lampungpost, Minggu, 9 Mei 2010
SENI BUDAYA
SAJAK-SAJAK
Eko Putra
Getaran Hujan
: kepada Orin
bagai getaran hujan
yang melenyapkan
sebuah janjiku kepadamu
rasa dingin begitu sulit
kuterjemahkan. walau kau beri
aku selusin selimut menutupi
sekujur tubuhku yang gigil.
rindu ini telah merobek
kamar dan jendela
dan tetesan hujan di luar
mengantarkan aku pada sepi
yang dipenuhi hawa gaib.
bila, sebuah sajak mampu menjaga
lelapmu malam ini. akan kupotong
seluruh jemariku. dan hujan
akan membawanya kepadamu.
sembari dituliskannya
doaku paling biru.
menuju amin ibu-bapakmu.
21 Maret 2010
Melankoli
keluasan, bukan milik siapa pun
di antara segala tatapan
yang telah dijatuhkan ke rongga dadaku.
serupa getaran mantera
yang melambatkan malam
aku hanya ingin keluar
dan membuat sebuah perhitungan
yang menjadikan aku terusir
dan tak tahu jalan pulang
yang entah di mana engkau
menyembunyikan sebuah alamat
yang kau curi dari ibuku
ketika aku diselimuti
hawa dingin yang gaib
yang menjadikan tarikan napasku
mengeraskan malam-malam jauh
kau menyelamatkan aku dengan satu kata saja. cinta.
di antara yang demikian
sesungguhnya siapa di antara kita
yang berhasil mengalahkan kekeliruan
sebab udara di seluruh kampung
telah menumbuhkan sebatang pohon di kepalaku
yang memaksa aku untuk bunuh diri
dan menuliskan huruf-huruf
yang memantulkan namamu.
saat ini, aku ingin mengunci pintu
dan mengurung diri
dengan sebuah mantel pemberian ibuku. tangisan.
(15 Maret 2010)
Hening
selembar daun kamboja
jatuh di halaman rumahmu.
angin betina membawa wangi dupa
menuju perkampungan.
alam lengang, langit rendah.
hanya tanda tanya
yang menguasai gelap malam.
mengantarkan hawa semedi yang terurai
di telapaktanganmu yang dingin.
bulan hanya bayang-bayang
tergantung di pohon bacang
dan tetaplah di sini
meski selalu asing
dan kosong
(16 Maret 2010)
Kabut Ungu
sesal. di sini, ketika embun menerka isi pagi. ada yang mendesah di penghujungnya. yang membuat matari tak tinggi, dan langkah terhenti.
engkau mungkin. Gadis manis yang membiarkan aku tak mampu menuju hari. karena fajar tampaknya melelapkan mimpi tak kembali. menemukan isyarat yang lewat dalam luka dan pedih.
jalan setapak yang dulu kubangun sebelum lelap. kini terbongkar oleh kabut, entah bagaimana aku dapat menjangkau matahari lain, selain menundukkan keangkuhan pada langit yang mengaramkan bulan-bulan
2010
------------
Eko Putra, lahir di Kertajaya, Musi Banyuasin, Sumsel, 19 Juni 1990. Sekarang menetap di Keramat Jaya, sebuah desa definitif dari desa kelahirannya dan mengabdi sebagai sekretaris desa di desa tersebut.
Sastra Lampung Post
Sabtu, 08 Mei 2010
CERPEN Mata Sayu Itu Bercerita
CERPEN
Mata Sayu Itu Bercerita
kompas, Minggu, 9 Mei 2010 | 04:14 WIB
Oleh Guntur Alam
Mata sayu itu banyak bercerita. Walau kami sekali pun belum pernah bertegur sapa, apalagi berbincang-bincang bak kawan lama.
Ia selalu duduk di sana, di meja paling pojok. Sering kali ia menyandarkan kepalanya di dinding kaca, membiarkan rambut panjangnya yang terurai menyentuh dinding itu, seakan mewakili dirinya untuk selalu mengawasi jalan di luar sana. Seperti itu. Selalu seperti itu.
Awalnya, kupikir ia seorang karyawati baru di salah satu kantor yang ada di seberang jalan. Ya, tentulah aku menduga serupa itu. Sebab baru kali itu kulihat ia di café ini. Telah berapa lamakah aku menghabiskan hari-hariku di sini? Tiga tahun, empat tahun, atau mungkin telah lima tahun? Aku sendiri hampir lupa, berapa lama aku mendedikasikan hidupku untuk sesuatu yang disebut pekerjaan dan pastinya, baru kali itu aku melihatnya di sini, di café langgananku.
Ia selalu duduk di bangku yang sama, menu yang sama: secangkir kopi dan sepotong kue—yang nyaris selalu tak ia sentuh. Mata sayunya selalu fokus menatap jalanan di luar sana, seolah-olah tengah menghitung berapa mobil yang lewat. Ah, tidak. Tentu dia menunggu seseorang.
Ya, mungkin saja ia tengah menunggu seseorang. Kekasihnyakah? Suami. Teman. Rekan bisnis. Ah, aku lebih yakin ia tengah menunggu kekasihnya. Mungkin mereka telah membuat janji untuk bertemu di café ini. Sayangnya, duga itu harus kubuang jauh-jauh. Berapa lama seseorang mau menunggu kekasihnya menempati janji kencan mereka? Satu hari, satu minggu, satu bulan, atau seperti perempuan itu yang telah tiga bulan setia menunggu di sini. Saban petang saat jam berada di angka empat sampai enam. Ah, tentu ia seorang kekasih yang demikian setia.
Namun, lama-lama aku menjadi iba dengan dirinya. Ah, tidak. Mungkin pula tertarik atas perilakunya. Oh, tidak-tidak. Aku, aku suka dengan matanya. Sepasang mata sayu yang setia mengawasi jalan di luar sana, mata sayu yang tiba-tiba begitu banyak melontarkan cerita. Mata sayu itu begitu mencuri perhatianku.
Mulanya, aku tak bisa memahami cerita dari mata sayu itu. Lalu, mataku menafsirkannya dengan begitu baik. Dan aku terhanyut, tersentuh hingga selalu rindu untuk mendengar cerita dari mata sayu itu.
Cerita pertama yang aku dengar dari mata sayu itu adalah tentang alasan mengapa perempuan itu duduk di sini, menatap jalanan, dan memilih jam di antara pukul empat sampai enam petang.
Rupanya, dugaku sedikit benar. Ia memang menunggu seseorang. Sayangnya, ketika kutanya mata itu: siapakah yang ia tunggu? Mata itu bungkam dan tak ingin bercerita. Mungkin, terlalu sukar baginya untuk menyebutkan nama seseorang yang ia tunggu itu.
Ketika aku tak memaksa untuk menyebutkan orang yang ia tunggu itu, mata sayu itu kembali mau bercerita. Katanya, ia selalu datang ke sini untuk menjumpai seseorang, seseorang yang telah mencuri perhatiannya. Seseorang yang telah menorehkan sesuatu yang begitu dalam di hatinya. Ah, tentu itu cinta, tebakku. Mata sayu itu terdiam, cukup lama dia diam, mungkin ia mengingat atau merenungkan ucapan yang baru saja aku lontarkan: apa mungkin memang cinta yang tertoreh di sana?
Bisa jadi. Bisa jadi memang cinta yang tertoreh di hati, ujar mata sayu itu. Aku tersenyum kecil mendengar itu. Ya, siapa yang sudi menunggu berhari-hari untuk seseorang yang tak begitu penting? Tentulah hanya karena cinta yang dapat menyebabkan seorang perempuan seperti pemilik mata sayu itu, rela menghabiskan tiap petangnya hanya untuk menunggu seseorang yang tak pasti kapan datangnya. Cinta. Hanya alasan itu sajalah yang bisa membuat orang berbuat serupa itu.
Tentu seseorang itu lelaki yang tampan. Oh, apakah ia laki-laki? Ah, mata sayu itu tiba-tiba merona, seperti ada binar-binar yang meletup dan begitu bergairah di dalam retinanya saat aku menebak seseorang itu lelaki yang tampan. Baru kali itu, ya baru kali itu, aku melihat mata sayu itu berbinar: cantik dan terasa sangat hidup, menyulut suatu gairah yang bersemayam dalam dadaku. Pipinya ikut-ikutan merona, mata itu mengangguk kecil. Ah, ia mengiyakan tebakanku. Aku tepat menebak seseorang yang ia tunggu itu: seorang laki-laki tampan yang telah mencuri hatinya. Oh, ini kisah cinta yang romantis.
Tapi, bukan ketampanan lelaki itu yang membuat mata sayu itu tertarik kepadanya. Aku jadi terdiam ketika mata sayu itu mengungkapkan hal itu. Lantas, apa penyebabnya? Apa wangi tubuh seseorang itu? Ya, ya, bisa juga. Bukankah perempuan suka dengan bau laki-laki? Bau yang menggelitik hidung dan menggelinjangkan jantungnya. Oh, rupanya bukan pula, mata sayu itu menggeleng. Kalau bukan wangi tubuhnya lantas apa? Aha, biar kutebak lagi, tentu postur tubuh seseorang itu. Apakah ia lelaki berbadan atletis? Dada bidang yang begitu kekar, banyak bulu di sekujur tubuhnya, rahang kuat yang menonjol. Oh, perempuan memang akan tergila-gila dengan lelaki serupa itu, berbadan bagus, wajah tampan, apalagi? Tentu ia lelaki yang sempurna.
Bukan pula! Lalu, apa penyebabnya? Mata sayu itu tersenyum malu-malu, ah manis sekali ketika ia tersipu seperti itu. Seperti gadis ABG yang kali pertama jatuh cinta dan seorang pemuda impiannya mengirimi sepucuk surat.
Oh, kau suka matanya. Ya, aku tahu. Mata memang sesuatu yang indah. Apakah mata lelaki itu indah? Mata sayu itu mengangguk, ia melukiskan betapa indah mata seseorang yang ia tunggu itu. Matanya coklat dengan bagian putih yang teramat bersih. Mata yang begitu mempesona, mata yang sangat pandai mengisahkan segala harapan yang ada, mata yang selalu membuatnya tak sabar menunggu hari esok untuk berjumpa, mata yang menyemangatinya untuk datang lebih awal, mata yang selalu mengajarinya untuk tak lelah, mata yang kerap melambungkan imajinasinya. Mata itu, mata sayu milik lelaki yang ia tunggu. Ah, mata sayu itu kembali berbinar ketika ia menyebut keindahan mata seseorang yang ia tunggu itu. Aku jadi membayangkan mata seseorang itu.
Apa matanya seperti mata sayumu? Mata yang begitu indah dengan kisah-kisah yang sangat menghanyutkan. Oh, tidak. Benarkah? Benarkah jauh lebih indah dari matamu yang sudah begitu mempesona? Ah, mata sayu itu mengangguk penuh keyakinan. Tak dapat aku bayangkan mata seseorang itu kalau matanya jauh lebih indah dari mata sayu perempuan ini. Alangkah sulit melukiskan mata yang jauh lebih indah dari matanya, sebab bagiku mata sayu itu sungguh mata yang luar biasa indahnya, kalau ada yang lebih indah. Oh, kanvas mana yang bisa menampungnya? Kuas mana yang bisa menggoreskannya? Pantaslah kalau mata sayu itu begitu menyukai seseorang yang ia tunggu itu. Pantaslah. Sangat pantas.
Kini, barulah kupaham, mengapa perempuan pemilik mata sayu itu rela berhari-hari menunggu seseorang itu. Ia seseorang yang sangat istimewa, seseorang yang telah menorehkan sesuatu dalam hatinya, mencuri perhatiannya. Seseorang yang memiliki mata yang begitu indah, mata yang telah membetot mata sayu perempuan itu. Mungkin, jika aku yang menjadi perempuan itu, aku pun akan melakukan hal serupa, menunggu dan akan selalu menunggu seseorang bermata indah dan penuh cerita itu kembali dan bercerita lagi.
Itulah mengapa aku semakin rajin datang ke café ini setelah pulang dari kantorku di seberang jalan sana. Aku ingin menemui mata sayu itu, mendengarkan kembali cerita-ceritanya dan menikmati betapa indah bola matanya. Selain itu, aku ingin menemaninya menunggu seseorang itu, tentu ia lelah dan kesepian jika menunggu seorang diri. Dan juga, aku penasaran dengan seseorang yang ia tunggu itu: apa benar seseorang itu memiliki mata sayu yang jauh lebih indah dari matanya? Aku ingin menyaksikan sendiri keindahan mata seseorang itu dan juga menyimak cerita-cerita dari mata itu, tak hanya sekedar cerita dari mata sayunya.
Sejak jarum jam tepat di angka empat sore, aku telah duduk di bangku ini. Sengaja aku memilih meja yang paling dekat dengan meja yang saban petang ditempati pemilik mata sayu itu. Niatku telah bulat, aku ingin sekali bercerita langsung kepadanya, bukan hanya lewat mata sayunya. Sayang, rupanya petang ini aku harus kembali kecewa. Lagi-lagi, ia tak datang. Seperti petang-petang sebelumnya. Satu minggu sudah mata sayu itu hilang dari pandanganku.
