Kondisi di mana jiwa individu dilahirkan kembali merupakan akibat perbuatan-perbuatan buruk atau baik yang dilakukan dalam kehidupan sebelumnya.”
Bagaimana hubungan pemalihan ini dengan dengan reinkarnasi dalam Hinduisme, bisa menjadi telaah tersendiri. Yang bisa dicatat, pada Sindu pemalihan lebih menyerupai sebentuk adaptasi dalam hidup yang dirundung kehancuran, dengan imbuhan surealisme di sana-sini, daripada “hukuman” bagi jiwa yang buta terhadap jalan iman dan kitab Veda. Di awal puisi “Tentang Sebatang Pohon”, misalnya, aku lirik yang memasuki hutan kota dan menggenggam pohon tiba-tiba menjelma jadi sebatang pohon, yang di lidahnya mekar sekuntum anggrek hitam. Tapi itu belum cukup. Di akhir, ia benar-benar menjadi sekuntum bunga, setelah tergoda oleh permainan elipsis: “aku merasa (jadi) sebidang kupu-kupu”:
...
aku berulang-ulang mengeja membungkuk searah matahari
merebahkan tubuh mengikuti sumbu bumi
aku merasa sebidang kupu-kupu di antara warna-warna membakar
seseorang memintaku memasuki kepompong waktu
aku jadi setangkai kembang manikung yang tertanam dalam api
Apakah sebatang pohon yang menjadi setangkai bunga sama dengan Gregor Samsa yang menjadi seekor serangga raksasa atau ulat yang menjadi kupu-kupu? Pemalihan ini baru tampak masuk akal jika permainan elipsis itu ditafsir begini: “aku merasa (kehadiran) sebidang kupu-kupu”. Kelak kupu-kupu yang berkomplot dengan api itulah yang mengisap saripati kembang manikung. Lantas ia akan layu, mati, hangus. Bukan hanya oleh kupu-kupu, tapi juga oleh api. Inilah fenomena yang diharapkan bisa sejajar dengan kematian penyair dan keruntuhan candi kata: wujud-wujud mutakhir dunia yang hancur-lebur itu.
Zen Hae telah menerbitkan kumpulan cerpen Rumah Kawin (KataKita, 2004) dan kumpulan puisi Paus Merah Jambu (Akar Indonesia, 2007). Tulisan di atas adalah bagian pertama. Yang kedua akan termuat minggu depan.
Paralogi: Satu Residu yang Tersisa
Kompas,Minggu, 21 Maret 2010 | 03:22 WIB
Edy A Effendi
Kenyataan sastra hari ini, mau tak mau, harus dilihat dan dipandang dalam prinsip-prinsip paralogi. Satu prinsip atau kaidah yang mendedahkan keberagaman realitas, unsur-unsur, dan ruang permainan dengan logikanya masing-masing, tanpa harus saling menindas atau mengerangkeng satu dengan yang lain.
Para cerdik pandai melihat realitas ini, ibarat permainan catur. Setiap bidak memiliki rule of game dan kehendak sendiri tanpa harus saling menindas bidak-bidak lain. Dalam paralogi, imajinasi merupakan kekuatan atau daya yang penting.
Paralogi tidak dibangun atas dasar kesepakatan melalui proses yang berkesinambungan dengan aturan main yang ada, melainkan melalui apa yang disebut Jean Francois Lyotard sebagai dissensus yang tidak selalu berkesinambungan. Paralogi juga tidak dibangun sepenuhnya atas penemuan-penemuan baru, melainkan berupa kemampuan menggunakan apa yang sudah ada, sudah tersedia dengan cara-cara baru.
Tentu saja, niatan melihat dan memandang sastra dalam bingkai kaidah paralogi ini berangkat dari lahirnya beragam produk sastra dewasa ini yang menyodorkan berbagai bentuk kreatif dengan cara tutur yang berbeda, dengan konvensi yang berbeda dan dengan gairah kreativitas yang menyebar ke segala arah.
Realitas kreatif
Pada tataran ini, Susan Sontag, kritikus seni, melihat lahirnya beragam realitas kreatif merupakan indikasi lahirnya sensibilitas baru: sebuah kesadaran akan kemajemukan, bermain dan menikmati realitas secara bersama-sama, tanpa harus membusungkan dada untuk selalu berada dalam garda depan atau menaklukkan realitas lain.
Pikiran Susan Sontag soal sensibilitas baru itu sejatinya sebagai cara merayakan dan merespons hadirnya kemajuan teknologi sekaligus meruntuhkan prinsip-prinsip kesatuan ontologis yang sudah tak relevan lagi dalam traktat konstelasi penciptaan dewasa ini. Sebuah cara yang memberi kabar bahwa kekuasaan telah terbagi-bagi dan tersebar ke berbagai arah, ke berbagai ruang dan membuka pintu demokratisasi teknologi.
Dalam lajur pikiran seperti ini, tentu saja didorong cara kerja Lyotard, bahwa dalam dunia yang sangat dipengaruhi kemajuan teknologi, prinsip kesatuan ontologis sudah tidak relevan lagi. Lebih jauh filsuf Perancis itu bergumam bahwa prinsip-prinsip yang menegakkan modernisme: rasio, ego, ide absolut, totalitas, teleologi, oposisi biner, subyek, kemajuan sejarah linear yang disebutnya narasi-narasi agung itu, telah kehilangan legitimasinya. Kisah-kisah agung modernisme itu hanyalah topeng yang bopeng, mistifikasi yang bersifat ideologis, eksploitatif, dominatif, dan hanya menghuni ruang-ruang semu.
Maka, tak perlu memaksakan kehendak agar karya-karya sastra Indonesia melirik atau menaruh subyek uang dalam ruang-ruang kreatif. Apalagi seorang Bandung Mawardi berkeluh kesah dalam Uang, Modernitas dan Tafsir Sastra, (Kompas, 7/3) bahwa ”kesanggupan untuk menggarap tema ini mungkin membuka wacana kompleks kesadaran atas fakta-fakta dalam garapan sastra. Uang tentu jadi perkara besar dalam biografi manusia-manusia Indonesia ketika dengan gairah atau gerah tumbuh dalam arus dan alur modernitas pada abad XX.”
Memang, jika kita mengikuti jejak pikiran yang ditebar Jean Baudrillard, kebudayaan dewasa ini adalah kebudayaan uang, excremental culture. Uang menempati peran penting dalam masyarakat postmodern. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, fungsi dan makna uang tak sekadar alat-tukar, lebih dari itu merupakan simbol, tanda, dan motif utama berlangsungnya kebudayaan. Kebudayaan masa kini adalah sebuah dunia simulasi, dunia yang terbangun dengan pengaturan tanda, citra, dan fakta melalui produksi maupun reproduksi secara tumpang tindih dan saling berkelindan.
Persoalan sastra hari ini bukan sekadar urusan tema, apalagi menganggap kesanggupan untuk menggarap tema uang mungkin membuka wacana kompleks kesadaran atas fakta-fakta dalam garapan sastra. Bukankah sebuah karya tidak saja didekati dari kerangka tema secara makro, tetapi seharusnya dikaji lebih subtil, detail, dan terstruktur ’darah daging’ karya itu sendiri? Tentu saja, tema seharusnya dibangun sebagai sarana untuk memproduksi makna-makna dan gagasan-gagasan dalam sebuah karya.
Salah baca
Kehendak Bandung soal tema uang ternyata disalahpahami Binhad Nurrohmat dalam Mata Sastra Tak Melirik Mata Uang? (Kompas, 14/3). Mawardi menginginkan tema uang menjadi isu sentral dalam sebuah penceritaan karya. Tema tak sekadar tempelan atau sampiran sebuah cerita. Tetapi, tema menjadi bagian integral dalam cerita itu sendiri. Tengoklah pikiran Mawardi yang mencoba menyisir soal perlunya tema dalam karya sastra. Ia melihat penggarapan sastra dengan tema uang tentu bisa jadi dokumen untuk membaca resepsi dan perilaku orang Indonesia terhadap uang sebagai pamrih untuk hidup atau menjadi modern.
Menjadi sebuah dokumen untuk membaca resepsi dan perilaku orang Indonesia, tentu tak sekadar mengusung tema uang menjadi subordinat dalam penggarapan sebuah kisah. Di sinilah letak kekeliruan Nurrohmat mengambil dua contoh kasus isu uang dari dua contoh yang ia pungut. Novel Telegram (1972) Putu Wijaya dan Pasar (1995) Kuntowijoyo yang dijadikan contoh kuasa uang Nurrohmat, bukan menjadikan tema uang sebagai pijakan dasar dalam cerita. Telegram, yang menjadi pemenang lomba menulis roman Panitia Tahun Buku Internasional 1972, dianggap novel yang berhasil meletakkan corak baru dalam wajah sastra Indonesia pada waktu itu.