Oh, ke mana rupa mata sayu itu? Apakah ia mulai lelah bercerita? Mungkin pula ia telah letih menunggu seseorang yang tak kunjung menemuinya itu. Atau, ceritanya telah tamat, hingga ia merasa tak ada gunanya duduk di café ini lagi sebab tak ada cerita yang bisa ia uraikan kepadaku.
Ah, aku tak akan menyerah begitu saja. Aku akan setia menunggunya, mungkin bukan petang ini, bisa jadi ia tengah sibuk, banyak pekerjaan, atau ada halangan yang menyebabkan ia tak bisa datang. Mungkin. Mungkin saja. Mungkin saja ia akan datang besok petang. Besoknya lagi atau besoknya lagi.
Aku akan menunggu mata sayu itu kembali, kembali bercerita banyak hal kepadaku, tentang seseorang yang ia tunggu. Tentu saja, untuk memastikan apakah ia datang atau tidak, aku harus menunggunya di café ini, di meja paling pojok. Meja yang bisa membuatku leluasa menatap jalanan di luar sana. Dari jam empat sampai enam petang, aku harus di sini, memesan kopi dan sepotong kue, lalu menyandarkan kepala di dinding kaca sembari memutar kembali semua cerita yang ia uraikan di mataku: mataku yang menjadi sayu karena hanyut akan cerita-ceritanya itu. (*)
/C59, ditulis dari pojok café yang sepi, Januari 2010.
Share on Facebook
A A A
Ada 2 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda
Siti Maryam Purwoningrum @ Minggu, 9 Mei 2010 | 09:23 WIB
cerpen ini seperti "memutar-mutarkan" kisah tokoh-tokohnya, sebuah pilihan unik dalam bercerita dan menjadi trik menarik perhatian pembaca. Sukses buat Guntur!
Ujang @ Minggu, 9 Mei 2010 | 07:58 WIB
Huhh...perempuan, mata, menunggu, cafe? kayaknya sudah sering baca. Kurang greget cerpen ini.. :-(
Mata Sayu Itu Bercerita
kompas, Minggu, 9 Mei 2010 | 04:14 WIB
Oleh Guntur Alam
Mata sayu itu banyak bercerita. Walau kami sekali pun belum pernah bertegur sapa, apalagi berbincang-bincang bak kawan lama.
Ia selalu duduk di sana, di meja paling pojok. Sering kali ia menyandarkan kepalanya di dinding kaca, membiarkan rambut panjangnya yang terurai menyentuh dinding itu, seakan mewakili dirinya untuk selalu mengawasi jalan di luar sana. Seperti itu. Selalu seperti itu.
Awalnya, kupikir ia seorang karyawati baru di salah satu kantor yang ada di seberang jalan. Ya, tentulah aku menduga serupa itu. Sebab baru kali itu kulihat ia di café ini. Telah berapa lamakah aku menghabiskan hari-hariku di sini? Tiga tahun, empat tahun, atau mungkin telah lima tahun? Aku sendiri hampir lupa, berapa lama aku mendedikasikan hidupku untuk sesuatu yang disebut pekerjaan dan pastinya, baru kali itu aku melihatnya di sini, di café langgananku.
Ia selalu duduk di bangku yang sama, menu yang sama: secangkir kopi dan sepotong kue—yang nyaris selalu tak ia sentuh. Mata sayunya selalu fokus menatap jalanan di luar sana, seolah-olah tengah menghitung berapa mobil yang lewat. Ah, tidak. Tentu dia menunggu seseorang.
Ya, mungkin saja ia tengah menunggu seseorang. Kekasihnyakah? Suami. Teman. Rekan bisnis. Ah, aku lebih yakin ia tengah menunggu kekasihnya. Mungkin mereka telah membuat janji untuk bertemu di café ini. Sayangnya, duga itu harus kubuang jauh-jauh. Berapa lama seseorang mau menunggu kekasihnya menempati janji kencan mereka? Satu hari, satu minggu, satu bulan, atau seperti perempuan itu yang telah tiga bulan setia menunggu di sini. Saban petang saat jam berada di angka empat sampai enam. Ah, tentu ia seorang kekasih yang demikian setia.
Namun, lama-lama aku menjadi iba dengan dirinya. Ah, tidak. Mungkin pula tertarik atas perilakunya. Oh, tidak-tidak. Aku, aku suka dengan matanya. Sepasang mata sayu yang setia mengawasi jalan di luar sana, mata sayu yang tiba-tiba begitu banyak melontarkan cerita. Mata sayu itu begitu mencuri perhatianku.
Mulanya, aku tak bisa memahami cerita dari mata sayu itu. Lalu, mataku menafsirkannya dengan begitu baik. Dan aku terhanyut, tersentuh hingga selalu rindu untuk mendengar cerita dari mata sayu itu.
Cerita pertama yang aku dengar dari mata sayu itu adalah tentang alasan mengapa perempuan itu duduk di sini, menatap jalanan, dan memilih jam di antara pukul empat sampai enam petang.
Rupanya, dugaku sedikit benar. Ia memang menunggu seseorang. Sayangnya, ketika kutanya mata itu: siapakah yang ia tunggu? Mata itu bungkam dan tak ingin bercerita. Mungkin, terlalu sukar baginya untuk menyebutkan nama seseorang yang ia tunggu itu.
Ketika aku tak memaksa untuk menyebutkan orang yang ia tunggu itu, mata sayu itu kembali mau bercerita. Katanya, ia selalu datang ke sini untuk menjumpai seseorang, seseorang yang telah mencuri perhatiannya. Seseorang yang telah menorehkan sesuatu yang begitu dalam di hatinya. Ah, tentu itu cinta, tebakku. Mata sayu itu terdiam, cukup lama dia diam, mungkin ia mengingat atau merenungkan ucapan yang baru saja aku lontarkan: apa mungkin memang cinta yang tertoreh di sana?
Bisa jadi. Bisa jadi memang cinta yang tertoreh di hati, ujar mata sayu itu. Aku tersenyum kecil mendengar itu. Ya, siapa yang sudi menunggu berhari-hari untuk seseorang yang tak begitu penting? Tentulah hanya karena cinta yang dapat menyebabkan seorang perempuan seperti pemilik mata sayu itu, rela menghabiskan tiap petangnya hanya untuk menunggu seseorang yang tak pasti kapan datangnya. Cinta. Hanya alasan itu sajalah yang bisa membuat orang berbuat serupa itu.
Tentu seseorang itu lelaki yang tampan. Oh, apakah ia laki-laki? Ah, mata sayu itu tiba-tiba merona, seperti ada binar-binar yang meletup dan begitu bergairah di dalam retinanya saat aku menebak seseorang itu lelaki yang tampan. Baru kali itu, ya baru kali itu, aku melihat mata sayu itu berbinar: cantik dan terasa sangat hidup, menyulut suatu gairah yang bersemayam dalam dadaku. Pipinya ikut-ikutan merona, mata itu mengangguk kecil. Ah, ia mengiyakan tebakanku. Aku tepat menebak seseorang yang ia tunggu itu: seorang laki-laki tampan yang telah mencuri hatinya. Oh, ini kisah cinta yang romantis.
Tapi, bukan ketampanan lelaki itu yang membuat mata sayu itu tertarik kepadanya. Aku jadi terdiam ketika mata sayu itu mengungkapkan hal itu. Lantas, apa penyebabnya? Apa wangi tubuh seseorang itu? Ya, ya, bisa juga. Bukankah perempuan suka dengan bau laki-laki? Bau yang menggelitik hidung dan menggelinjangkan jantungnya. Oh, rupanya bukan pula, mata sayu itu menggeleng. Kalau bukan wangi tubuhnya lantas apa? Aha, biar kutebak lagi, tentu postur tubuh seseorang itu. Apakah ia lelaki berbadan atletis? Dada bidang yang begitu kekar, banyak bulu di sekujur tubuhnya, rahang kuat yang menonjol. Oh, perempuan memang akan tergila-gila dengan lelaki serupa itu, berbadan bagus, wajah tampan, apalagi? Tentu ia lelaki yang sempurna.
Bukan pula! Lalu, apa penyebabnya? Mata sayu itu tersenyum malu-malu, ah manis sekali ketika ia tersipu seperti itu. Seperti gadis ABG yang kali pertama jatuh cinta dan seorang pemuda impiannya mengirimi sepucuk surat.
Oh, kau suka matanya. Ya, aku tahu. Mata memang sesuatu yang indah. Apakah mata lelaki itu indah? Mata sayu itu mengangguk, ia melukiskan betapa indah mata seseorang yang ia tunggu itu. Matanya coklat dengan bagian putih yang teramat bersih. Mata yang begitu mempesona, mata yang sangat pandai mengisahkan segala harapan yang ada, mata yang selalu membuatnya tak sabar menunggu hari esok untuk berjumpa, mata yang menyemangatinya untuk datang lebih awal, mata yang selalu mengajarinya untuk tak lelah, mata yang kerap melambungkan imajinasinya. Mata itu, mata sayu milik lelaki yang ia tunggu. Ah, mata sayu itu kembali berbinar ketika ia menyebut keindahan mata seseorang yang ia tunggu itu. Aku jadi membayangkan mata seseorang itu.
Apa matanya seperti mata sayumu? Mata yang begitu indah dengan kisah-kisah yang sangat menghanyutkan. Oh, tidak. Benarkah? Benarkah jauh lebih indah dari matamu yang sudah begitu mempesona? Ah, mata sayu itu mengangguk penuh keyakinan. Tak dapat aku bayangkan mata seseorang itu kalau matanya jauh lebih indah dari mata sayu perempuan ini. Alangkah sulit melukiskan mata yang jauh lebih indah dari matanya, sebab bagiku mata sayu itu sungguh mata yang luar biasa indahnya, kalau ada yang lebih indah. Oh, kanvas mana yang bisa menampungnya? Kuas mana yang bisa menggoreskannya? Pantaslah kalau mata sayu itu begitu menyukai seseorang yang ia tunggu itu. Pantaslah. Sangat pantas.
Kini, barulah kupaham, mengapa perempuan pemilik mata sayu itu rela berhari-hari menunggu seseorang itu. Ia seseorang yang sangat istimewa, seseorang yang telah menorehkan sesuatu dalam hatinya, mencuri perhatiannya. Seseorang yang memiliki mata yang begitu indah, mata yang telah membetot mata sayu perempuan itu. Mungkin, jika aku yang menjadi perempuan itu, aku pun akan melakukan hal serupa, menunggu dan akan selalu menunggu seseorang bermata indah dan penuh cerita itu kembali dan bercerita lagi.
Itulah mengapa aku semakin rajin datang ke café ini setelah pulang dari kantorku di seberang jalan sana. Aku ingin menemui mata sayu itu, mendengarkan kembali cerita-ceritanya dan menikmati betapa indah bola matanya. Selain itu, aku ingin menemaninya menunggu seseorang itu, tentu ia lelah dan kesepian jika menunggu seorang diri. Dan juga, aku penasaran dengan seseorang yang ia tunggu itu: apa benar seseorang itu memiliki mata sayu yang jauh lebih indah dari matanya? Aku ingin menyaksikan sendiri keindahan mata seseorang itu dan juga menyimak cerita-cerita dari mata itu, tak hanya sekedar cerita dari mata sayunya.
Sejak jarum jam tepat di angka empat sore, aku telah duduk di bangku ini. Sengaja aku memilih meja yang paling dekat dengan meja yang saban petang ditempati pemilik mata sayu itu. Niatku telah bulat, aku ingin sekali bercerita langsung kepadanya, bukan hanya lewat mata sayunya. Sayang, rupanya petang ini aku harus kembali kecewa. Lagi-lagi, ia tak datang. Seperti petang-petang sebelumnya. Satu minggu sudah mata sayu itu hilang dari pandanganku.
Oh, ke mana rupa mata sayu itu? Apakah ia mulai lelah bercerita? Mungkin pula ia telah letih menunggu seseorang yang tak kunjung menemuinya itu. Atau, ceritanya telah tamat, hingga ia merasa tak ada gunanya duduk di café ini lagi sebab tak ada cerita yang bisa ia uraikan kepadaku.
Ah, aku tak akan menyerah begitu saja. Aku akan setia menunggunya, mungkin bukan petang ini, bisa jadi ia tengah sibuk, banyak pekerjaan, atau ada halangan yang menyebabkan ia tak bisa datang. Mungkin. Mungkin saja. Mungkin saja ia akan datang besok petang. Besoknya lagi atau besoknya lagi.
Aku akan menunggu mata sayu itu kembali, kembali bercerita banyak hal kepadaku, tentang seseorang yang ia tunggu. Tentu saja, untuk memastikan apakah ia datang atau tidak, aku harus menunggunya di café ini, di meja paling pojok. Meja yang bisa membuatku leluasa menatap jalanan di luar sana. Dari jam empat sampai enam petang, aku harus di sini, memesan kopi dan sepotong kue, lalu menyandarkan kepala di dinding kaca sembari memutar kembali semua cerita yang ia uraikan di mataku: mataku yang menjadi sayu karena hanyut akan cerita-ceritanya itu. (*)
/C59, ditulis dari pojok café yang sepi, Januari 2010.
Share on Facebook
A A A
Ada 2 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda
Siti Maryam Purwoningrum @ Minggu, 9 Mei 2010 | 09:23 WIB
cerpen ini seperti "memutar-mutarkan" kisah tokoh-tokohnya, sebuah pilihan unik dalam bercerita dan menjadi trik menarik perhatian pembaca. Sukses buat Guntur!
Ujang @ Minggu, 9 Mei 2010 | 07:58 WIB
Huhh...perempuan, mata, menunggu, cafe? kayaknya sudah sering baca. Kurang greget cerpen ini.. :-(
Siapa Mau Jadi Orang Indonesia?
lampungpost, Minggu, 9 Mei 2010
APRESIASI
Siapa Mau Jadi Orang Indonesia?
MERCY ce livre (terima kasih pada buku), good book is the great friend (buku yang baik adalah kawan setia). Dua istilah Prancis dan Inggris ini tidak dikenal dalam buku Jujur Saya Tidak Jujur karya Sudarmono yang diterbitkan Lampung Post, April lalu.
Tidak dikenal, bukan karena kita tidak pernah berterima kasih pada buku atau melihat buku sebagai barang biasa, tetapi yang terasa memang Sudarmmono dalam bukunya ini, jauh dari barat, jauh dari westernisasi. Bahkan ia mengoyak dan menekuk Barat sebagai suatu kendara gagah-gagahan yang sengaja atau tidak terlewat begitu saja. Sebab itu, saya bingung ketika harus membandingkan buku ini dengan beberapa buku asing, atau setidaknya mendekatkannya dengan Barat sebagai filosofi.
Anehnya, setelah membaca buku ini, saya kehilangan jati diri, puas menghirup napas Barat di bidang ilmu sosial, budaya, dan politik, membuat diri saya kerdil setelah membaca buku ini. Begini to kenyataannya di seputar ranjang kehidupan kita. Bukan mal, mobil baru, berlagak, dan bangga dengan istilah asing. Tidak, tidak itu yang ditawarkan dalam buku ini. Penulis buku ini lebih menawarkan pilar kemanusiaan, relegiusitas, dan ke-Indonesiaan yang hakiki.
Jujur, Saya Tidak Jujur telah meletakkan pilar kesadaran bagi kita, bahwa di sana, di rumah tangga, di keseharian kita, sesungguhnya komunitas yang ada di sekitar kita adalah manusia Indonesia yang berstandar pada kesederhanaan hidup, kejujuran menatap hidup, dan tidak enggan untuk muhasabah (introspeksi), bahkan kerap kita dituntut iling lan waspodo (ingat dan waspada) terhadap apa yang sedang dan akan kita hadapi.
Kesederhanaan penyampaian, dus mengembangkan dan membangun esensi tersendiri dalam buku ini, bahwa sebagai orang Indonesia, kita punya kosa kata nurani dalam hidup ini. Berumah tangga, bergaul, beragama, dan menjalankan apa yang kita hadapi secara serius, setidaknya itu pula yang merangsang kita untuk membaca buku ini. Terkadang kita dipaksa nyengir kuda, sebagaimana yang acap disunggingkan oleh seorang Sudarmono. Tak ada bahasa yang pas yang harus ditransformasikan yang berbahasa pujian atas nama kesederhanaan dan penghargaan terhadap hakikat hidup ke-Indonesiaan. Sentuhan yang berselimut pada nilai humanis, semangat untuk menghantarkan pembacanya pada Sudarmonoisme, (maksudnya, kebiasaan yang tidak selalu menyelimuti hidup dalam kepalsuan), adalah mencari jawab dan menjadi persoalaan tersendiri mengapa kita yang sedang asyik mansuk dengan dunia cybernetik yg centang peranang, seyogianya membaca buku ini.
Terminologi dan gramatikal dalam metoda linguistik yang sangat bebas, mengarahkan kita untuk terus bersandar pada pilar yang ditegakkan oleh Sudarmono dalam Jujur Saya Tidak Jujur. Misalnya istilah ngengkol untuk stater, dan bebrapa pemahaman idiom-idion yang terkadang dikotomis, tapi tetap berpacu pada ke-Indonesiaan, membuat pembaca tergiring untuk tidak menyetop diri begitu saja untuk tidak terus membacanya. Kendati buku ini hanyalah kumpulan Nuansa.
Oleh sebab itu, terpelantinglah, bahkan terpelesetlah kita yang senang dengan epistimologi sains sosial Barat, aufklarung, human material, liberalisme, dan neokapitalisme. Buku ini mereduksi semua pikiran itu, dan merampok nurani kita untuk ngeh, bahwa kalau kita belum bisa buat sekrup ya enggak usah icak icak ngomong tentang mekanik. Ya, Jujur Saya Tidak Jujur, memberi orientasi dan pemahaman, kehidupan ini mbok dilakoni saja enggak usah neko-neko, karena kita baru sebatas sekrup.
Jujur, yang menarik pula dalam buku ini, lamat-lamat, ada kesusasteraan eksistensialisme tanpa sadar, yakni detailnya ungkapan dan istilah, detailnya penggarapan rotasi yang hampir lurus dan cair tidak memaksa. Tampaknya, penulisnya ingin menghamparkan diskursus baru, bahwa semua yang sulit bisa dimudahkan, walau ada pula beberapa tulisan yang realita gagasannya tersendat.
Terlalu banyak kalau saya harus mengulas satu per satu kumpulan tulisan dalam buku ini, tapi dengan segala kekuatan, dan kelemahannya yang mungkin.
Buku setebal 338 halaman, tidak terlalu berkelebihan, bila selama ini disorientasi bergaya hidup, disorientasi dalam keseharian, dan berbagai penyimpangan hidup yang telah kita lakukan, akan dengan sendirinya tereduksi bahkan sirna atau setidaknya menyadarkan kita, bahwa apa-apa yang kita lakukan selama ini "tidak dalam koridor kemanusiaan" dan tidak seperti orang Indonesia.
Jujur yang ada pada kita selama ini, ternyata hanyalah hipokrisi yang dibangun oleh bawah sadar nurani kita yang tercabik, di mana pada gilirannya harus kita lemparkan ke dalam baskom kebenaran. Karena kenyataannya duduk di atas dingklik, makan mantang, naik sepeda motor butut, dan berbahasa apa adanya lebih baik ketimbang terus tidur di ranjang kapitalisme. Inilah kesadaran paling serius yang digugah dalam buku kumpulan Nuansa, sebuah kolom yang hadir setiap hari minus Minggu di bawah Tajuk harian Lampung Post ini.
Konkretnya, saya menarik enam benang hijau setelah membaca buku ini. Pertama, sebagai manusia kita harus seperti manusia dan memanusiakan orang. Kedua, sebagai insan bermoral, beragama, beretika, dan beberapa turunannya yang membungkus kebudayaan Indonesia, jalankan apa adanya. Ketiga, kait mengait kita dengan keruwetan hidup, adalah keseharian dan kenikmatan, yang jalan keluarnya pasti ada.
Keempat, ternyata selama ini ruang ketidakjujuran telah menebalkan iman kita dan tidak menyesatkan kita ke jalan yang lurus untuk tidak menjadi diri kita sendiri. Kelima, kebodohan, keluguan, lugas, dan menjadi manusia tidak mudah. Dan, yang keenam, buku ini benar-benar memukul, menghardik, menyentak-nyentak, mengejek dan membongkar kepalsuan-kepalsuan kita selama ini. Ya, itu tadi, kita seperti orang lain, katakanlah kita seperti "orang asing" di negeri kita sendiri. Dan mengapa kita menjadi "orang asing", karena kita tidak jujur dalam semua aspek kehidupan. Maka, bila kita tidak ingin menjadi orang asing alias kita ingin menjadi orang Indonesia seutuhnya, makruh rasanya kalau kita tidak membaca buku sederhana yang spektakuler ini. Nah,..?
Hardi Hamzah, Ketua Kelompok 11 dan Staf Ahli Mahar Foundation
APRESIASI
Siapa Mau Jadi Orang Indonesia?
MERCY ce livre (terima kasih pada buku), good book is the great friend (buku yang baik adalah kawan setia). Dua istilah Prancis dan Inggris ini tidak dikenal dalam buku Jujur Saya Tidak Jujur karya Sudarmono yang diterbitkan Lampung Post, April lalu.
Tidak dikenal, bukan karena kita tidak pernah berterima kasih pada buku atau melihat buku sebagai barang biasa, tetapi yang terasa memang Sudarmmono dalam bukunya ini, jauh dari barat, jauh dari westernisasi. Bahkan ia mengoyak dan menekuk Barat sebagai suatu kendara gagah-gagahan yang sengaja atau tidak terlewat begitu saja. Sebab itu, saya bingung ketika harus membandingkan buku ini dengan beberapa buku asing, atau setidaknya mendekatkannya dengan Barat sebagai filosofi.
Anehnya, setelah membaca buku ini, saya kehilangan jati diri, puas menghirup napas Barat di bidang ilmu sosial, budaya, dan politik, membuat diri saya kerdil setelah membaca buku ini. Begini to kenyataannya di seputar ranjang kehidupan kita. Bukan mal, mobil baru, berlagak, dan bangga dengan istilah asing. Tidak, tidak itu yang ditawarkan dalam buku ini. Penulis buku ini lebih menawarkan pilar kemanusiaan, relegiusitas, dan ke-Indonesiaan yang hakiki.
Jujur, Saya Tidak Jujur telah meletakkan pilar kesadaran bagi kita, bahwa di sana, di rumah tangga, di keseharian kita, sesungguhnya komunitas yang ada di sekitar kita adalah manusia Indonesia yang berstandar pada kesederhanaan hidup, kejujuran menatap hidup, dan tidak enggan untuk muhasabah (introspeksi), bahkan kerap kita dituntut iling lan waspodo (ingat dan waspada) terhadap apa yang sedang dan akan kita hadapi.
Kesederhanaan penyampaian, dus mengembangkan dan membangun esensi tersendiri dalam buku ini, bahwa sebagai orang Indonesia, kita punya kosa kata nurani dalam hidup ini. Berumah tangga, bergaul, beragama, dan menjalankan apa yang kita hadapi secara serius, setidaknya itu pula yang merangsang kita untuk membaca buku ini. Terkadang kita dipaksa nyengir kuda, sebagaimana yang acap disunggingkan oleh seorang Sudarmono. Tak ada bahasa yang pas yang harus ditransformasikan yang berbahasa pujian atas nama kesederhanaan dan penghargaan terhadap hakikat hidup ke-Indonesiaan. Sentuhan yang berselimut pada nilai humanis, semangat untuk menghantarkan pembacanya pada Sudarmonoisme, (maksudnya, kebiasaan yang tidak selalu menyelimuti hidup dalam kepalsuan), adalah mencari jawab dan menjadi persoalaan tersendiri mengapa kita yang sedang asyik mansuk dengan dunia cybernetik yg centang peranang, seyogianya membaca buku ini.
Terminologi dan gramatikal dalam metoda linguistik yang sangat bebas, mengarahkan kita untuk terus bersandar pada pilar yang ditegakkan oleh Sudarmono dalam Jujur Saya Tidak Jujur. Misalnya istilah ngengkol untuk stater, dan bebrapa pemahaman idiom-idion yang terkadang dikotomis, tapi tetap berpacu pada ke-Indonesiaan, membuat pembaca tergiring untuk tidak menyetop diri begitu saja untuk tidak terus membacanya. Kendati buku ini hanyalah kumpulan Nuansa.
Oleh sebab itu, terpelantinglah, bahkan terpelesetlah kita yang senang dengan epistimologi sains sosial Barat, aufklarung, human material, liberalisme, dan neokapitalisme. Buku ini mereduksi semua pikiran itu, dan merampok nurani kita untuk ngeh, bahwa kalau kita belum bisa buat sekrup ya enggak usah icak icak ngomong tentang mekanik. Ya, Jujur Saya Tidak Jujur, memberi orientasi dan pemahaman, kehidupan ini mbok dilakoni saja enggak usah neko-neko, karena kita baru sebatas sekrup.
Jujur, yang menarik pula dalam buku ini, lamat-lamat, ada kesusasteraan eksistensialisme tanpa sadar, yakni detailnya ungkapan dan istilah, detailnya penggarapan rotasi yang hampir lurus dan cair tidak memaksa. Tampaknya, penulisnya ingin menghamparkan diskursus baru, bahwa semua yang sulit bisa dimudahkan, walau ada pula beberapa tulisan yang realita gagasannya tersendat.
Terlalu banyak kalau saya harus mengulas satu per satu kumpulan tulisan dalam buku ini, tapi dengan segala kekuatan, dan kelemahannya yang mungkin.
Buku setebal 338 halaman, tidak terlalu berkelebihan, bila selama ini disorientasi bergaya hidup, disorientasi dalam keseharian, dan berbagai penyimpangan hidup yang telah kita lakukan, akan dengan sendirinya tereduksi bahkan sirna atau setidaknya menyadarkan kita, bahwa apa-apa yang kita lakukan selama ini "tidak dalam koridor kemanusiaan" dan tidak seperti orang Indonesia.