Boen S Oemarjati membaca Telegram semacam collage beraneka ragam peristiwa sebagaimana termaktub dalam mata pikiran dan si penerima telegram. Atau A Teeuw mengungkap novel Telegram cukup berhasil membongkar berbagai pernik persoalan hidup manusia: paradoks manusia modern dalam keterasingan hidup.
Demikian juga dalam novel Pasar. Uang bukan menjadi tema sentral dalam pengisahan karena sejatinya dua tokoh utama, Pak Mantri Pasar dan Kasan Ngali, representasi nilai halus-kasar, pengejawantahan dari dua kultur manusia yang berbeda latar belakang. Pasar mengusung tema besar soal harmoni dan disharmoni dalam kehidupan publik.
Tindakan tafsir sastra, membutuhkan peranti konseptual yang lebih argumentatif, tak sekadar mencuplik petikan sebuah teks tanpa bergulat dengan teks itu sendiri. Hal ini disebabkan bahasa dalam sastra, mau tak mau, mengawinkan proyek imajinasi dengan realitas keseharian. Proyek perkawinan antara imajinasi dan realitas keseharian dalam kutub sastra inilah yang sering kali meramaikan pertikaian pemikiran sastra ke dalam ruang-ruang publik. Sastra dewasa ini sudah seharusnya dilihat dan dipandang dengan prinsip-prinsip paralogi. Catatan ini sekadar bahan tambahan bagi Mawardi dan pelajaran tambahan bagi mahasiswa baru: Binhad Nurrohmat.
Edy A Effendi, Penyair, Pendiri Kampoeng Seni UIN, Jakarta, dan Pengelola Lab Jurnalistik MAN Cipondoh, Tangerang
Karya Ugy Sugiarto
Balada Sang Putri di Gubuk Hamba
Balada Sang Putri di Gubuk Hamba
Kompas, Minggu, 21 Maret 2010 | 03:25 WIB
Wayan Sunarta
Senja warna kencana ketika putri jelita itu tiba di pesanggrahan hamba. Tiga angsa seputih bunga kamboja mengiringinya.
Angsa-angsa ini tak mau kutinggal di puri. Selalu ingin mengikutiku ke mana pergi,” ucapnya.
Harum cempaka merekah dari langsat kulitnya. Bibir tipisnya mirah delima. Angin cemburu tak mampu mengurai hitam rambutnya. Hamba terpana pesona di hadapan hamba. Gerimis merah muda mengurai cuaca di kesunyian pesanggrahan.
Hamba tuntun sang putri masuk gubuk. Langkahnya pasti menjejak lantai tanah. Mulus betisnya memancarkan cahaya surgawi. Hamba menenteramkan riak-riak ombak di hati.
Sang putri duduk anggun di balai-balai bambu. Dia mengulum senyum. Seakan hendak menerka rahasia dari lontar-lontar kusam masa silam, yang hamba susun rapi di peti tua berukir bunga padma.
”Lautan dan topan sejatinya sepasang kekasih yang ingin menembangkan kidung-kidung dewa di cangkang-cangkang kerang,” lirihnya.
Hamba merasa malu pada hati hamba, yang tiba-tiba mekar di jelita matanya. Buru-buru hamba nyalakan pelita minyak kelapa. Malam telah membutakan jarak di pesanggrahan.
Remang cahaya pelita menggurat dua bayang di dinding kayu. Bayang yang saling termangu merunut silsilah dan sejarah, yang mengasingkan kami sejauh tahun-tahun kepedihan, sepanjang jarak dua belahan bumi.
”Angin apa kiranya yang membawamu ke sini, Putri? Hamba telah asingkan diri dari segala kenangan meski parasmu masih membekas di hati. Cahaya apa menuntun langkahmu, menyusuri jejak sunyi tak terperi, hingga tiba di gubuk hamba?”
Mata sekilau purnama menatap hamba tajam. Menembus remang ruang, remang jiwa. Bibir seindah mirah membuka sabda: ”masih ingatkah kau pada sebilah daun lontar di mana tertatah syair, yang kau gurat dari lubuk jiwamu?”
Hamba merasa darah hangat dari jantung yang berdegup malu, mengalir perlahan memenuhi wajah hamba. Sudah lama sekali, belasan tahun lalu. Ketika usia kami masih ranum, begitu hijau. Agaknya waktu telah membekukan syair itu di sebuah gua rahasia di hatinya.
”Meski bilah lontar itu telah kusam, tinta hitam dari kemiri dan jelaga hampir luntur, tapi syair itu tak henti menitiskan rindu dan mengalir hangat di nadiku. Kini tiba saatnya bagiku melunasi karma,” ucap Sang Putri.
Hamba terpana, menerka-nerka arah kerumunan kata yang berhamburan bagai kunang-kunang dari bibir rekah yang dulu hamba rindui. Di luar gubuk, angsa-angsa bercengkerama dengan malam, dengan halimun. Lengking suaranya melengkapi hening
”Jangan ragu. Aku tiba di sini untukmu. Aku akan berkisah. Dan hanya kau yang kupercayai menggurat kisah-kisahku ini di bilah-bilah lontarmu. Karena kau pujangga istana di mana dulu hatiku pernah bahagia....”
Hamba terkesiap, jiwa hamba berdesir, serupa angin subuh mengelus lembut kulit ari. Sudah lama sekali hamba tak mampu menggurat syair. Tiba-tiba hamba terkenang, saat hamba tinggalkan istana, diam-diam di tengah sunyi malam. Demi janji hamba pada keheningan dan pengembaraan.
Pantai demi pantai hamba susuri. Gunung demi gunung menjulang hamba daki. Rimba demi rimba rahasia hamba jelajahi. Lembah demi lembah misteri hamba hayati. Hingga tiba hamba di pesisir timur ini.
Tak ada yang mengenali hamba. Kecuali sunyi, kawan sejati seperjalanan. Bukankah manusia dilahirkan demi merayakan kesunyian? Dan ketika tiba saat kembali, jiwa menyusuri jalan sunyi yang itu-itu juga....
Suatu waktu angin pegunungan mengabarkan warta. Putri jelita sangat bersedih hati tak menemukan hamba di istana. Dia pun pergi membawa duka lara menyeberangi lautan seorang diri, menetap di negeri asing, demi menemukan kesejatian.
Hamba memahami kesedihannya. Hamba terlanjur tergoda kesunyian. Lebih memilih mengasingkan diri, ketimbang mendampingi sang putri melewati hari-harinya di puri. Hamba merasa tak leluasa berada di istana, mengabdi pada raja.
Hamba hanya ingin kembali pada alam dan kaum jelata. Belajar bertani, memahami nyanyian jengkrik dan kodok hijau. Berbaur dengan kuli, petani ladang garam dan nelayan. Mendengar siul angin di pucuk-pucuk bambu. Belajar mengurai makna sabda cicak di dinding kayu.
”Tak perlu disesali. Waktu begitu jauh berpacu. Namun wajah dan hatimu masih seperti dulu. Hanya beberapa helai uban tumbuh di sela-sela hitam rambutmu. Ketahuilah, kau masih selalu pujanggaku.”
Hamba tak pernah tahu, apa wajah dan hati bisa tidak berubah. Hanya waktu yang abadi, dan sekelumit rasa yang berupaya kekal dalam fana.
Remang jadi makin nyalang. Cahaya pelita bergoyang. Mengaburkan bayang-bayang. Angsa-angsa sesekali melengking. Halimun melingkupi pesanggrahan. Dua ekor cicak di dinding kayu sedari tadi menerka-nerka arah jiwa kami. Menerawang sesuatu yang makin sawang.
”Ketahuilah, pujanggaku. Aku bukan sejatinya putri istana. Aku hanya anak jadah. Meski ayahku turunan raja, yang sungguh kasip kuketahui. Namun tak pernah kutahu rupa ibuku. Sedari janin aku telah mencecap getir. Tangis pertamaku menyayat rahim ibu. Hatinya memang telah lama luka. Tak diakui, malu dengan aib sendiri. Aku dibuangnya begitu saja, seperti membilas daki di kelamin...,” keluh Sang Putri.
Hamba tercekat, sungguh terperanjat. Kata-kata berasa duri menyumbat kerongkongan. Nyeri seperti mengalir di sumsum nadi. Hamba hanya mampu terdiam. Sang putri tak henti berkeluh kesah.
Kisah miris ini makin meyakinkan hamba, betapa manusia sejatinya ditakdirkan mengalami kesunyian dan kesepian. Hamba merasa sepasang cicak di dinding kayu sedari tadi tertawa. Dan, lengking angsa menggenapi sunyi kami.
Letih dengan jiwa sendiri, sang putri terlelap di bale-bale bambu, tanpa kelambu. Di bilah-bilah daun lontar hamba mulai menggurat syair. Di remang cahaya pelita, terbayang wajah sang putri, sedang mengutuki dirinya....