Jujur yang ada pada kita selama ini, ternyata hanyalah hipokrisi yang dibangun oleh bawah sadar nurani kita yang tercabik, di mana pada gilirannya harus kita lemparkan ke dalam baskom kebenaran. Karena kenyataannya duduk di atas dingklik, makan mantang, naik sepeda motor butut, dan berbahasa apa adanya lebih baik ketimbang terus tidur di ranjang kapitalisme. Inilah kesadaran paling serius yang digugah dalam buku kumpulan Nuansa, sebuah kolom yang hadir setiap hari minus Minggu di bawah Tajuk harian Lampung Post ini.
Konkretnya, saya menarik enam benang hijau setelah membaca buku ini. Pertama, sebagai manusia kita harus seperti manusia dan memanusiakan orang. Kedua, sebagai insan bermoral, beragama, beretika, dan beberapa turunannya yang membungkus kebudayaan Indonesia, jalankan apa adanya. Ketiga, kait mengait kita dengan keruwetan hidup, adalah keseharian dan kenikmatan, yang jalan keluarnya pasti ada.
Keempat, ternyata selama ini ruang ketidakjujuran telah menebalkan iman kita dan tidak menyesatkan kita ke jalan yang lurus untuk tidak menjadi diri kita sendiri. Kelima, kebodohan, keluguan, lugas, dan menjadi manusia tidak mudah. Dan, yang keenam, buku ini benar-benar memukul, menghardik, menyentak-nyentak, mengejek dan membongkar kepalsuan-kepalsuan kita selama ini. Ya, itu tadi, kita seperti orang lain, katakanlah kita seperti "orang asing" di negeri kita sendiri. Dan mengapa kita menjadi "orang asing", karena kita tidak jujur dalam semua aspek kehidupan. Maka, bila kita tidak ingin menjadi orang asing alias kita ingin menjadi orang Indonesia seutuhnya, makruh rasanya kalau kita tidak membaca buku sederhana yang spektakuler ini. Nah,..?
Hardi Hamzah, Ketua Kelompok 11 dan Staf Ahli Mahar Foundation
Amnesia Bahasa Indonesia dan Kritik Diri
lampungpost, Minggu, 9 Mei 2010
APRESIASI
Amnesia Bahasa Indonesia dan Kritik Diri
Negeri ini tak terbiasa dengan imajinasi, metafora, permainan bahasa, atau nalar bahasa. Pelbagai polemik dalam ranah politik, ekonomi, pendidikan, sosial, agama, dan kultural kerap disebabkan dari kenihilan pengetahuan atas bahasa.
Presiden pun repot dengan produksi bahasa dalam lakon politik. Orang-orang di parlemen tampak cerewet tapi susah membuat pertanyaan apik dan mengandung nalar kritis. Demonstrasi digelar dengan orasi dan spanduk tanpa kekuatan bahasa. Deskripsi kecil ini mungkin mengandung curiga akut bahwa orang-orang di negeri ini sudah melupakan sejarah bahasa Indonesia dan kekuatan dalam sekian praktek kehidupan.
Sumber dari amnesia ini mungkin bisa dilacak melalui penurunan kualitas materi dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia. Produksi buku pelajaran Bahasa Indonesia memang melimpah tapi kurang memberi porsi besar untuk siswa merawat dan menyemaikan nalar dan imajinasi melalui bahasa. Materi kebahasaan memang mendominasi tapi tidak melahirkan gairah untuk memandang dan memakai bahasa dalam jagat pikir dan tindakan produktif. Kritik kecil ini mungkin cenderung membuka aib dalam sejarah perkembangan dan kemandekan bahasa Indonesia melalui institusi pendidikan atas restu negara.
Situasi pembelajaran memang berubah drastis bebarengan dengan kepentingan negara dan pasar menciptakan pekerja dan pendistribusian pengetahuan praktis-pragmatis. Aib ini sudah lazim terjadi di negara berkembang karena menuruti impian menjadi negara besar dan bermartabat tapi tidak sadar dengan modal dan prosedur. Refleksi atas aib ini pantas kita kembalikan pada pruduksi buku pelajaran dan bacaan untuk siswa pada periode akhir tahun 1940-an dan 1960-an. Ajakan ini memang agak naif tapi bisa menjadi pengingat atas keteledoran sejarah dalam persemaian nalar dan imajinasi melalui bahasa Indonesia.
K.St. Pamoentjak dan M.J. Halim menulis buku Tjendrawasih: Kitab Batjaan untuk Sekolah Rendah (1949). Buku bacaan dalam dua jilid untuk siswa kelas II itu melulu berisi materi cerita, syair, percakapan, dan teka-teki. Murid-murid zaman dulu sibuk mengurusi bahasa dan realitas melalui bentuk-bentuk pengisahan yang imajinatif. Usia bocah merupakan momentum subur untuk pertumbuhan bahasa dalam konstruksi nalar dan imajinasi. Buku ini tentu memiliki efek besar pada siswa untuk memandang dunia dengan permainan tafsir dan keterbukaan terhadap potensi bahasa meski sadar itu masuk dalam bagian pembelajaran di sekolah.
B.M. Nur dan W.J.S. Poerwadarminta menulis buku berjudul Bahasaku: Kitab Peladjaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Rakjat untuk murid kelas III. Buku ini tidak mencantumkan tahun cetakan pertama tapi pada tahun 1957 telah mengalami pencetakan ke-10. Menakjubkan! Materi buku ini menyuguhkan materi: bacaan, pertanyaan bacaan, ceritakan kembali bacaan itu dengan kata-katamu sendiri, latihan menatap, latihan menyimak, ejaan, bercakap-cakap, menyusun kalimat, mengisi, menyempurnakan kalimat, merangkaikan kalimat, mengarang. Suguhan materi ini tampak memberi stimulus pada murid untuk memiliki kebebasan dan kepuasan dalam mengurusi bahasa dan imajinasi.
Dua buku di atas sekadar contoh mengenai makna bahasa bagi murid dalam sistem pembelajaran dan afirmasi atas potensi bahasa. Dominasi cerita, syair, atau percakapan memungkinkan murid sadar dengan kekuatan imajinasi untuk membuat bahasa menjadi hidup dan produktif dalam membaca-menilai realitas. Kisah masa lalu ini lekas terkubur oleh kebijakan Orde Baru dengan proyek bahasa ala militeristik untuk membentuk dan mengontrol nalar publik dengan mengabaikan jagat imajinasi. Sastra dimatikan atau sekarat dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia. Guru enggan mengajarkan dan murid kelimpungan masuk dalam hutan ketidaktahuan.
Produksi bahasa dalam sekian lakon di negeri ini kerap menjadi polemik pelik gara-gara dalam sejarah pembelajaran orang telah terjauhkan dari persemaian bahasa dalam spirit pembebasan. Negara melalui pelbagai peraturan dan sistem telah membentuk manusia-manusia alpa tafsir atas bahasa dan miskin imajinasi. Bahasa menjadi medium untuk penjinakan publik. Risiko dari pola kaku ini adalah kerepotan memahami bahasa dan pemaknaan secara cerdas, inklusif, produktif, dan konstruktif. Produksi bahasa dalam wacana publik justru dijadikan momok untuk pertarungan wagu atas nama kepentingan politik atau modal. Bahasa telah dipecundangi dengan ulah pragmatis.
Pembacaan terhadap sejarah bahasa Indonesia memungkinkan kelahiran kesadaran mengenai peran bahasa dalam pelbagai komunikasi di ranah publik dan individual. Pola homogen dalam kontrol bahasa telanjur membuat orang mengidap ketakutan untuk membahasakan diri atau memproduksi bahasa dalam penghindaran klise. Kemiskinan imajinasi membuat orang repot menafsirkan realitas dan reaksioner tanpa sadar ada jalan refleksi untuk menjadikan bahasa sebagai representasi dari realitas. Amnesia (sejarah) bahasa Indonesia memang sistemik karena terjadi lama dalam dunia pendidikan dan ditambah oleh faktor-faktor politik, sosial, ekonomi, dan kultural.
Kritik pedas dari Taufik Ismail mengenai buta sastra untuk negeri ini memang ironi memalukan. Pemberian mata pelajaran dan mata kuliah bahasa Indonesia di sekolah dan universitas hampir tak memberi gairah bahasa, gairah nalar, dan gairah imajinasi. Bahasa Indonesia seperti jadi momok dan dituruti sekadar untuk mendapati nilai dan lulus. Pemberlakuan pelajaran Bahasa Indonesia sebagai materi ujian kerap tak menentukan pembentukan kualitas pembelajar karena sesak dengan soal-soal sepele.
Perbandingan buku pelajaran Bahasa Indonesia pada masa lalu dan masa sekarang mungkin patut dilakukan untuk mengetahui perbedaan tipologi pemikiran dan imajinasi siswa dalam perbedaan zaman. Ikhtiar membuka kembali lembaran sejarah mengenai bahasa Indonesia mungkin memberi tanda tanya dan tanda seru untuk melakukan perubahan progresif atau kritik diri tanpa harus sibuk menginventarisasi kesalahan dan dosa. Kealpaan mesti lekas tamat dengan mengurusi bahasa Indonesia dengan pembukaan jalan nalar dan imajinasi untuk memberi modal pada murid sanggup membaca dan menilai realitas tanpa dinodai oleh kepicikan politik dan dunia hiburan. Begitu.
Bandung Mawardi
Peneliti Kabut Institut Solo dan Pemimpin Redaksi Jurnal Tempe Bosok
APRESIASI
Amnesia Bahasa Indonesia dan Kritik Diri
Negeri ini tak terbiasa dengan imajinasi, metafora, permainan bahasa, atau nalar bahasa. Pelbagai polemik dalam ranah politik, ekonomi, pendidikan, sosial, agama, dan kultural kerap disebabkan dari kenihilan pengetahuan atas bahasa.
Presiden pun repot dengan produksi bahasa dalam lakon politik. Orang-orang di parlemen tampak cerewet tapi susah membuat pertanyaan apik dan mengandung nalar kritis. Demonstrasi digelar dengan orasi dan spanduk tanpa kekuatan bahasa. Deskripsi kecil ini mungkin mengandung curiga akut bahwa orang-orang di negeri ini sudah melupakan sejarah bahasa Indonesia dan kekuatan dalam sekian praktek kehidupan.
Sumber dari amnesia ini mungkin bisa dilacak melalui penurunan kualitas materi dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia. Produksi buku pelajaran Bahasa Indonesia memang melimpah tapi kurang memberi porsi besar untuk siswa merawat dan menyemaikan nalar dan imajinasi melalui bahasa. Materi kebahasaan memang mendominasi tapi tidak melahirkan gairah untuk memandang dan memakai bahasa dalam jagat pikir dan tindakan produktif. Kritik kecil ini mungkin cenderung membuka aib dalam sejarah perkembangan dan kemandekan bahasa Indonesia melalui institusi pendidikan atas restu negara.
Situasi pembelajaran memang berubah drastis bebarengan dengan kepentingan negara dan pasar menciptakan pekerja dan pendistribusian pengetahuan praktis-pragmatis. Aib ini sudah lazim terjadi di negara berkembang karena menuruti impian menjadi negara besar dan bermartabat tapi tidak sadar dengan modal dan prosedur. Refleksi atas aib ini pantas kita kembalikan pada pruduksi buku pelajaran dan bacaan untuk siswa pada periode akhir tahun 1940-an dan 1960-an. Ajakan ini memang agak naif tapi bisa menjadi pengingat atas keteledoran sejarah dalam persemaian nalar dan imajinasi melalui bahasa Indonesia.
K.St. Pamoentjak dan M.J. Halim menulis buku Tjendrawasih: Kitab Batjaan untuk Sekolah Rendah (1949). Buku bacaan dalam dua jilid untuk siswa kelas II itu melulu berisi materi cerita, syair, percakapan, dan teka-teki. Murid-murid zaman dulu sibuk mengurusi bahasa dan realitas melalui bentuk-bentuk pengisahan yang imajinatif. Usia bocah merupakan momentum subur untuk pertumbuhan bahasa dalam konstruksi nalar dan imajinasi. Buku ini tentu memiliki efek besar pada siswa untuk memandang dunia dengan permainan tafsir dan keterbukaan terhadap potensi bahasa meski sadar itu masuk dalam bagian pembelajaran di sekolah.
B.M. Nur dan W.J.S. Poerwadarminta menulis buku berjudul Bahasaku: Kitab Peladjaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Rakjat untuk murid kelas III. Buku ini tidak mencantumkan tahun cetakan pertama tapi pada tahun 1957 telah mengalami pencetakan ke-10. Menakjubkan! Materi buku ini menyuguhkan materi: bacaan, pertanyaan bacaan, ceritakan kembali bacaan itu dengan kata-katamu sendiri, latihan menatap, latihan menyimak, ejaan, bercakap-cakap, menyusun kalimat, mengisi, menyempurnakan kalimat, merangkaikan kalimat, mengarang. Suguhan materi ini tampak memberi stimulus pada murid untuk memiliki kebebasan dan kepuasan dalam mengurusi bahasa dan imajinasi.
Dua buku di atas sekadar contoh mengenai makna bahasa bagi murid dalam sistem pembelajaran dan afirmasi atas potensi bahasa. Dominasi cerita, syair, atau percakapan memungkinkan murid sadar dengan kekuatan imajinasi untuk membuat bahasa menjadi hidup dan produktif dalam membaca-menilai realitas. Kisah masa lalu ini lekas terkubur oleh kebijakan Orde Baru dengan proyek bahasa ala militeristik untuk membentuk dan mengontrol nalar publik dengan mengabaikan jagat imajinasi. Sastra dimatikan atau sekarat dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia. Guru enggan mengajarkan dan murid kelimpungan masuk dalam hutan ketidaktahuan.
Produksi bahasa dalam sekian lakon di negeri ini kerap menjadi polemik pelik gara-gara dalam sejarah pembelajaran orang telah terjauhkan dari persemaian bahasa dalam spirit pembebasan. Negara melalui pelbagai peraturan dan sistem telah membentuk manusia-manusia alpa tafsir atas bahasa dan miskin imajinasi. Bahasa menjadi medium untuk penjinakan publik. Risiko dari pola kaku ini adalah kerepotan memahami bahasa dan pemaknaan secara cerdas, inklusif, produktif, dan konstruktif. Produksi bahasa dalam wacana publik justru dijadikan momok untuk pertarungan wagu atas nama kepentingan politik atau modal. Bahasa telah dipecundangi dengan ulah pragmatis.
Pembacaan terhadap sejarah bahasa Indonesia memungkinkan kelahiran kesadaran mengenai peran bahasa dalam pelbagai komunikasi di ranah publik dan individual. Pola homogen dalam kontrol bahasa telanjur membuat orang mengidap ketakutan untuk membahasakan diri atau memproduksi bahasa dalam penghindaran klise. Kemiskinan imajinasi membuat orang repot menafsirkan realitas dan reaksioner tanpa sadar ada jalan refleksi untuk menjadikan bahasa sebagai representasi dari realitas. Amnesia (sejarah) bahasa Indonesia memang sistemik karena terjadi lama dalam dunia pendidikan dan ditambah oleh faktor-faktor politik, sosial, ekonomi, dan kultural.
Kritik pedas dari Taufik Ismail mengenai buta sastra untuk negeri ini memang ironi memalukan. Pemberian mata pelajaran dan mata kuliah bahasa Indonesia di sekolah dan universitas hampir tak memberi gairah bahasa, gairah nalar, dan gairah imajinasi. Bahasa Indonesia seperti jadi momok dan dituruti sekadar untuk mendapati nilai dan lulus. Pemberlakuan pelajaran Bahasa Indonesia sebagai materi ujian kerap tak menentukan pembentukan kualitas pembelajar karena sesak dengan soal-soal sepele.
Perbandingan buku pelajaran Bahasa Indonesia pada masa lalu dan masa sekarang mungkin patut dilakukan untuk mengetahui perbedaan tipologi pemikiran dan imajinasi siswa dalam perbedaan zaman. Ikhtiar membuka kembali lembaran sejarah mengenai bahasa Indonesia mungkin memberi tanda tanya dan tanda seru untuk melakukan perubahan progresif atau kritik diri tanpa harus sibuk menginventarisasi kesalahan dan dosa. Kealpaan mesti lekas tamat dengan mengurusi bahasa Indonesia dengan pembukaan jalan nalar dan imajinasi untuk memberi modal pada murid sanggup membaca dan menilai realitas tanpa dinodai oleh kepicikan politik dan dunia hiburan. Begitu.
Bandung Mawardi
Peneliti Kabut Institut Solo dan Pemimpin Redaksi Jurnal Tempe Bosok
POLEMIK Nalar Uang dan Nalar (Pengarang) Sastra
POLEMIK
Nalar Uang dan Nalar (Pengarang) Sastra
kompas, Minggu, 9 Mei 2010 | 03:46 WIB
Oleh Bandung Mawardi
Seorang lelaki suntuk membuat esai-esai kecil tentang harga sastra, sejarah ekonomi sastra, uang dalam jejak kolonialisme-modernitas, transformasi ekonomi-sosial-kultural dalam proyek menjadi Indonesia, dan rezim korporasi sejagat dalam sastra. Pembacaan dan pencatatan atas sekian teks sastra Indonesia membuat lelaki itu menundukkan kepala karena merasa kerepotan mendapati ilustrasi dan persemaian imajinasi atas pelbagai garapan tema-tema dalam sastra di Indonesia pada abad XX.
Tumpukan sekian novel sebagai pilihan untuk membaca tanda-tanda zaman hampir membisu. Lelaki itu memilih untuk melacak jejak uang kendati harus memilih dengan agak sembrono karena belum menemukan peta ”ekonomi sastra” di negeri ini.
Pembacaan terselamatkan ketika menggauli teks-teks sastra Melayu Tionghoa. Pengarang-pengarang dari kalangan Tionghoa dengan gairah tak biasa mulai membuka jalan kesadaran untuk memerkarakan uang dengan acuan-acuan ”faktual”. Pengisahan dalam anutan sastra dan jurnalistik kentara menampilkan kepekaan atas peran, makna, dan efek uang dalam pelbagai komunitas sosial di Hindia Belanda. Kepekaan ini mungkin ditunjang dengan antusisme kalangan Tionghoa mengurusi sektor-sektor ekonomi. Uang menjadi diskursus besar dan menentukan nasib di geliat kolonialisme.
Inilah daftar pendek mengenai penggarapan tema uang dalam sastra Melayu Tionghoa: Lo Fen Koei (1903) oleh Gouw Peng Liang, Oey Se (1903) oleh Thio Tjon Boen, Dengen Duwa Cent Jadi Kaya (1920) Thio Tjin Boen, Berkahnya Malaise (1933) oleh Kwee Tek Hoay, Satu Milliun (1938) oleh Soe Lie Piet, dan lain-lain. Deretan teks sastra ini merupakan dokumen zaman. Para pengarang kerap memberi klaim bahwa cerita itu dituliskan dengan pengajuan ada kejadian atau fakta. Pembaca digoda untuk memberi ”keberimanan” dan anutan atas pernyataan klaim. Simaklah keterangan dalam pembuatan judul dan tata bahasa pada sampul: ”cerita yang betul suda kejadian di pulo Jawa dari halnya satu tuan tana dan pachter opium di Res”, ”yaitu satu cerita yang amat endah dan lucu yang betul sudah kejadian di Jawa Tengah”.
Peka
Pencatatan mulai dilakukan untuk mengetahui wacana uang dalam sastra. Sekian teks sastra itu lumayan memberi ilustrasi tentang situasi Hindia Belanda dan persepsi orang atas pelbagai hal mengenai uang. Kisah mengejutkan muncul dalam Oey Se. Tokoh Oey Se takjub melihat bocah main layangan terbuat dari uang kertas. Hasrat uang pun tumbuh. Oey Se minta bertemu dengan bapak si bocah. Bapak ini tinggal di dalam hutan dan naif alias tidak tahu kalau kertas-kertas di keranjang itu adalah uang. Makna uang tak menyentuh nalar. Seni merayu dilancarkan untuk mendapati uang kertas dalam dua keranjang. Oey Se berhasil membeli uang itu dengan harga murah.
Simaklah: ”... maka sekarang Oey Se dapat harta kira-kira kurang lebih f 5.000.000 (lima miliun rupiah) tapi sebab di dusun tiada kenal itungan, maka ia dibayar f 14.” Uang telah membuat si bapak itu dan Oey Se ekstase: ”Si tuan rumah kaget lihat duit begitu putih sebab uang f 14 buat orang miskin begitu ada besar sekali harganya, lebih lagi si Oey Se jadi lemas dan merasa tida karuan di dalam dirinya....”
Persepsi atas uang terbentuk dalam kondisi perbedaan latar kelas sosial, derajat ekonomi, dan nalar. Persamaan dan kontras ini mesti diletakkan dalam konteks zaman pada saat gerak ekonomi di Hindia Belanda memusat pada kalangan tertentu. Nalar uang ada untuk kepemilikan otoritas. Persepsi kaum miskin terhadap uang terbentuk karena nalar lapar atau nalar pertahanan hidup. Perbedaan nalar uang untuk keserakahan atau hasrat kapitalistik melampaui dari nalar uang dalam jerat kemiskinan dan ketidaksanggupan masuk dalam lingkaran ekonomi produktif.
Pencatatan atas uang ini memang hampir menginsafkan atas pamrih seorang lelaki membuat proyek kecil untuk riset sastra. Lelaki itu mafhum ada tendensi untuk memperkarakan uang dalam sastra di luar Balai Pustaka atau pencapaian pengarang-pengarang Pujangga Baru. Pikat sastra Melayu Tionghoa melahirkan kesadaran tentang sensibilitas pengarang untuk memerkarakan uang secara reflektif, kritis, dan dokumentatif. Pikat ini menjadi modal untuk keluhan atas pengabaian peran sastra Melayu Tionghoa dalam penulisan sejarah (resmi atau baku) sastra di Indonesia. Data-data ini bisa dipakai untuk tidak meratapi atas ketidaksanggupan pengarang sastra Indonesia modern dalam menggarap tema uang. Lelaki itu sadar, tetapi merasa ada kegagalan atau kekurangan saat para pengarang dalam sejarah sastra resmi memakai tema uang sebagai instrumen atau wacana sekunder. Pemahaman atas kondisi ekonomi, fakta sosial-kultural, arus modernitas, kegenitan kolonialisme, atau represi politik.
Nalar
Lelaki itu sengaja memilih kutipan dari Berkahnya Malaise untuk menunjukkan kepekaan pengarang sastra Melayu Tionghoa terhadap makna uang dalam suatu zaman. Simaklah alinea pembuka ini sebagai tanggapan kreatif atas situasi 1930-an: ”Yang malaise atawa economisch depressie sudah mendatengken kasangsaraan heibat pada manusia di seluruh dunia, itulah semua orang sudah tau. Bagimana besar kadukaan, kasedihan, kasusahan dan kakalutan yang ditumbulkan oleh malaise, itu pun sudah cukup banyak dituturken satiap hari, hingga sekalipun anak-anak kecil bisa mengarti bagimana heibatnya kasukeran yang manusia musti tanggung dan hadepken di ini masa lantaran malaise punya gara-gara.”
Kutipan ini informatif dan kentara memiliki tendensi untuk mendedahkan fakta-fakta ekonomi, sosial, politik, dan kultural di Hindia Belanda saat malaise menimpa dunia. Makna uang menjadi menentukan dalam narasi Kwee Tek Hoay. Sastra tak sekadar bicara uang sebagai pemanis atau pelengkap. Kwee Tek Hoay justru mengantarkan pembaca untuk menelisik relasi uang dengan pelbagai lini kehidupan manusia. Garapan kritis dalam sastra memungkinkan model kritik sastra menjadi multidimensional ketika harus mengurusi uang.
Lelaki penulis esai ”Uang, Modernitas, dan Tafsir Sastra” (Kompas, 7 Maret 2010) memberi tawa kecil saat membaca esai tanggapan dari Binhad Nurrohmat dengan titel ”Mata Sastra Tak Melirik Mata Uang?” (Kompas, 14 Maret 2010). Binhad seperti mau mengoreksi tentang pernyataan ketidakpekaan pengarang di Indonesia dalam menggarap tema uang. Koreksi itu dikuatkan dengan pengajuan contoh: Telegram (1972) oleh Putu Wijaya, Pasar (1995) Kuntowijoyo, Belenggu (1940) oleh Armijn Pane, dan Ronggeng Dukuh Paruk (1982) oleh Ahmad Tohari. Binhad justru terkesan memihak kelihaian Nikolai Gogol dalam Shinel (1842). Binhad mengingatkan apa atau terpikat oleh apa? Silakan novel-novel itu diajukan sebagai contoh kendati kurang mengena dalam pamrih sorotan uang dan modernitas.
Lelaki itu masih memikirkan tentang keterputusan atau pergeseran wacana uang dalam garapan sastra di Indonesia. Sekian teks sastra Melayu Tionghoa telah jadi pemula. Antusiasme pengarang Tionghoa ini tentu dipengaruhi oleh pelbagai fakta kelas sosial, kekuatan ekonomi, nalar kapitalistik, imperatif politk-kolonialisme, atau hasrat modernitas. Mengapa pengarang-pengarang dalam jejak sejarah resmi sastra Indonesia dan sajian sekian teks sastra hari ini abai dengan uang. Apakah sudah tak ada titik temu atau intimitas antara nalar uang dan nalar (pengarang) sastra?
Bandung Mawar diPeneliti Kabut Institut Solo dan Redaktur Jurnal Kandang Esai
Nalar Uang dan Nalar (Pengarang) Sastra
kompas, Minggu, 9 Mei 2010 | 03:46 WIB
Oleh Bandung Mawardi
Seorang lelaki suntuk membuat esai-esai kecil tentang harga sastra, sejarah ekonomi sastra, uang dalam jejak kolonialisme-modernitas, transformasi ekonomi-sosial-kultural dalam proyek menjadi Indonesia, dan rezim korporasi sejagat dalam sastra. Pembacaan dan pencatatan atas sekian teks sastra Indonesia membuat lelaki itu menundukkan kepala karena merasa kerepotan mendapati ilustrasi dan persemaian imajinasi atas pelbagai garapan tema-tema dalam sastra di Indonesia pada abad XX.
Tumpukan sekian novel sebagai pilihan untuk membaca tanda-tanda zaman hampir membisu. Lelaki itu memilih untuk melacak jejak uang kendati harus memilih dengan agak sembrono karena belum menemukan peta ”ekonomi sastra” di negeri ini.