(Karangasem, Bali, Januari 2010)
Puisi- puisi Joko Pinurbo
Minggu, 21 Maret 2010 | 04:06 WIB
Embun
Subuh nanti aku akan jadi sebutir embun
di atas daun talas di sudut kebun.
Pungut dan sembunyikan di kuncup matamu
sehingga matamu jadi mata embun.
Atau masukkan ke celah bibirmu
sehingga bibirmu jadi bibir embun.
Sabar…, aku harus pergi dulu menjenguk
seorang bocah perantau yang sedang tertidur pulas
di bawah pohon besi di sudut kotamu.
Aku akan menetes di atas luka hatinya
yang merah menganga sampai ia terjaga:
“Terima kasih, telah kausangatkan perihku.”
Mungkin aku tetes terakhir dari hujan semalam
yang belum rela sirna sebelum bertemu
dengan ibusunyi dari bocah perantau itu.
Mungkin kau hanya akan memandangiku berkilau
di atas daun talas di sudut kebun
sampai aku menguap, lenyap, ke cerlap matamu.
(2010)
Orang Gila Baru
Sesungguhnya saya malas membaca sajak-sajak saya sendiri.
Setiap saya membaca sajak yang saya tulis, dari balik
gerumbul kata-kata tiba-tiba muncul orang gila baru
yang dengan setengah waras berkata,
“Numpang tanya, apakah anda tahu alamat rumah saya?”
Kuantar ia ke rumah sakit jiwa dan dengan lembut kukatakan,
“Ini rumahmu. Beristirahatlah dalam damai.”
Gila, ia malah mencengkeram leher baju saya dan meradang,
“Ini rumahmu, bukan rumahku.”
Pernah saya mendapatkannya sedang berlari-lari kecil
di jalanan panas, lalu mendadak berhenti, mendongak ke langit,
menghormat matahari. Kali lain saya menemukannya
sedang tercenung di pinggir jalan sambil tersenyum terus,
seperti orang malang sedang menertawakan nasibnya sendiri.
Saya hanya bisa berdoa dalam hati, semoga ia tidak pulang
ke dalam sajak-sajak saya.
Mungkin cara terbaik untuk mencegah kemunculannya
dan terhindar dari gangguannya adalah berhenti menulis.
Tapi kawan saya bilang, “Tanpa dia, sudah lama kamu mati.”
(2010)
Mas
Kota telah memberikan segala yang saya minta,
tapi tak pernah mengembalikan sebagian hati saya
yang ia curi saat tubuh saya dimabuk kerja.
Saya perempuan cantik, cerdas, sukses, dan kaya.
Semua sudah saya raih dan miliki kecuali diri saya sendiri.
Ah, akhir pekan yang membosankan. Ingin sekali
saya tinggalkan kota dan pergi menemuimu, mas.
Pergi ke pantai terpencil yang tak seorang pun bisa
menjangkaunya selain kita berdua. Saya ingin mengajakmu
duduk-duduk di bangku yang menghadap ke laut.
Akan saya bacakan sajak-sajak seorang penyair
yang tanpa sengaja menyampaikan cintamu kepada saya.
Wah, mas sudah lebih dulu tiba. Ia tampak gelisah
dan mondar-mandir saja di pantai. Saya segera memanggilnya:
“Ke sinilah, mas, jangan mandir-mondar melulu.”
Mas mendekat ke arah saya dan saya menyambutnya:
“Mas boleh pilih, mau duduk di sebelah kiri atau di sebelah
kanan saya.” Ia sedikit terperangah: “Apa bedanya?”
“Kiri: bagian diri saya yang dingin dan suram.
Kanan: belahan jiwa saya yang panas dan berbahaya.”
Diam-diam mas memeluknya dari belakang dan berbisik
di telinganya: “Kalau begitu, aku duduk di pangkuanmu saja.
Aku ingin lelap sekejap sebelum lenyap ke balik matamu
yang hangat dan sunyi. Sebelum aku tinggal ilusi.”
Perempuan itu merinding dan menjerit: “Maaasss....”
Pantai dan bangku mulai hampa. Senja yang ia panggil mas
lambat-laun sirna. Ah, begitu cepat ia rindukan lagi kota.
(2008)
Durrahman
Mengenakan kemeja dan celana pendek putih,
Durrahman berdiri sendirian di beranda istana.
Dua ekor burung gereja hinggap di atas bahunya,
bercericit dan menari riang.
Senja melangkah tegap, memberinya salam hormat,
kemudian berderap ke dalam matanya yang hangat dan terang.
Di depan mikrofon Durrahman mengucapkan pidato singkatnya:
“Hai umatku tercinta, dalam diriku ada seorang presiden
yang telah kuperintahkan untuk turun tahta
sebab tubuhku terlalu lapang baginya.
Hal-hal yang menyangkut pemberhentiannya
akan kubereskan sekarang juga.”
Dua ekor burung gereja menjerit nyaring di atas bahunya.
Durrahman berjalan mundur ke dalam istana.
Dikecupnya telapak tangannya, lalu dilambai-lambaikannya
ke arah ribuan orang yang mengelu-elukannya dari seberang.
Selamat jalan, Gus. Selamat jalan, Dur.
Dalam dirimu ada seorang pujangga yang tak binasa.
Hatimu suaka bagi segala umat yang ingin membangun kembali
puing-puing cinta, ibukota bagi kaum yang teraniaya.
Ketika kami semua ingin jadi presiden,
baju presidenmu sudah lebih dulu kautanggalkan.
(2010)
Doa Seorang Pesolek
Tuhan yang cantik,
temani aku yang sedang menyepi
di rimba kosmetik.
Nyalakan lanskap
pada alisku yang gelap.
Ceburkan bulan
ke lubuk mataku yang dalam.
Taburkan hitam
pada rambutku yang suram.
Hangatkan merah
pada bibirku yang resah.
Semoga kecantikanku tak lekas usai
dan cepat luntur seperti pupur.
Semoga masih bisa kunikmati hasrat
yang merambat pelan menghangatkanku
sebelum jari-jari waktu
yang lembut dan nakal
merobek-robek bajuku.
Sebelum Kausenyapkan warna.
Sebelum Kauoleskan lipstik terbaik
ke bibirku yang mati kata.
(2009)
Joko Pinurbo lahir 11 Mei 1962. Ia tinggal di Yogyakarta. Buku kumpulan puisinya antara lain Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung (2007).
Percintaan Empat Puluh
SENI BUDAYA
Cerpen Muhammad Muis
HARI masih pagi benar. Sesekali masih terdengar kokok-kokok ayam dari seputar rumah dan kebun-kebun penduduk. Burung-burung riang bercericit gembira beranjak dan terbang dari sarang-sarangnya dan mulai beterbangan kian kemari, bersenda gurau menyambut pagi, menyambut hari baru. Halimun masih menyelimuti desa kecil itu. Di ujung pematang, di kejauhan, di antara rimbun pepohonan, belukar, dan gunung yang kekar sang mentari belum tegas memperlihatkan garang sinar emasnya, seakan masih malas beranjak dari peraduannya. Sisa-sisa kabut masih menari-nari di seputar ujung-ujung pucuk-pucuk dedaunan dan hutan pinus nun di ujung kampung. Rasa dingin masih menusuk hingga ke tulang-tulang sumsum.
Sudah dua hari aku mudik. Pagi ini, selesai salat subuh aku berolahraga dengan berjalan-jalan mengitari seantero desa dengan menyusuri jalan-jalan setapak menuju persawahan. Bertahun-tahun aku tak pernah lagi pulang kampung. Kata kawanku, Jakarta telah memesona dan memenjaraku di perutnya, aku sudah lupa kampung halaman. Kubenamkan dalam-dalam kerinduan yang memuncak itu. Ah, mereka takkan pernah bisa mengerti.
Kisah ini terjadi dua puluh satu tahun yang lalu.
Adalah Jamilah nama perempuan itu. Tujuh belas tahun usianya kala itu, hanya terpaut sedikit dari usiaku. Aku kelas tiga SMA dan ia kelas satu. Tujuh belas, sweet seventeen, saat bunga semerbak harum dan ranum nan segar siap dipetik. Banyak kumbang yang ingin berlaga untuk mencium segar wangi bunga itu, bahkan ingin memetiknya.
Jamilah gadis berkerudung. Pink adalah jilbab kesukaannya. Oval wajahnya, bangir hidungnya, teduh tatap matanya, tipis bibirnya, putih mulus kulitnya, gembira air mukanya, dan seolah bercahaya wajahnya. Paras bercahaya dalam balutan jilbab itu kuyakin karena sering dibasuh dengan air wudu. Jamilah adalah seorang muslimah yang taat. Siapa pun mengakui itu. Ia adalah sebuah pesona. Pesona itu bukan hanya nama yang indah: Jamilah bermakna ’indah, cantik’, tetapi juga pada tingkah dan tutur katanya, yang akan memenjara lelaki mana pun yang melihatnya dengan hiasan senyum manis yang kerap tersungging dari bibir mungilnya.
Hari itu, dua puluh satu tahun yang lalu, ketika pagi-pagi aku bersepeda ke sekolah, Jamilah, seperti biasa, menyapaku. Entah mengapa, kali ini, perasaanku amat lain. Ada sesuatu yang takkan dapat kulukiskan dengan kata-kata tentang itu. Sapaan dan senyum manisnya pagi itu seolah membuat dunia berhenti sejenak berputar, seakan kali ini dunia berada di bawah kuasaku, dunia seakan berpihak padaku. Bunga desa itu benar-benar menjerat dan memenjarakan dalam pesona kecantikan Cleopatranya. Aku terkesiap, darah seolah berhenti mengalir, detak jantung bagai diam, dan perasaan luar biasa aneh menjalari sekujur tubuh. Aku serasa memilikinya, serasa memiliki dunia seisinya. Orang lain seakan mengontrak saja di dunia ini. Rasanya aku limbung dan hampir terjatuh dari atas sadel sepedaku. Jarak 15 km ke kota pagi itu kutempuh serasa amat cepat. Benar-benar aku tak hirau akan letihku.
"Assalamu’alaikum...!"
Sebuah salam menyentakkanku di pagi itu. Aku pun menoleh.
"Wa’alaikum salam."
Saat mencapai persimpangan jalan itu aku terkejut bukan buatan ketika mendengar ucapan itu. Perempuan muda berjilbab pink itu seakan memutarkan video kenangan masa lalu kami yang indah, sebuah nostalgia masa remaja. Akan tetapi, dalam nostalgia itu juga ada kepedihan.
Dua puluh satu tahun sudah cinta membenamkanku di bawah telapak kakinya. Selama itu pula sudah cinta itu membuatku bertahan menahan rindu dendam tak terperi padanya, juga kerinduan pada keluarga dan kerabatku.
Wajah perempuan itu kupastikan tidak banyak yang berubah: masih tetap cantik, seperti dulu. Yang begitu tampak nyata pada wajah itu adalah bercak hitam yang membekas di dahinya. Aku tahu, tanda itu adalah bekas sujudnya. Selain itu, tatapan mata yang dulu demikian tenang dan teduh kini tampak semakin teduh. Ia kelihatan semakin dewasa, matang, dan seakan kenyang dengan penderitaan. Melihat tatapan teduh itu, yang sesekali menatap ke arahku, aku hampir tidak kuat berdiri di atas kedua kakiku. Aku seakan-akan hampir ambruk. Tuhan, tolonglah hamba....Serasa ingin aku berenang dalam keteduhan dan ketenangan telaga bening itu. Satu tatapannya pagi itu tak dapat kuceritakan maknanya, hanya ia dan Tuhanlah yang tahu.
Di depannya sering aku tidak sanggup untuk banyak berkata-kata dan menatap ke dalam kedua bola matanya. Sejujurnya, aku malu bahwa pada usiaku yang sudah kepala empat ini dadaku masih berdegup begitu keras di depan perempuan berjilbab merah jambu ini. Aku malu, ini seperti anak ABG, tetapi aku tak kuasa menghindarinya.
"Apa kabar?" tanyanya.
"Baik," jawabku, singkat. "Dan kau?"
"Alhamdulillah, baik juga."
Aku berhenti melangkah.
"Kapan kau tiba?"
"Kemarin."
Ia diam.
"Mau ke mana?" tanyaku kemudian.
"Ke sawah, biar belum begitu panas."
"Tidak dengan bapak dan ibu?"
"Sebentar lagi ibu menyusul, masih repot."
"Oh...."
"Aku sudah dengar dari adikmu bahwa kau akan pulang."
Aku diam.
Kulihat ia menatap ke hampir sekujur tubuhku. Dari sepatu sportku hingga topiku tak luput dari tatapnya. Ia lalu membuang pandangannya ke arah kejauhan, ke arah sang surya yang mulai beranjak naik.
"Kau masih rajin olahraga seperti dulu."
Aku mengangguk.
"Coba kaulihat pohon besar tua itu," katanya sembari menunjuk sebuah pohon besar dan tua. Wajahnya berbinar gembira. Ia seakan ingin membawaku pada kenangan masa lalu.
Di tempat yang tidak jauh dari pesantren itulah aku, Jamilah, dan kawan-kawan kami sering bermain-main tatkala lelah belajar dan mengaji di masa remaja kami.
Aku memilih-milih kata dan kalimat yang tepat untuk melanjutkan perbincangan dengannya. Ah, diksiku sering tidak pas dan kata-kataku sering macet tanpa sebab jika berdiri di depannya, sejak dulu. Heran, sejak SMA sukar sekali kata-kata kupilih pabila bertemu dengannya. Dari senyumnya pagi ini, kuduga, ia masih mengingat semua itu.
"Bagaimana pekerjaanmu?" pancingnya.
Aku tersenyum.
"Alhamdulillah, baik."
"Kudengar kau jadi peneliti dan dosen di Jakarta."
Aku mengangguk.
"Aku gembira mendengarnya.... Kau hebat."
Aku terdiam sembari tersenyum-senyum mendengar pujiannya.
Beberapa kata berebut ingin keluar dari benakku, bersidesak. Aku merasa tertekan dan kesusahan dibuatnya.
"Putrimu?" tanyaku, malam itu, di ruang tamu rumahnya.
Perempuan muda itu mengangguk.
"Berapa usianya?"
"Lima tahun," jawabnya.
"Hanya satu?"
Jamilah, perempuan itu, mengangguk.
"Pak kiai mana?" tanyaku.
Ia diam. Ia membuang pandangannya ke luar, ke halaman luas di depan rumahnya. Kemudian, ia menoleh padaku. Di atas pipi putih mulus yang dibungkus jilbab itu kulihat butiran bening air mata mengalir. Ia menyekanya dengan sapu tangan, lalu menyeka hidungnya juga yang tampak tiba-tiba seakan beringus.
"Ia menyampaikan salam untukmu sebelum ia pergi, ia meminta maaf... setelah ia tahu," suaranya datar dan agak tertahan. Ada nada kesedihan dan kegetiran di sana.
Aku tersentak.
"Maksudmu?" tanyaku tidak mengerti.
"Beliau sudah wafat setahun yang lalu."
Aku terhenyak lemas di atas kursi tamu di ruang tamu rumah orang tua Jamilah itu.
"Mengapa aku tak diberi tahu? Mengapa tak satu pun yang memberi tahu?"
"Mereka tak mau membuatmu semakin sedih," ibunda Jamilah yang sejak tadi diam ikut bicara. "Pernikahan Jamilah dengan Pak Kiai lama baru dikarunia anak, yang hanya semata wayang ini."
Aku terdiam. Tanpa kusadari, air mata pelahan titik jua dari kedua bola mataku, tak mampu kutahan-tahan. Pikiranku menerawang. Kiai Haji Abidin Abdul Malik adalah guru mengajiku, ustaz tempat kami bertanya tentang Islam. Beliau adalah ulama terpandang dan pengasuh sebuah pesantren--tempat aku, Jamilah, dan banyak santri lain belajar agama. Sebenarnya, aku bukan santri, tetapi aku dan banyak kawanku belajar mengaji di sana.
Walaupun sudah hampir satu tahun ditinggal mati istrinya tercinta, demi dua anaknya, Pak Kiai belum juga mau menikah sebab ia takut istri baru akan kurang perhatian pada kedua anaknya yang ketika itu juga masih kecil-kecil. Akan tetapi, putusan yang kemudian diambilnya adalah ... melamar Jamilah, muridnya.
Hanya Tuhan, aku, Jamilah, dan keluargaku yang tahu bahwa aku dan Jamilah saling mencintai. Akan tetapi, Pak Kiai sama sekali tidak tahu-menahu hal itu. Kidung cinta itu tersimpan begitu rapi hingga tak banyak yang tahu. Percintaan itu memang hanya lewat surat. Aku ingat ketika keesokan harinya seorang sahabatku mengantarkan surat merah jambu dari Jamilah memohonkan maafku atas penerimaan orang tuanya atas lamaran Pak Kiai.
Di atas semua itu, aku mencintai dan menghormati guruku, Kiai Abidin. Akan tetapi, pada sisi lain, aku pun mencintai Jamilah sepenuh hati. Aku tak kuasa menghalangi pernikahan itu. Jamilah pun tak kuasa menolak pinangan itu.