Pembacaan terselamatkan ketika menggauli teks-teks sastra Melayu Tionghoa. Pengarang-pengarang dari kalangan Tionghoa dengan gairah tak biasa mulai membuka jalan kesadaran untuk memerkarakan uang dengan acuan-acuan ”faktual”. Pengisahan dalam anutan sastra dan jurnalistik kentara menampilkan kepekaan atas peran, makna, dan efek uang dalam pelbagai komunitas sosial di Hindia Belanda. Kepekaan ini mungkin ditunjang dengan antusisme kalangan Tionghoa mengurusi sektor-sektor ekonomi. Uang menjadi diskursus besar dan menentukan nasib di geliat kolonialisme.
Inilah daftar pendek mengenai penggarapan tema uang dalam sastra Melayu Tionghoa: Lo Fen Koei (1903) oleh Gouw Peng Liang, Oey Se (1903) oleh Thio Tjon Boen, Dengen Duwa Cent Jadi Kaya (1920) Thio Tjin Boen, Berkahnya Malaise (1933) oleh Kwee Tek Hoay, Satu Milliun (1938) oleh Soe Lie Piet, dan lain-lain. Deretan teks sastra ini merupakan dokumen zaman. Para pengarang kerap memberi klaim bahwa cerita itu dituliskan dengan pengajuan ada kejadian atau fakta. Pembaca digoda untuk memberi ”keberimanan” dan anutan atas pernyataan klaim. Simaklah keterangan dalam pembuatan judul dan tata bahasa pada sampul: ”cerita yang betul suda kejadian di pulo Jawa dari halnya satu tuan tana dan pachter opium di Res”, ”yaitu satu cerita yang amat endah dan lucu yang betul sudah kejadian di Jawa Tengah”.
Peka
Pencatatan mulai dilakukan untuk mengetahui wacana uang dalam sastra. Sekian teks sastra itu lumayan memberi ilustrasi tentang situasi Hindia Belanda dan persepsi orang atas pelbagai hal mengenai uang. Kisah mengejutkan muncul dalam Oey Se. Tokoh Oey Se takjub melihat bocah main layangan terbuat dari uang kertas. Hasrat uang pun tumbuh. Oey Se minta bertemu dengan bapak si bocah. Bapak ini tinggal di dalam hutan dan naif alias tidak tahu kalau kertas-kertas di keranjang itu adalah uang. Makna uang tak menyentuh nalar. Seni merayu dilancarkan untuk mendapati uang kertas dalam dua keranjang. Oey Se berhasil membeli uang itu dengan harga murah.
Simaklah: ”... maka sekarang Oey Se dapat harta kira-kira kurang lebih f 5.000.000 (lima miliun rupiah) tapi sebab di dusun tiada kenal itungan, maka ia dibayar f 14.” Uang telah membuat si bapak itu dan Oey Se ekstase: ”Si tuan rumah kaget lihat duit begitu putih sebab uang f 14 buat orang miskin begitu ada besar sekali harganya, lebih lagi si Oey Se jadi lemas dan merasa tida karuan di dalam dirinya....”
Persepsi atas uang terbentuk dalam kondisi perbedaan latar kelas sosial, derajat ekonomi, dan nalar. Persamaan dan kontras ini mesti diletakkan dalam konteks zaman pada saat gerak ekonomi di Hindia Belanda memusat pada kalangan tertentu. Nalar uang ada untuk kepemilikan otoritas. Persepsi kaum miskin terhadap uang terbentuk karena nalar lapar atau nalar pertahanan hidup. Perbedaan nalar uang untuk keserakahan atau hasrat kapitalistik melampaui dari nalar uang dalam jerat kemiskinan dan ketidaksanggupan masuk dalam lingkaran ekonomi produktif.
Pencatatan atas uang ini memang hampir menginsafkan atas pamrih seorang lelaki membuat proyek kecil untuk riset sastra. Lelaki itu mafhum ada tendensi untuk memperkarakan uang dalam sastra di luar Balai Pustaka atau pencapaian pengarang-pengarang Pujangga Baru. Pikat sastra Melayu Tionghoa melahirkan kesadaran tentang sensibilitas pengarang untuk memerkarakan uang secara reflektif, kritis, dan dokumentatif. Pikat ini menjadi modal untuk keluhan atas pengabaian peran sastra Melayu Tionghoa dalam penulisan sejarah (resmi atau baku) sastra di Indonesia. Data-data ini bisa dipakai untuk tidak meratapi atas ketidaksanggupan pengarang sastra Indonesia modern dalam menggarap tema uang. Lelaki itu sadar, tetapi merasa ada kegagalan atau kekurangan saat para pengarang dalam sejarah sastra resmi memakai tema uang sebagai instrumen atau wacana sekunder. Pemahaman atas kondisi ekonomi, fakta sosial-kultural, arus modernitas, kegenitan kolonialisme, atau represi politik.
Nalar
Lelaki itu sengaja memilih kutipan dari Berkahnya Malaise untuk menunjukkan kepekaan pengarang sastra Melayu Tionghoa terhadap makna uang dalam suatu zaman. Simaklah alinea pembuka ini sebagai tanggapan kreatif atas situasi 1930-an: ”Yang malaise atawa economisch depressie sudah mendatengken kasangsaraan heibat pada manusia di seluruh dunia, itulah semua orang sudah tau. Bagimana besar kadukaan, kasedihan, kasusahan dan kakalutan yang ditumbulkan oleh malaise, itu pun sudah cukup banyak dituturken satiap hari, hingga sekalipun anak-anak kecil bisa mengarti bagimana heibatnya kasukeran yang manusia musti tanggung dan hadepken di ini masa lantaran malaise punya gara-gara.”
Kutipan ini informatif dan kentara memiliki tendensi untuk mendedahkan fakta-fakta ekonomi, sosial, politik, dan kultural di Hindia Belanda saat malaise menimpa dunia. Makna uang menjadi menentukan dalam narasi Kwee Tek Hoay. Sastra tak sekadar bicara uang sebagai pemanis atau pelengkap. Kwee Tek Hoay justru mengantarkan pembaca untuk menelisik relasi uang dengan pelbagai lini kehidupan manusia. Garapan kritis dalam sastra memungkinkan model kritik sastra menjadi multidimensional ketika harus mengurusi uang.
Lelaki penulis esai ”Uang, Modernitas, dan Tafsir Sastra” (Kompas, 7 Maret 2010) memberi tawa kecil saat membaca esai tanggapan dari Binhad Nurrohmat dengan titel ”Mata Sastra Tak Melirik Mata Uang?” (Kompas, 14 Maret 2010). Binhad seperti mau mengoreksi tentang pernyataan ketidakpekaan pengarang di Indonesia dalam menggarap tema uang. Koreksi itu dikuatkan dengan pengajuan contoh: Telegram (1972) oleh Putu Wijaya, Pasar (1995) Kuntowijoyo, Belenggu (1940) oleh Armijn Pane, dan Ronggeng Dukuh Paruk (1982) oleh Ahmad Tohari. Binhad justru terkesan memihak kelihaian Nikolai Gogol dalam Shinel (1842). Binhad mengingatkan apa atau terpikat oleh apa? Silakan novel-novel itu diajukan sebagai contoh kendati kurang mengena dalam pamrih sorotan uang dan modernitas.
Lelaki itu masih memikirkan tentang keterputusan atau pergeseran wacana uang dalam garapan sastra di Indonesia. Sekian teks sastra Melayu Tionghoa telah jadi pemula. Antusiasme pengarang Tionghoa ini tentu dipengaruhi oleh pelbagai fakta kelas sosial, kekuatan ekonomi, nalar kapitalistik, imperatif politk-kolonialisme, atau hasrat modernitas. Mengapa pengarang-pengarang dalam jejak sejarah resmi sastra Indonesia dan sajian sekian teks sastra hari ini abai dengan uang. Apakah sudah tak ada titik temu atau intimitas antara nalar uang dan nalar (pengarang) sastra?
Bandung Mawar diPeneliti Kabut Institut Solo dan Redaktur Jurnal Kandang Esai
Avianti Armand

Puisi
kompas, Minggu, 9 Mei 2010 | 04:37 WIB
Avianti Armand
9000 Km
Suara pintu terbuka. Seorang perempuan.
Di sini sebuah jeruk terbelah dua –
separuh untuknya, separuh untukku.
Lalu seorang lelaki berkata,
“Aku telah menempuh 9000 km untuk
memberikan ini padamu.”
Jeruk itu menengadah, seolah lupa.
Perempuan itu mengelupas jarak dan
membuangnya ke lantai. Di lantai,
merah jadi latar dan sepasang sepatu.
“Apakah dia baik-baik saja?” Tak ada jawab.
Tanganku meraih ruang di sela paha.
Tangannya menggenggam jeri
yang segera meleleh.
Selalu ada satu titik di awal.
Sebelum sela pada senar cello dan
nafas tergesek. Satu satu.
Sebelum potongan adegan terakhir –
kaki-kaki yang berselingkuh dan bibir
yang bertumpang tindih.
Sebelum 9000 km.
Di lantai itu butiran jeruk menggelinding
ke bawah kursi.
Aku sekali lagi tertunduk.
Avianti Armand
Satu Matahari
Di batas itu, aku memilih menjadi buta.
Kenapa? Tanyamu.
Setahun yang lalu aku telah melihat sesuatu
yang tak seharusnya kulihat.
Mereka bilang: matahari.
Mataku menangkap: dia.
Tubuhku seketika mengerang oleh cahaya yang terlalu terang. Dan terlalu gelap.
Lalu dia bergantian mendenyutkan ingin yang akut – seperti desah dalam lipatan daging.
Terang – gelap – terang – gelap.
Cadar ini terlalu tipis untuk menyembunyikan rasa.
Apa yang kau lihat di jalan itu?
Genangan air yang jadi hijau?
Merah, kataku. Hujan merah.
Di balik garis-garis basah, dia indah
dan selamanya berpendar.
Di sini, gambar-gambar memudar.
Setelah itu, mereka mencoba menghilangkan cahaya dari ingatanku.
Tapi aku masih bisa merasakan panasnya.
Kata mereka, cuma ada satu matahari.
Kataku, itu milikku.
Dan aku tak mau berbagi.
Di batas itu, aku memilih menjadi buta.
Kenapa? Tanyamu.
Entahlah. Mungkin cinta memang begitu
Avianti Armand
Menit
Di kotak telepon, cahaya membiru seperti memar. Di dering ketiga, kita sama-sama tahu –
huruf-huruf setebal kitab itu tak akan bersahabat. Cuma nama-nama yang tak kita kenal.
Dan siklus yang tak putus dari perpisahan,
hujan, musim panas dan insomnia.
Suatu hari seseorang menunjuk arloji di tangannya dan berkata, ia akan mengingatku di menit itu selamanya. Sejak itu, selalu ada yang membersihkan jam di ujung lorong agar tak jadi abu.
Enam belas april. Jam tiga siang tahun lalu. Ingatkah kamu?
Tidak. Tapi menjelang malam,
akan ada jalan yang basah
dan trem yang membelah.
Aku telah membeli tiket untuk menjemput
menit yang mati yang terselip di obituari
surat kabar hari ini.
Kamu memang tak akan datang.
Siluetmu saja yang kerap berhenti
di depan titik hilang.
Dan tepat di atas besi penutup jalan,
perpisahan terjadi lagi, hujan jatuh,
dan musim panas tertinggal.
Sesudahnya, kamu tahu, kita takkan sanggup mengingat apa-apa.
Seperti apa matahari tenggelam hari itu?
04.12 – 17 Januari 2010
“9000 Km” terinspirasi film pendek Wong Kar-Wai I Travelled 9000 Km To Give You This.
“Satu Matahari” terinspirasi film pendek Wong Kar-Wai There’s Only One Sun.
“Menit” terinspirasi film Wong Kar-Wai Days Of Being Wild.
Indrian Koto
Kopi Panas dari Bekas Planet Terbakar
aku melihat planet-planet sedang diciptakan
dari gelembung air matang untuk seduhan kopiku.
sepanjang dua puluh empat jam aku bolak-balik
ke dapur yang kurasa seperti toko yang bangkrut.
aku melihat cakrawala membentang dalam periuk.
api menciptakan sabda lewat asap kompor.
aku merasa seperti sebuah keberangkatan yang jauh.
pergi yang tak pernah pulang. pergi sebagai orang terusir
ketika semua genap diciptakan. dinding dapur menggelupas
seperti toko yang habis dijarah.
penghuninya bertahan hidup dengan menjelma hantu.
di tanganku, gelas kopi menjadi gelombang sunyi.
sebuah kota tenggelam di dalamnya. aku merasa
kesedihan mencuat dari adonan gula
bagai kuburan tua yang sebentar lagi akan dibongkar.
aku menciptakan kopi
dari bekas planet yang tak jadi.
kompor terus membakar penciptaan demi penciptaan.