Aku pun remuk redam. Aku membuang diriku sebagai orang yang hancur oleh cinta. Beruntung kala itu kami sudah menjelang tamat SMA sehingga memungkinkanku pergi jauh dari kampungku. Jakarta adalah tujuanku.
"Jangan sedih, Nak...," ibunda Jamilah membuyarkan lamunanku. "Allah memang sudah berkehendak demikian, semoga almarhum mendapat tempat yang layak di sisi-Nya."
Aku diam. Satu demi satu orang-orang yang kusayang menghadap-Nya. Hidup ini benar-benar bagai musafir yang berhenti sejenak di bawah pohon, lalu beranjak pergi lagi untuk sebuah perjalan lain yang lebih panjang.
"Mengapa engkau tak menikah lagi, Jamilah?" tanyaku, seperti keceplosan. Tiba-tiba aku merasa malu dan bersalah setelah mengucapkan kata-kata itu, yang kunilai kurang patut.
Jamilah diam seribu basa. Namun, sekilas kutangkap rona bersemu merah di wajahnya, wajahnya agak berubah. Ia lalu membuang mukanya.
"Katanya dia telah bersumpah, takkan mau menikah lagi sebelum melihat engkau pulang ke kampung kita ini, sebelum ia bertemu engkau lagi," jawab ibunya.
Aku tersentak. Aku tidak mengira akan mendapat jawaban itu.
"Engkau sendiri, mengapa belum menikah juga, padahal usiamu sudah kepala empat, Nak?"
Pertanyaan ibunda Jamilah itu tak mampu kujawab.
Malam itu aku kembali ke rumah orang tuaku. Namun, aku mulai ragu apakah besok pagi aku akan segera kembali ke Jakarta atau memperpanjang cutiku. Di tangga dekat teras, ibu, Jamilah, dan putrinya mengantarku. Malam itu, aku merasa tenggelam dalam telaga cinta tatkala melihat tatap lembut mata perempuan berjilbab pink dan gadis kecil tanpa ayah yang melambaikan tangannya itu. Rasanya, aku ingin hidup seribu tahun lagi.
Jakarta--Lampung, 2009/25 Feb 2010
SAJAK-SAJAK: M. Aan Mansyur
SENI BUDAYA
SAJAK-SAJAK: M. Aan Mansyur
Masalah Masa Lalu: Catatan dari Masa Depan Ayahku
: kepada Safinah, ibuku
lantai tidur kedinginan. kau lihat itu dari mata
seekor burung yang termenung di ranting
yang tangannya memegang terali jendela
maka kau hamparkan selimutmu ke tubuh
lantai. kau tidak ingin burung itu murung
dan mati. kau merindukan sayapnya
masih mengepak-ngepak besok pagi
sementara tubuhmu yang telanjang
telentang di ranjang yang menyudut
di kamar sangat berwarna abu-abu itu
kau percaya dari dalam mimpi akan ada
tangan menjulurkan doa sehangat pelukan
tanganku?
bagian lain dari tubuhmu hanya menumpang
di senyummu. senyum itulah yang menampung
hidup. seluruh angin yang melintas menghirup
nyawa mereka dari situ. begitu pula setiap harap
yang nyaris putus milik pejalan kaki yang melihat
kau duduk menghadap jendela
lihatlah, anak panahku yang menancap di dadamu
kecewa. ia cuma mengotori dirinya dengan darah,
padahal ia menghendaki kejernihan airmata.
dan tangga-tangga yang mendaki tubuhmu
telah menjatuhkan setiap kaki yang membawa
pemburu. siapa sesungguhnya yang kau tunggu?
aku sudah mati berkali-kali namun senyummu
selalu bisa membongkar petiku—meskipun
aku telah menguncinya dari dalam
di samping jendela kau duduk membiarkan
kepalamu mengepul-ngepulkan asap dari dapur
di dadamu yang selalu sibuk memasak rahasia
sore itu langit baik-baik saja.
ada banyak layang-layang yang sedang
bermain di udara. satu layang-layang
menjulurkan ekornya meminta gunting
kau malu-malu dan malah mengelus-elusnya
seolah itu rambut dan kau jatuh cinta
kepada pemiliknya
sejumlah batu di atas meja, teman-temanmu,
yang kau ajak bercakap sejak pagi terharu
tapi mereka merasa bersalah tak tahu menangis
apakah kau tak pernah mengajari mereka?
kau selalu terbuka seperti stasiun.
di tubuhmu tumbuh semua jenis pelukan:
selamat jalan atau selamat datang
sebab aku meninggalkan diriku
sebanyak aku mengunjunginya
kau selalu robek seperti sehelai karcis
demi mengantar aku pergi ke mana pun
kemudian kembali sekali lagi
dan kemudian tidak lagi
angin yang datang dari jauh itu membawa sehelai
saputangan lusuh: helai angan yang pernah kau lepaskan
mencari masa lalu yang dulu mencuri hidupmu
saputangan itu dipenuhi kupu-kupu dan ajal
mengerubungi sayap-sayap mereka yang rapuh
kupu-kupu itu menjatuhkan telur-telur bening
ke perawan payudaramu, sepasang bukit
mata air sungai susu surga
ini terakhir kali, katamu, kau tabahkan tubuhmu
menjadi kepompong. setelahnya kau ingin mati
kupu-kupu baru akan kau biarkan terbang
sejauh-jauhnya dan angin tak akan mampu
menemui dan mengembalikan mereka lagi
ke bunga-bunga yang tumbuh di makammu
apa yang paling menyentuh
yang mampu dimimpikan kepalamu?
"kepalaku memiliki ribuan mata lampu
jalan yang sudah berkali-kali mati tapi
tak seorangpun tega mengubur mereka."
aku tahu. cahaya yang aku lihat bangun
saban petang itu adalah hantu-hantu,
memata-matai tungkai tiap pejalan
yang melintasi sepi mereka sendiri.
hantu-hantu itu kau kendalikan
untuk menyeret jalanku kembali
ke sisa usiamu yang menunggu
mata pisau atau tali mencintai lehermu. semua
yang mampu melukai jatuh cinta pada lehermu.
aku juga. tapi putih lehermu tak pernah pucat.
cinta tidak akan bisa membuatnya patah
kau percaya: cinta adalah mata air air mata.
tapi aku tak pernah melihat ada yang jatuh
dari matamu kecuali cahaya. sementara
di sini alangkah sakit aku menyakitimu
di dalam mimpi segelap apapun di sana
selalu ada sebatang pulpen yang mampu
mencatat setiap nama atau kehidupan
bahkan kehidupan yang sudah mati
tetapi di dalam mimpimu tinta pulpen itu
hanya jatuh cinta kepada satu nama,
nama yang melukaimu: aku
akan kau apakan catatan-catatan
dengan huruf selalu dalam urutan
yang sama? bagiku itu hanya bebiji obat
yang tak akan habis dan rutin harus ditelan
sementara aku tak akan sembuh, aku sudah
terkubur di masa depan dengan rasa sakit
menahun setelah menyakitimu berkali-kali
bertahan sendiri bertahun-tahun di masa lalu
telah mengubahmu menjadi seorang peramal
"pada akhirnya burung-burung akan memilih
disangkarkan daripada dilepaskan ke udara.
dari beranda, di kepala atau di manapun kau
gantungkan, kicaunya akan memintal benang
yang bening untuk menambal luka di dada."
"pada akhirnya setelah hamil berbulan-bulan
telur hanya akan melahirkan mesin-mesin
berkarat yang akan tumbuh jadi anak-anak
yang tak tahu apa-apa kecuali menyakiti."
tetapi jari-jarimu hanya mampu menjangkau
jarak yang tak seberapa—tidak akan sampai
ke masa depan yang menyimpan aku
10
ada tiga sangkar yang selama ini kau rawat
seperti anak-anak yang menamaimu ibu
satu sangkar berisi sebatang pohon mandul
(padahal kau merindukan buah yang mampu
mengembalikanmu ke surga) dan burung-burung
yang sering menatapmu di rantingnya sekarang
senang hidup di dalam bingkai kaca di dinding
sangkar kedua berisi segumpal awan yang tidak
pernah menangis, yang melarikan diri dari langit.
dia tidak suka berada di ketinggian sejak kau
selalu menunggu ada sesuatu yang jatuh
sementara sangkar lainnya, tubuhmu,
berisi aku dan perihal lain yang tak bertemu
secelah jendela untuk kembali ke masa lalu
11
kau semakin tua, kau semakin tua
namun masa lalu di kepalamu semakin muda
umpama remaja baru terluka oleh cinta pertama
masa lalu tidak membutuhkan vitamin
untuk sehat dan kosmetik untuk cantik
aku tahu untuk itulah kau membangun kincir
di kepalamu untuk menghalau masa depan
yang akan datang menghancurkannya
antara masa lalu yang kau pelihara
dan masa depan yang menyesatkan aku
ada seutas tali yang tak bisa dilalui apapun
setiap kabar atau rindu yang meniti di situ
akan jatuh dan tak sampai—tetapi mengapa
kau tak juga mengguntingnya?
12
kau sudah meluruhkan seluruh pakaian
berwarna putih pengantin yang kau kenakan
di masa lalu. sepasang bibirmu hari ini hitam
sewarna kain yang menutup mata dan tubuhmu
kau ragu menopang dadamu yang berat
seolah ada benda-benda yang akan jatuh
dari situ tetapi kau ingin menyentuhnya
sekali lagi sebelum pecah membentur lantai
tak ada, tak ada yang bergetar sama sekali.
bayanganmu melekat di dinding seperti lukisan.
angin telah berada di luar jendela sejak pagi.
tempat tidur, meja dan kursi, sangkar-sangkar
dan mahkotamu yang membentuk rupa-rupa
mimpi sudah rela menjadi penghuni museum.
tapi kau hendak ke mana dengan mata
tertutup sesungguhnya?
--------------
M. Aan Mansyur, lahir di Bone, 14 Januari 1982. Sehari-hari bekerja sebagai pustakawan di Kafe Baca Biblioholic di Makassar. Kumpulan puisinya Hujan Rintih-Rintih (2005), Aku Hendak Pindah Rumah(2008), dan Cinta yang Marah (2009).
Sastra untuk Orientasi Bangsa
APRESIASI
Orang Barat di dalam diriku telah membusuk
--Joseph Conrad, Under Western Eyes
KETIKA pihak kolonial sibuk menentukan peta geografis, geopolitis, geoekonomi, juga geokultural dengan cara membagi wilayah-wilayah kawasan Hindia-Belanda berdasarkan kepentingannya dengan mengabaikan realita sosial, politik, bahasa, adat yang mengakar di suatu wilayah; hadir roman Max Havelaar karya Multatuli, nama pena seorang asisten residen bernama Doewes Dekker.
Roman itu berisi gugatan tajam tentang ketidakadilan dan penderitaan yang menimpa penduduk Bumiputera di Distrik Lebak, daerah Banten, Jawa Barat. Anehnya, roman ini--Indonesia adalah bagian penting kisahnya--yang terbit pertama kali 1860, baru terbit dalam edisi bahasa Indonesia 1972 terjemahan H.N. Jassin dengan bantuan subsidi Pemerintah Belanda setelah diterbitkan dalam bahasa Italia, Swedia, Rusia, Jepang, bahkan Afrika.
Doewes Dekker mendapat telaah yang tajam dari Rob Niehenweuys dalam Hikayat Lebak (terjemahan Sitor Situmorang). Niehenweuys memaparkan apa yang ditulis Multatuli dalam Max Haveelar bukanlah sebuah tindakan revolusioner. Sikap antikolonial Doewes Dekker hanyalah sebuah mitos dan sebuah kesalahan jika seorang berpendapat tindakan Lebaknya ingin mematahkan sistem kolonial. Sebab Dekker sendiri justru membantu menegakkan sistem yang pada hakikatnya tak adil. (1977 : 75).
Dipengaruhi ilmu pengetahuan barat, mengambil dasar pada gagasan modernisme, sastra dan Indonesia lantas bergerak dari rentetan-rentetan imaji yang berada dalam relasi dan kekangan kekuasaan kolonial. Di saat-saat seperti itulah sebenarnya sastra Indonesia mengacu bukan pada akar tradisi, melainkan bergerak oleh asumsi yang dimainkan kelompok sosial tertentu dan kemudian dilestarikan kekuasaan terhadap yang lain.
Dalam Novel Sitti Nurbaya karya Marah Rusli, Datuk Maringgih adalah tokoh pejuang yang melawan kesewenang-wenangan pemerintah kolonial Belanda dengan ikut berperang hingga tewas di tangan serdadu Melayu yang tak lain kekasih Sitti Nurbaya, dan Sitti Nurbaya tak pernah sekalipun dipaksa ayahnya menikah dengan Datuk Maringgi, melainkan ia mengambil inisiatif sendiri untuk meringankan beban utang orang tuanya. Penceritaan roman Sitti Nurbaya itu dikontruksi sedemikian rupa. Tokoh baiknya adalah serdadu melayu Belanda dan tokoh buruknya adalah Bumiputera yang kikir dan gila wanita.
Dari roman itulah dapat ditarik sebuah asumsi bahwa Barat mempunyai otoritas untuk merepresentasikan Indonesia berdasarkan kekuasaan dan kemudian sistem pengetahuan mereka. Gerak awal modernisme yang berkembang dengan maraknya tiga gagasan: kapitalisme, humanisme, dan rasionalisme, seakan dianggap dapat menyingkap kebenaran tentang manusia, bangsa, dan kebudayaan Indonesia. Gagasan-gagasan inilah yang seakan menaruh harapan tentang adanya kekuatan tersembunyi di dalam individu terjajah, menjelma sebagai hal vital dalam proses identifikasi diri.
Sastra di masa itu datang dengan tradisi ini: modernisme sebagai bentuk budaya mempertahankan kemanusiaan, tapi hidup dalam tegangan barat/timur-tradisional/modern-global/lokal-progresif/reaktif di antara sastra sebagai solilokui tentang isi hati dan sastra yang mesti diletakkan dalam upaya reconstructive arbeid. Maka tak mengherankan bila kemudian sastra bicara tentang seorang anak yang meninggalkan desa, menuju laut yang tenang, dan meninggalkan bahasa primordialnya.
Pada 17 Agustus 1945, ketika proklamasi dibacakan, Indonesia hadir sebagai bangsa yang merdeka, kehidupan sastra juga tak jauh dari situasi yang menyerupai Pemerintahan Indonesia saat itu, yaitu berhadapan dengan tegangan sosial politik dalam kehidupan demokrasi terpimpin. Dihadapkan pada desakan untuk menulis tentang revolusi yang merupa sebagai perpanjangan tangan "imajinasi komunalisme", hadir kemudian manifes kebudayaan sebagai bentuk perlawanan yang mengharapkan ruang yang lebih longgar bagi ekspresi kesenian yang mandiri. Uniknya, manifes itu mereproduksi kalimat atau tulisan "demokrasi terpimpin" yang disadari berciri keras tentang imbauan atau desakan pentingnya "manifesto politik".
Singkat cerita, pertarungan sastra itu diakhiri dengan pelarangan karya-karya seniman Lekra, laris manisnya antologi-tunggal Tirani (1966) dan Benteng (1966) karya Taufiq Ismail, perayaan puisi liris tentang cinta, kematian, dan kesunyian.
Tetapi, setelah cinta, sunyi, dan kematian dapat ditulis kembali, apakah sastra dengan capaian itu telah menemu imajinasinya yang mandiri? Apakah sastra setelah itu membantu gerakan emansipasi kelas untuk memperoleh harga dirinya lewat imajinasinya dan pengungkapan bahasa dengan cara unik untuk mengungkapkan tuntunan dan tuntutan kelompok-kelompok subaltren yang tertindas atau orang-orang buta huruf untuk kemerdekaan sosial?
Sebab, Indonesia sendiri di bawah pemerintahan Orde Baru makin dibangun dan ditentukan oleh konsep-konsep pengetahuan yang diimpor dari barat. Hiruk pikuk proyek-proyek kota dipenuhi gerak terselubung dari para teknokrat yang memproduksi imaji Indonesia berdasarkan model-model yang sesuai dengan kepentingan Amerika. Visi pembangunan berpangkal pada penaklukan sebagai syarat utama untuk terkumpulnya modal komunal dan hal itu semakin meruncingkan kontradiksi, karena haluan kerja pemerintah tak berpihak pada rakyat tetapi menjalankan segala sesuatunya berdasar pada keuntungan yang dimainkan oleh arus perdagangan pasar. Korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) lantas merajalela di segala sudut.
Dalam Potret Pembangunan dalam Puisi, Rendra menggambarkan maharajalelanya keserakahan itu lewat Sajak Ibunda: Maling punya ibu. Pembunuh punya ibu./ Demikian pula koruptor, tiran, fasis, wartawan amplop, dan anggota parlemen yang dibeli,/ mereka pun punya ibu....Apakah sang anak akan berkata pada ibunya: "Ibu, aku telah menjadi antek modal asing, yang memproduksi barang-barang yang tidak mengatasi/ kemelaratan rakyat...Ibu, kini aku makin mengerti nilaimu. Kamu adalah tugu kehidupanku, yang tidak dibikin-bikin hambar seperti Monas dan/ Taman mini.