2010
Indrian Koto
Menjelang Ajal
mereka urung menekan pelatuk dan membiarkannya melenggang
menuju malam yang tak pernah tidur di jalan-jalan keramaian
pecah setelah lama ia tidak melihat bentuk trotoar deretan toko
serta kerumunan para gadis ia ingin berjalan terus melewati
tembok penuh coretan poster iklan di tiang listrik lampu jalan
yang tak menyala tikus berlarian dari satu selokan ke selokan
lain tak akan ada yang menyapanya tak akan ada yang
mengenalnya dunia telah lama menguburnya koran dan televisi
mengabaikan dirinya setelah mengambil untung atas
kejahatannya lalu membunuhnya diam-diam diganti dengan lebih
sadis lebih hangat lebih ngeri sekaligus menakjubkan ia
terabaikan di sel sempit bertahun-tahun membayangkan masa
lalu dan menghidupkan semua kenangan di kepalanya menghibur
maut yang tak kunjung mengetuk
tapi malam ini ia bisa mencium rumput bau malam yang
membuatnya akan terus mengenang sebelum ia berhadapan
dengan maut yang menunggu dan ditunggu ia membayangkan
mereka urung menekan pelatuk dan membiarkannya melenggang
menuju malam yang tak pernah tidur
2010
Avianti Armand tinggal di Jakarta. Ia kerap menulis catatan perjalanan dan ulasan arsitektur. Bukunya adalah kumpulan prosa lirik Negeri Para Peri (2009).
Indrian Koto lahir 19 Februari 1983 di Kenagarian Taratak, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Mahasiswa Sosiologi di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, ini aktif di Rumah Poetika dan Rumahlebah Yogyakarta.
Minggu, 02 Mei 2010
Gebrakan Bollywood
Gebrakan Bollywood
My Name Is Khan dan 3 Idiots seolah membuktikan resep sukses film-film Bollywood bukan cuma nyanyian dan goyangan. Berkibar di sejumlah negara.
koran tempo, Edisi 01 Mei 2010
"All izz well." Kalimat "sakti" ini selalu diucapkan Rancho setiap kali pemuda India itu ketiban masalah. Begitu pula ketika dia menghadapi kemarahan sahabat karibnya, Raju. Sang sahabat marah lantaran ayahnya yang sakit parah dilarikan ke rumah sakit tak menggunakan ambulans atau taksi, tapi malah memakai sepeda motor. Bayangkan, sang ayah yang tua dan kurus kering digerogoti penyakit didudukkan di atas sepeda motor diapit Rancho dan Pia, teman perempuan sekaligus dokter, yang dengan kecepatan penuh memacu sepeda motornya menerobos lalu lintas kota yang padat. Mengharukan tapi juga menggelikan.
Kelucuan dan keharuan seperti itulah yang mewarnai film drama komedi 3 Idiots. Film yang diangkat dari buku laris karangan Chetan Bhagat berjudul Five Point Someone itu berkisah tentang kehidupan Rancho (dimainkan dengan apik oleh aktor populer pada 1990-an, Aamir Khan), Farhan (Madhavan), dan Raju (Sharman Joshi). Ketiganya adalah mahasiswa jurusan teknik di sebuah universitas bergengsi di India yang dipimpin rektor "killer" Viru Sahastrabudhhe yang tak kenal kompromi, kolot, dan keras kepala. Dengan sang rektor, ketiga pemuda yang disebut idiot oleh dosen dan teman-temannya itu berkali-kali berseteru. Saking kesalnya, mereka memanggil orang paling berpengaruh di universitas itu Virus.
Film 3 Idiots tak sekadar melempar hal-hal lucu yang untungnya terdengar cerdas. Film ini juga menyampaikan satu pesan moral yang menyindir budaya di India: bagaimana pilihan hidup setiap anak telah ditetapkan orang tua tanpa bisa memilih. Bahkan bayi yang baru lahir sudah ditentukan masa depannya. Jika laki-laki harus menjadi insinyur, jika perempuan jadi dokter, dan sebagainya. Film ini pun sukses menyampaikan kritik terhadap cara mendidik yang terlalu textbook sehingga tidak merangsang perkembangan individu, hingga menyentil masalah kurang meratanya pendidikan, terutama di India. "Kenapa ilmu itu hanya untuk menghafal, tidakkah ilmu itu untuk digunakan?" tanya Rancho kepada sang rektor.
Tapi film berdurasi 164 menit ini tetap mempertahankan pakem film India. Masih ada nyanyian mendayu-dayu, pohon besar berjajar, dan tarian serta hujan. Hanya Rajkumar mengemasnya dengan humor. Hasilnya memuaskan. Dalam minggu pertama pemutarannya, 3 Idiots yang dirilis 24 Desember tahun lalu ke 40 negara itu berhasil meraih US$ 20 juta atau sekitar Rp 200 miliar di seluruh dunia, termasuk di Amerika Serikat, yang mampu menembus angka US$ 6,5 juta.
"Tak pernah ada yang menyangka ada film India selaris ini di sini. Kalaupun sukses, masyarakat hanya menduga kisaran US$ 3-4 juta," tutur Shariq Hamid, pemilik empat gedung bioskop di Texas. Di Indonesia, film yang pekan ini masih diputar di Blitzmegaplex ini juga terbilang laris dan jadi pembicaraan di dunia maya, termasuk situs jejaring sosial Twitter. Film 3 Idiots kembali mengulang kesuksesan Slumdog Millionaire.
Selain 3 Idiots, produk Bollywood yang meraih kesuksesan adalah My Name Is Khan-- yang disutradarai Karan Johar. Dibintangi Shahrukh Khan dan Kajol, yang sempat mengentak lewat perannya di film Kuch Kuch Hota Hai, My Name Is Khan bercerita tentang sosok Rizwan Khan, seorang muslim India yang sejak lahir menderita sindrom Asperger (Asperger syndrome), sebuah gejala autisme, yang para penderitanya memiliki kesulitan dalam berkomunikasi dengan lingkungan sekitar.
Bersama ibunya (Zarina Wahab), Rizwan dan adiknya, Zakir Khan (Jimmy Shergill), tinggal di wilayah kumuh Borivali, Mumbai. Pada usia 18, sang adik mendapatkan beasiswa untuk belajar di Amerika. Ketika sang ibu tiada, Zakir memboyong Rizwan tinggal bersamanya di San Francisco dan memberikan pekerjaan sebagai pramuniaga produk obat kecantikan di perusahaannya. Di sanalah Rizwan bertemu dengan Mandira (Kajol), ibu seorang anak lelaki.
Kehidupan keluarga yang harmonis antara Rizwan, Mandira, dan sang anak semata wayang mereka, Sameer (Yuvaan Makaar), berubah total saat sejumlah teroris menyerang menara kembar World Trade Center di New York pada September 2001. Sebagai orang India bernama belakang Khan keluarga itu mulai mendapat perlakuan tak adil dan dituduh teroris. Demi membuktikannya, dia memulai perjalanannya untuk bertemu dengan Presiden Amerika dan membersihkan namanya. "My name is Khan, and I am not a terrorist," begitu dia menjawab pandangan curiga orang di sekitarnya.
Berbeda dengan film India kebanyakan, dalam film ini tak ada tarian dan nyanyian dari tokoh-tokohnya. Meski begitu, Karan Johar yang berperan sebagai sutradara mampu membuat film ini terasa begitu berkelas. Film kolaborasi patungan antara Fox Searchlight Pictures dan Dharma Productions itu mampu menembus box office tak hanya di India, tapi juga di Eropa, Australia, Asia, dan tentu saja Indonesia. Di Inggris, film ini menjadi film Bollywood yang paling sukses dalam sejarah box office Inggris. Sejak dirilis pada 12 Februari 2010, My Name Is Khan langsung meluncur ke peringkat keenam box office Inggris. Film tersebut berhasil meraup pendapatan US$ 1,4 juta.
Film ini memang sempat mendapat protes dari kelompok garis keras Hindu di India. Sejumlah pendemo bahkan sempat menurunkan poster dan melempari bioskop yang memutar film tersebut. Tapi ini tak ada hubungannya dengan jalan cerita yang ditawarkan. Para pendemo kecewa terhadap pernyataan sang bintang utama, Shahrukh Khan yang memiliki sebuah klub kriket bahwa dirinya kurang setuju kalau pemain kriket Pakistan dilarang bermain di Liga India. Toh, aksi tersebut tak mampu menghalangi film ini menapaki tangga kesuksesan.NUNUY NURHAYATI
My Name Is Khan dan 3 Idiots seolah membuktikan resep sukses film-film Bollywood bukan cuma nyanyian dan goyangan. Berkibar di sejumlah negara.
koran tempo, Edisi 01 Mei 2010
"All izz well." Kalimat "sakti" ini selalu diucapkan Rancho setiap kali pemuda India itu ketiban masalah. Begitu pula ketika dia menghadapi kemarahan sahabat karibnya, Raju. Sang sahabat marah lantaran ayahnya yang sakit parah dilarikan ke rumah sakit tak menggunakan ambulans atau taksi, tapi malah memakai sepeda motor. Bayangkan, sang ayah yang tua dan kurus kering digerogoti penyakit didudukkan di atas sepeda motor diapit Rancho dan Pia, teman perempuan sekaligus dokter, yang dengan kecepatan penuh memacu sepeda motornya menerobos lalu lintas kota yang padat. Mengharukan tapi juga menggelikan.
Kelucuan dan keharuan seperti itulah yang mewarnai film drama komedi 3 Idiots. Film yang diangkat dari buku laris karangan Chetan Bhagat berjudul Five Point Someone itu berkisah tentang kehidupan Rancho (dimainkan dengan apik oleh aktor populer pada 1990-an, Aamir Khan), Farhan (Madhavan), dan Raju (Sharman Joshi). Ketiganya adalah mahasiswa jurusan teknik di sebuah universitas bergengsi di India yang dipimpin rektor "killer" Viru Sahastrabudhhe yang tak kenal kompromi, kolot, dan keras kepala. Dengan sang rektor, ketiga pemuda yang disebut idiot oleh dosen dan teman-temannya itu berkali-kali berseteru. Saking kesalnya, mereka memanggil orang paling berpengaruh di universitas itu Virus.
Film 3 Idiots tak sekadar melempar hal-hal lucu yang untungnya terdengar cerdas. Film ini juga menyampaikan satu pesan moral yang menyindir budaya di India: bagaimana pilihan hidup setiap anak telah ditetapkan orang tua tanpa bisa memilih. Bahkan bayi yang baru lahir sudah ditentukan masa depannya. Jika laki-laki harus menjadi insinyur, jika perempuan jadi dokter, dan sebagainya. Film ini pun sukses menyampaikan kritik terhadap cara mendidik yang terlalu textbook sehingga tidak merangsang perkembangan individu, hingga menyentil masalah kurang meratanya pendidikan, terutama di India. "Kenapa ilmu itu hanya untuk menghafal, tidakkah ilmu itu untuk digunakan?" tanya Rancho kepada sang rektor.
Tapi film berdurasi 164 menit ini tetap mempertahankan pakem film India. Masih ada nyanyian mendayu-dayu, pohon besar berjajar, dan tarian serta hujan. Hanya Rajkumar mengemasnya dengan humor. Hasilnya memuaskan. Dalam minggu pertama pemutarannya, 3 Idiots yang dirilis 24 Desember tahun lalu ke 40 negara itu berhasil meraih US$ 20 juta atau sekitar Rp 200 miliar di seluruh dunia, termasuk di Amerika Serikat, yang mampu menembus angka US$ 6,5 juta.
"Tak pernah ada yang menyangka ada film India selaris ini di sini. Kalaupun sukses, masyarakat hanya menduga kisaran US$ 3-4 juta," tutur Shariq Hamid, pemilik empat gedung bioskop di Texas. Di Indonesia, film yang pekan ini masih diputar di Blitzmegaplex ini juga terbilang laris dan jadi pembicaraan di dunia maya, termasuk situs jejaring sosial Twitter. Film 3 Idiots kembali mengulang kesuksesan Slumdog Millionaire.
Selain 3 Idiots, produk Bollywood yang meraih kesuksesan adalah My Name Is Khan-- yang disutradarai Karan Johar. Dibintangi Shahrukh Khan dan Kajol, yang sempat mengentak lewat perannya di film Kuch Kuch Hota Hai, My Name Is Khan bercerita tentang sosok Rizwan Khan, seorang muslim India yang sejak lahir menderita sindrom Asperger (Asperger syndrome), sebuah gejala autisme, yang para penderitanya memiliki kesulitan dalam berkomunikasi dengan lingkungan sekitar.
Bersama ibunya (Zarina Wahab), Rizwan dan adiknya, Zakir Khan (Jimmy Shergill), tinggal di wilayah kumuh Borivali, Mumbai. Pada usia 18, sang adik mendapatkan beasiswa untuk belajar di Amerika. Ketika sang ibu tiada, Zakir memboyong Rizwan tinggal bersamanya di San Francisco dan memberikan pekerjaan sebagai pramuniaga produk obat kecantikan di perusahaannya. Di sanalah Rizwan bertemu dengan Mandira (Kajol), ibu seorang anak lelaki.
Kehidupan keluarga yang harmonis antara Rizwan, Mandira, dan sang anak semata wayang mereka, Sameer (Yuvaan Makaar), berubah total saat sejumlah teroris menyerang menara kembar World Trade Center di New York pada September 2001. Sebagai orang India bernama belakang Khan keluarga itu mulai mendapat perlakuan tak adil dan dituduh teroris. Demi membuktikannya, dia memulai perjalanannya untuk bertemu dengan Presiden Amerika dan membersihkan namanya. "My name is Khan, and I am not a terrorist," begitu dia menjawab pandangan curiga orang di sekitarnya.