Mengkritisi dominasi kaum elite saat Orde Baru berjaya, Rendra lantas meninggalkan periode anggur dan rembulan, dengan keberanian untuk menghadapi bui dan pencekalan, ia menemukan imajinasi puisi sebagai wacana pemaknaan terhadap realita sosial bangsa, di mana setelah merdeka kebijaksanaan politik luar negeri dan administrasi negara dalam pembangunan tetap berkiblat dan meniru model-model yang sesuai dengan kepentingan Eropa atau Amerika, puisinya diletakkan sebagai nada sinis untuk pemerintah yang acakap membanggakan diri pada monumen-monumen yang dianggap sebagai prestasi tak tertandingi.
Jadi, sastra tidak lagi merujuk hanya pada teknik menulis: sastra mempunyai implikasi sosial, politik, dan filsafat yang mendalam yang dapat memberi kontribusi untuk orientasi bangsa. Soalnya kemudian, apakah kekuasaan mau membuka diri untuk mengapreasiasi dirinya lewat wacana-wacana pemaknaan, semisal sastra, yang hidup dalam masyarakat?
Dan mampukah sastra menerima tantangan--merujuk pada Yasraf Amir Piliang Identitas dan Liminalitas: Sastra Pos-Kolonial dalam Retakan Imajinasi (2009)-- untuk membangun sebuah proses penandaan yang melaluinya tanda-tanda budaya-budaya diperbedakan, makna-makna diproduksi, dan nilai-nilai dikembangkan? Sehingga resemiotisasi kebudayaan melalui kekuatan sastra dapat diusulkan, dalam rangka pengkayaan dan penganekaragaman bentuk, makna, dan nilai-nilai kebudayaan itu sendiri
Abdul Aziz Rasjid, Peneliti Beranda Budaya, tinggal di Purwokerto
Jumat, 19 Maret 2010
DASAMUKA (Putu Wijaya )
monolog
Putu Wijaya
DASAMUKA SEDANG BICARA DENGAN KESEMBILAN BUAH KEPALANYA YANG LAIN YANG BERJAJAR DI MEJA. IA NAMPAK SANGAT KESAL, MARAH DAN TAK SABARAN, NAMUN BERUSAHA TETAP BERBICARA DENGAN JELAS TAPI TEGAS.
Setelah kupikir-pikir, ternyata kesepuluh kita semuanya menganut idiologi yang berbeda. Ada yang kiri, kanan, tengah. Ada merah, hijau, bitru, kuning, putih ada juga yang abu-abu. Ada lagi yang mengaku tidak berwarna. Pokoknya semrawut.
Maka sebaliknya dari bekerja dalam satu tim yang kompak, kita akan selamanya gontok-gontokan. Saling cacad, mencela, menghina, bahkan juga menyumpah, memaki dan kemudian mengutuk.Meskipun awalnya sudah ada kata sepakat akan memberikan aku yang terpilih sebagai pemimpin untuk berkuasa, pada prakteknya kalian terus saja mendongkel. Jadi praktis tidak mampu meramp[ungkan apa-apa.
Berunding, berunding saja terus. Sudah banyak sekali uang habis untuk biaya siding. Peraturan juga sudah berhasil kita buat. Tapi tidak ada yang jalan baik. Karena, kita selalu berbeda dan mau menang sendiri.
Walhasil, perang mulut itu ternyata tidak bisa diselesaikan hanya dengan mulut. Kata-kata dan kalimat yang paling tajam, kasar, berbisa dan pedih sudah diobral, tetapi hati belum puas. Perbedaan idiologi memang tidak akan mungkin menemukan kesepakatan, kecuali kalau ada yang menang. Tapi kalau menang pasti hanya satu, lainnya kask-kusuk dan itu. Akhirnya tangan tidak bisa lagi berdiam diri. Sepuluh pasang tangan yang harusnya kita pakai untuk banting tulang, kita pakai untuk memukuli kepala kita sendiri.
Perang saudara sudah meletus. Semua juga tahu perkelahian di antara saudara bisa lebih berdarah, lebih kejam dari persetruan dengan musuh sebenarnya. Seluruh tenaga dikerahkan untuk mengalahkan lawan. Tak cukup mengalahkam, kalau bisa melenyapkan sama sekali. Kemenangan menjadi cita-cita setiap kepala.
Tetapi kemenangan hanya ada di tangan satu juara. Sisanya berarti kalah. Hari gini, mana ada orang yang sudi kalah. Dalam pemilihan umum yang konon demokratis dan fair pun, yang kalah tak mau menyerah. Dia terus saja menyerang dengan garang. Dan kalau ada kesempatan pasti akan menerkam setiapsaat untuk merebut kemenangan itu, walau pun bukan haknya.
Jadi memang bikin pusing. Berat badanku sudah kontan melorot 100 kilogram. Makanan tidak ada yang enak lagi. Darah segar manusia sudah tidak manis. Perawan-perawan tinting yang dijarah dari mancanegara dengan kecantikan melebihi Dewi Shinta, juga tidak lagi menarik. Raja Alengkaini jadi kehilangan kesabaran.
Ya sudah kalau memang terus bertengkar, buat apa tinggal bersama-sama dalam satu badan. Pusing aku! Mulai sekarang terserah kalian semuanya! Kalau memang sudah berbeda dan tidak mau bertenggang rasa hidup berdampingan, ya sudah, kita berpisah saja. Terserah kalian masing-masing. Mau pergi ke mana saja, silakan. Ke Amerika, Rusia, Australia, Arab, Afghanistan, Cina, Singapura, India, monggo. Pergi sana!
Jangan bikin ribut lagi di sini, gua udah muak dengan semua itu! Emang cuma elhu-elhu yang gua pikirin?!!!!”
DASAMUKA MENGGEBRAK MEJA DAN MENENDANGNYA . MENUMPAHKAN SEMUA KEPALANYA. MEJA MENGGELIMPANG DAN KEPALA BERSERAKAN. SALAH SATU KEPALA MENYAMBUT. (DIMAINKAN JUGA OLEH DASAMUKA
DASAMUKA BERDIRI DAN KETAWA
Bagus. Meskipun keputusan itu terdorong emosi, tapi itu keputusan yang sah. Aku sambut. . Biar pun itu diucapkan oleh otak yang lagi senewen, aku tak ambil pusing. Kesempatan yang berabad-abad aku tunggu-tunggu barang sekarang ini sudah terbuka. Mimpi apa ini. Tak perlu lagi beradu argument, tak usah menyusun pembelaan, tidak perlu mencari timing yang pas, semuanya sudah bisa hengkang. Merdeka!
Detik ini juga aku minggat. Aku tidak perlu lagi beres-beres. Sudah sejak puluhan tahun semua barang sudah aku pak rapih. Tinggal cabut! Lebih baik kabur sekarang daripada berubah pikiran.
Selamat tinggal badan yang sudah memenjarakan aku bertahun-tahun! Tidak ada yang lebih membahagiakan dari kemerdekaan. Sekarang aku akan menentukan langkah dan tujuanku sendiri dengan bebas, tidak seperti dulu. Inilah baru kehidupan. Ini kehidupan baru!
Itu lihat! Semuanya meloncat ke arah yang berbeda-beda. Dalam sekejap mata, kebisingan yang biasa memekakkan sekarang sunyi. Sunyi yang menggigit-gigit, sehingga nafas waktu yang bergeser kedengaran jelas. Seperti katak yang nyemplung di danau hutan senyap dalam haiku Baso. (KETAWA) Hening dan sunyi sekarang menyanyi.
BERJALAN-JALAN.
Untuk pertama kali, sejak ribuan tahun yang penuh dengan kehebohan, aku akan bisa tidur nikmat. Aku akan mendengkur sepuas-puasnya, sehingga kaca-kaca jendela pecah.
Aku akan menancap dalam mimpi perjalanan ke surga dan tidak usah digebrak-gebrak bangun-bangun lagi untuk menebar kejahatan. Aku akan masuk ke dalam lelap yang dalam nikmat tanpa ujung. Badanku rindu meresapi tidur sempurna yang sempurna.
MELEMPAR BADANNYA DAN JATUH DALAM POSISI TIDUR, LANGSUNG MENDENGKUR. TIBA-TIBA DIA TERBANGUN. INI DASAMUKA YANG SUDAH DITINGGAL OLEH 9 KEPALANYA. TERKEJUT.
Sudah pagi? Kenapa tidak ada yang membangunkan aku? Fajar tidak pernah mendahuluiku.
BANGUN. BERJALAN DAN TERKEJUT.
Dan kenapa begitu sepi. Biasanya subuh-subuh sudah ada yang memaki-maki dan brrkelahi. Kenapa tiba-tiba lain. (SUARA KAPAL) Stop! (MENUTUP TELINGA) Dengung sayap nyamuk itu seperti satu skuadron helikopter. (SUARA LEDAKAN KERAS)
DASAMUKA LANGUSNG MENGGAPAI SENJATANYA. DAN BERSIAP.
Apa: bukan musuh? Hanya suara angin menggasak daun jendela? Gila, kenapa jadi seperti gedebur musik heavy metal?
DIA MENGAMAT-AMATI KEPALA SEBUAH . LALU MEMUNGGUTNYA.
Ya Tuhan. Ini kan anggota kepalaku?
MENOLEH DAN MENEMUKAN KEPALA-KEPALA YANG LAIN. DIA MENGUMPULKANNYA DAN MEMEMANGKUNYA.
Jadi aku sudah tidak punya sepuluh kepala lagi? Hanya tinggal satu? Sembilan kepala dan sembilan pasang tangan smbilan pasang kaki sudah kabur?! Ya, betul, mereka semua melarikan diri. Tidak mereka sudah izin baik-baik. Dan aku tidak peduli!
BENGONG
Jadi kalau begitu sekarang aku tinggal sendiri?
SUARA KETAWA DI KEJAUHAN
Itu mereka. Kalau sendiri, memang hidup menjadi lebih tenang. Tidak ada yang protes. Tetapi
SUARA KETAWA BERDERAI DI MKEJAUAHAN. DASAMUKA MEMEGANG KEPALANYA YANG BERDENYUT.
Kepalaku! Batok mkepalaku kosong. Rasanya seperti disedot. Aduh ini baru sakit. Hee ini sakit apa kok sakit sekali! Berhenti!!!! Tidak, tidak bisa! Aku sudah terbiasa dikepung keributan, dilontar ke tempat yang asing begini, aku jadi ngambang. Aduh! Aku tidak kuat! Sepi lebih menyakitkan dari keributan.
PANIK
Aduh! Telinganku ditusuki jarum! Kesepian ini liar, menggigit, berbisa. Sunyi ini seperti bor enusuk ke dalam rongga dada menyerang hati. Jantungku berdebar-debar. Nafasklu sesak! Pasti, aku bisa pastikan aku diserbu rongga kosong yang nyaring berdering. Jangan! Hentikan! Aku tidak kuat!
BUNYI NYARING MEMEKAKKAN. DASAMUKA MENUTU TELINGANYA DAN BERGULING-GULING MENAHGAN SAKIT. AKHIRNYA IA MENJERIT-JERIT
Stoooop!
BUNYI NYARING BERHENTI.
Edhan! Kenapa jadi begini? Kenapa jadi begini? Heee jawab!
MELIHAT KE SEKELILING
Biasanya kalau aku bertanya pasti kepala-kepala itu akan rebutan menyahut. Sekarang suaranya tidak ada yang mendengar. Tak ada yang menjawab. Tak ada yang memprotes. Tidak ada yang peduli. Sunyi sekali. Aku sendirian! Seperti keris panjang sepi menusuk menusuk jantungku perlahan-lahan.
KESAKITAN MEMEGANG DADANYA. KEPALA-KEPALA ITU TERLEPAS DARI GENGGAMANNYA, KEMBALI BERSERAKAN.
Gila, aku tidak bisa begini! Aku tidak kuat!
DIA BERGULING KARENA KESAKITAN.
Sudah! Sudah! Berhenti! Wah, wah, wah, kalau begini caranya, enakan juga punya banyak kepala!
DASAMUKA KEMBALI BERUSAHA MENGUMPULKAN KEPALA-KEPALA ITU. TAPI TAK SATU PUN BERHASIL IA JAMAH. LUPUT, MENGELAk, ATAU MENTAL KETIKA DIA SENTUH.
Ayo kembali!!! Pulangg lagi! Pulang!!!
BANGUN DAN MENGUMPULKAN KEPALA-KEPALANYA, TAPI TAK BERHASIL. IA MENGAMBIL SAPU DAN MENCOBA MENYAPU KUMPULKAN KEPALA-KEPALANYA, TAPI TAK BERHASIL. IA MENGAMBIL KAIN DAN BERUSAHA MENANGKAP KEPALA-KEPALANYA TAPI TAK BERHASIL. AKHIRNYA IA PENASARAN, LALU MEMUKUL-MUKUL KEPALANYA, SEPERTI MENANGKAP MAHLUK LIAR YANG TIDAK MAU DIKUASAI, TAPI TIDAK BERHASIL.
Ayo kenapa kamu? Aku rumah kamu! Aku trah kamu! Aku asal-muasal kamu! Kembali! Bersatu lagi! Bersatu!!!!!
IA MENJADI TERLALU CAPEK AKHIRNYA JATUH. DENGAN PUTUS ASA IA KEMBALI KE TEMPAT DUDUKNYA. IA HANYA BISA MELIHAT KEPALA-KEPALA ITU BERSERAKAN. LALU MENCOBA MEMBUJUK.
Kembalilah. Aku tidak kuat kesepian. Aku sudah terbiasa dengan kamu semua.. Ayo, aku mohon. Aku sembah. Kembalilah! Biar kita semua berbeda idiologi, tiap hari ribut, biar selalu gontok-gontokan, biarin, itu kan namanya romantika kehidupan, daripada sendiri begini seperti mati dan dibuang. Aku tidak mau mati!
Ayo kembali. Biar berbeda agama, berseberangan kepercayaan, berlawanan kepentingan, lain nkebutuhan, biar berbeda latar belakang, berbeda suku, berbeda bahasa. Biar berbeda nasib, tapi ayo, ayolah kembali. Jangan biarkan aku sendirian. Aku akan mati. Lihat baru beberapa hari aku sudah lemes. Ini hutan rimba buas, banyak macan di situ, kalau mereka tahu aku hanya punya kepala satu sekarang, mereka tidak akan takut lagi. Mereka tidak akan punya rasa hormat lagi terhadap kita yang mereka kagumi sebagai keajaiban, karena kita berbeda tapi dalam kesatuan.
Ayo. Kembali, kembalilah, Aku mohon kembalii!
TURUN DARI KURSI DAN MERAYAP.
Aku tidak akan memerintah-merintah lagi. Rezeki kita bagi sama-sama. Satu rasa, sama rata.
KARENA TIDAK BERHASIL, DASAMUKA MENCOBA MENDIRIKAN MEJA. LANTAS MENARUH KURSI DI ATAS MEJA. SUDAH ITU NAIK BERDIRI DI ATAS KURSI. DAN KEMUDIAN MERAUNG SEPERTI TARZAN.
.
Pulang, pulang semuanya! Aku membutuhkan kalian. Aku perlukan suaramu. Aku butuh pendapatmu, protes-protes kamu. Aku ingin lagi mendengar sumpah serapahmu. Bertengkarlah di sini, aku akan berikan kesempatan. Pulang semua! Gontok-gontakan di sini di rumahmu, jangan tinggalkan aku sendiri. Aku suka keributan. Aku perlu pergolakan. Aku suka didongkel, disumpah-sumpah, karena itu memang tugasku. Ayo pulang cepat! Aku sudah rindu! Aku akan mencintai perbedaan!
MERAUNG-RAUNG SEPERTI TARZAN. MERAUNG.
.
Astya Puri 27 Maret 08
Senin, 15 Maret 2010
SAJAK-SAJAK Fitri Yani
lampungpost, Minggu, 14 Maret 2010 |
SENI BUDAYA |
Di Taman Kota
di sebuah sore yang tembaga
seekor merpati mematuki remah roti di taman kota
dan angin musim dingin tiba-tiba bangkit
mengusap rambutku yang seperti nyiur di bukit
Tanjungkarang, 7 Desember 2009
Seperti Kuntum Cempaka
mendengar deru angin
di guguran daun,
segalanya tampak
begitu basah
seperti kuntum cempaka
di luar jendela.
Desember 2009
Yang Ingin Dikenang
di atas kolam, lotus mekar perlahan
ada yang menepuk bahu teman seperjalanan
ada yang tak merasa pasti dengan papan penunjuk jalan
ada yang terdesak dan terpaksa kembali ke kelokan
di pekarangan, angin menyapu daun-daun kering
ada percakapan yang gersang di bangku panjang
ada wajah yang terkelupas di hampar petang
ada ingatan yang tak ingin mengulang.
Tanjungkarang, 8 Desember 2009
Fiksi kesembilan; Bocah
Hujan hampir gila
membabi-buta, menerjang-nerjang jalan
di bawah cemara ada bocah bermata bening
ia duduk memeluk boneka yang menggigil
didengarnya suara serak gagak
dan dentang lonceng gereja
ia pejamkan mata
dibayangkannya keluarga boneka yang bahagia
yang selalu tersenyum sejak pertama diciptakan
di kejauhan, seorang Ibu berpayung hitam
memanggil-manggil nama
yang sudah dilupakan bocahnya
2008-2009
Di Tengah Rawa
sepasang angsa putih berenang
di tengah rawa
ada mata yang saling bertatapan
seperti memanjatkan sehelai doa
"mengapa segala hal
terasa begitu cepat usai"
teratai telah berbunga
Tanjungkarang, April 2009