Berbeda dengan film India kebanyakan, dalam film ini tak ada tarian dan nyanyian dari tokoh-tokohnya. Meski begitu, Karan Johar yang berperan sebagai sutradara mampu membuat film ini terasa begitu berkelas. Film kolaborasi patungan antara Fox Searchlight Pictures dan Dharma Productions itu mampu menembus box office tak hanya di India, tapi juga di Eropa, Australia, Asia, dan tentu saja Indonesia. Di Inggris, film ini menjadi film Bollywood yang paling sukses dalam sejarah box office Inggris. Sejak dirilis pada 12 Februari 2010, My Name Is Khan langsung meluncur ke peringkat keenam box office Inggris. Film tersebut berhasil meraup pendapatan US$ 1,4 juta.
Film ini memang sempat mendapat protes dari kelompok garis keras Hindu di India. Sejumlah pendemo bahkan sempat menurunkan poster dan melempari bioskop yang memutar film tersebut. Tapi ini tak ada hubungannya dengan jalan cerita yang ditawarkan. Para pendemo kecewa terhadap pernyataan sang bintang utama, Shahrukh Khan yang memiliki sebuah klub kriket bahwa dirinya kurang setuju kalau pemain kriket Pakistan dilarang bermain di Liga India. Toh, aksi tersebut tak mampu menghalangi film ini menapaki tangga kesuksesan.NUNUY NURHAYATI
Puisi-puisi Ook Nugroho
Puisi-puisi Ook Nugroho
kompas, Minggu, 2 Mei 2010 | 03:26 WIB
Dalam setiap sajak
Dalam setiap sajak
Selalu ada bayangan
Seorang lelaki yang gemar berlagak
Dan mengaku saya
Seteru pun sekutuku berseru
Sungguh betapa ia mirip
Lihat gayanya berjalan
Yang limbung di antara awan-gemawan
Wajahnya memang samar
Sebab derai hujan dan kelebat topan
Kerap menaungi arah pandangnya
Yang ditumbuhi ilalang petang
Ia juga gemar
Memainkan waktu di tangannya
Mengubah warna-warni musim
Menukarnya dengan raut malam yang pejam
Aku tak pernah tahu
Sesungguhnya ia siapa
Setiap kali kutanya ia tertawa
Seraya lindap nyelinap ke dalam kata
2010
***
Tengah Kumasuki Malam
Tengah kumasuki malam
Dari mana sajakmu bermula
Tanganku meraba judul
Ingin memindai parasmu
Di sana kujumpai bulan
Pelan berlayar dari kata ke kata
Bayangan musim yang tak utuh lagi
Menggasing dalam gelap
Tengah kususuri kelam
Ke mana kutahu jejakmu berbelok
Lalu seakan raib, sesudah baris
Yang menandaimu dengan derai gerimis
2010
***
Agar Menjadi Kisah
Agar menjadi kisah
Kau harus menjadi sungai
Bersekutu dengan musim
Dengan cuaca sepanjang tebing
Agar menjadi sungai
Kau harus kembali
Ke puncak sepi berkabut itu
Menemukan sumber awal tak terduga
Alasan-alasan tersembunyi
Di belakang setiap desah bunyi
Isyarat-isyarat kekal purba
Di sebalik rerimbun waktu
Agar memahami waktu
Akar-akarnya yang menjalar
Pada setiap lembar halaman kisah
Kau harus menjelma huruf-hurufnya
2010
***
Pelajaran Pertama Menulis Sajak
: Frida Nathania
Untuk menulis sajak, kita tak perlu
Meja yang lapang, pun tak butuh liur bir
Guna merangsang sang syair terlahir
Dari kelangkang takdirnya kelabu
Tapi mungkin kita perlukan sunyi
(Barangkali dalam secangkir kopi):
Kelam, pekat, mengepul dari pori bumi
Dari kolong waktu yang kenyang dilukai
Jadi kita akan duduk bersama, merenungi
Di meja lapuk yang tak teramat luas ini
Memutuskan sesudah merundingkannya masak
Kata-kata terbaik bagi sebuah sajak
2010
***
Batuk
Jauh di kolong rongga
Ada suara bertalu-talu
Seorang yang lama menunggu
Terus menggedor mencari jalan keluar
Kalau saja aku bisa menolongnya –
Tapi hanya kupunya sedikit kata
Itu pun terganjal dahak waktu
Mengental jadi jarak yang kekal
Seorang yang lama mencari
Gemanya tertahan di bawah rongga
Seperti tak asing bagiku ia siapa
Seperti padaku parau ia memanggil
2010
Ook Nugroho lahir di Jakarta, 7 April 1960. Buku puisinya, Hantu Kata, akan terbit tahun ini. Ia tinggal dan bekerja di kota kelahirannya.
kompas, Minggu, 2 Mei 2010 | 03:26 WIB
Dalam setiap sajak
Dalam setiap sajak
Selalu ada bayangan
Seorang lelaki yang gemar berlagak
Dan mengaku saya
Seteru pun sekutuku berseru
Sungguh betapa ia mirip
Lihat gayanya berjalan
Yang limbung di antara awan-gemawan
Wajahnya memang samar
Sebab derai hujan dan kelebat topan
Kerap menaungi arah pandangnya
Yang ditumbuhi ilalang petang
Ia juga gemar
Memainkan waktu di tangannya
Mengubah warna-warni musim
Menukarnya dengan raut malam yang pejam
Aku tak pernah tahu
Sesungguhnya ia siapa
Setiap kali kutanya ia tertawa
Seraya lindap nyelinap ke dalam kata
2010
***
Tengah Kumasuki Malam
Tengah kumasuki malam
Dari mana sajakmu bermula
Tanganku meraba judul
Ingin memindai parasmu
Di sana kujumpai bulan
Pelan berlayar dari kata ke kata
Bayangan musim yang tak utuh lagi
Menggasing dalam gelap
Tengah kususuri kelam
Ke mana kutahu jejakmu berbelok
Lalu seakan raib, sesudah baris
Yang menandaimu dengan derai gerimis
2010
***
Agar Menjadi Kisah
Agar menjadi kisah
Kau harus menjadi sungai
Bersekutu dengan musim
Dengan cuaca sepanjang tebing
Agar menjadi sungai
Kau harus kembali
Ke puncak sepi berkabut itu
Menemukan sumber awal tak terduga
Alasan-alasan tersembunyi
Di belakang setiap desah bunyi
Isyarat-isyarat kekal purba
Di sebalik rerimbun waktu
Agar memahami waktu
Akar-akarnya yang menjalar
Pada setiap lembar halaman kisah
Kau harus menjelma huruf-hurufnya
2010
***
Pelajaran Pertama Menulis Sajak
: Frida Nathania
Untuk menulis sajak, kita tak perlu
Meja yang lapang, pun tak butuh liur bir
Guna merangsang sang syair terlahir
Dari kelangkang takdirnya kelabu
Tapi mungkin kita perlukan sunyi
(Barangkali dalam secangkir kopi):
Kelam, pekat, mengepul dari pori bumi
Dari kolong waktu yang kenyang dilukai
Jadi kita akan duduk bersama, merenungi
Di meja lapuk yang tak teramat luas ini
Memutuskan sesudah merundingkannya masak
Kata-kata terbaik bagi sebuah sajak
2010
***
Batuk
Jauh di kolong rongga
Ada suara bertalu-talu
Seorang yang lama menunggu
Terus menggedor mencari jalan keluar
Kalau saja aku bisa menolongnya –
Tapi hanya kupunya sedikit kata
Itu pun terganjal dahak waktu
Mengental jadi jarak yang kekal
Seorang yang lama mencari
Gemanya tertahan di bawah rongga
Seperti tak asing bagiku ia siapa
Seperti padaku parau ia memanggil
2010
Ook Nugroho lahir di Jakarta, 7 April 1960. Buku puisinya, Hantu Kata, akan terbit tahun ini. Ia tinggal dan bekerja di kota kelahirannya.
Penyair sebagai Sang Hermes Iswadi Pratama
Lampungpost, Minggu, 2 Mei 2010
APRESIASI
Penyair sebagai Sang Hermes Iswadi Pratama
MEMASUKI tahun 2010, penyair asal Lampung, Inggit Putria Marga, menerbitkan antologi puisi bertajuk Penyeret Babi.
Sajak-sajak dalam antologi ini dikelompokkan dalam dua bagian: Pertama, Mantra Petani (30 sajak), dan bagian kedua Pemuja Api (40 sajak). Pembagian ini saya kira lebih berdasarkan bentuk sajak daripada tematik atau periodisasi. Bagian pertama terdiri atas sajak-sajak yang relatif pendek dan bagian kedua lebih banyak menghimpun sajak dengan jejak prosa (ceritera) yang sangat kuat.
Kumpulan sajak Penyeret Babi dibuka dengan sajak Langit Begitu Sendiri: ada embun sisa hujan/di ranting patah// di daun yang basah/ada embun//sisa hujan.
"Si aku" yang biasanya sangat dominan dalam sajak-sajak liris Indonesia yang sering berwajah sendu, telah ditransfigurasi sedemikian rupa oleh Inggit sehingga dengan sajak-sajak yang mengisyaratkan laku 'meditatif' ini--penyair seolah adalah dia yang dikaruniai kemampuan untuk menangkap pesan dari ambang alam nyata--yakni kemampuan berupa kemahir-bahasaan dan kewaskitaan mengurai hikmah dan menangkap isyarat yang datang dari wilayah suprapersonal. Meskipun di sana-sini tendensi seperti ini bisa juga kita rasakan sebagai akibat dari pergaulan referensial Inggit dengan berbagai literature Zen-Budhisme, Tao, litarutur sastra mandarin-klasik, tasawuf, dan lain-lain.
Ada semacam "kesemestaan diam" atau khamusy atau laku Wu Wei dalam sajak-sajak di atas yang dibangun dari imaji, bunyi, juga sunyi. Sesuatu yang galib muncul dalam sajak tradisional Jepang, Haiku atau sajak-sajak China klasik (mandarin) seperti yang ditulis Ch'ang Ch'un: buih-buih datang silih berganti/sungai tetap mengalir/tak terganggu.
Puisi--dengan demikian--menjadi tempat konfrontasi antara kata yang terbatas dan makna yang tak terbatas.
Pada sajak-sajak pendeknya yang terangkum dalam Penyeret Babi, Inggit seperti mengajak kita menemukan sebuah dunia dan kesemestaan, dalam sebutir embun, debu, awan, bintang, segelas teh, debur laut, sehelai daun, sayap burung, batu di dasar kolam, harum dupa, kuil, purnama, tanah, mantra...
Kedekatan kepada alam, sekaligus merepresentasikan bagaimana dalam menulis sajak-sajaknya, penyair seperti menghadap-hadapkan diri pada kekuatan "Supra-Human". Pada sesuatu yang niscaya, mutlak, abadi, serentak, dan tak terbantah.
Kuil di Tengah Kota
Dengan kata dan frase yang ringkas, jernih, bunyi-bunyi yang lirih, Inggit meredam semua keriuhan, gejolak, karut-marut, ingar-bingar, segala yang liar dan binal, yang hendak berontak dan meronta, ke dalam diam. Sajak-sajak itu, kadang seperti mengajak kita untuk memeriksa dan merasakan sesuatu yang mengelupas, terlepas, tercerai, sobek dari apa yang rigid, banal, dan final. Justru karena itu kita jadi tersentak dan terguncang bukan dengan sebuah ledakan, melainkan bisikan, sentuhan pada bahu yang perlahan. sekelompok perempuan/memilih selendang/sesosok anak/menunjuk bintang//sebaris bintang menghilang/sehelai selendang/melayang (Sajak Hujan di Pasar Malam).
Rasa kehilangan, kebersendiran kembali membantun pada sajak Melihat Awan di Jalan: taburan burung gereja/di bawah/awan kota//lingkaran semesta//yang berlarian, menenggelamkan jalan/yang berjalan, lebur di pelarian/di padam lampu/memenuhi tujuan mata sepatu//namun, tak berlaku/bagi yang menunggu//pergi dankembali/hanya sebagian komposisi//juga burung,/yang terbang dan mati//di kota ini.
APRESIASI
Penyair sebagai Sang Hermes Iswadi Pratama
MEMASUKI tahun 2010, penyair asal Lampung, Inggit Putria Marga, menerbitkan antologi puisi bertajuk Penyeret Babi.
Sajak-sajak dalam antologi ini dikelompokkan dalam dua bagian: Pertama, Mantra Petani (30 sajak), dan bagian kedua Pemuja Api (40 sajak). Pembagian ini saya kira lebih berdasarkan bentuk sajak daripada tematik atau periodisasi. Bagian pertama terdiri atas sajak-sajak yang relatif pendek dan bagian kedua lebih banyak menghimpun sajak dengan jejak prosa (ceritera) yang sangat kuat.
Kumpulan sajak Penyeret Babi dibuka dengan sajak Langit Begitu Sendiri: ada embun sisa hujan/di ranting patah// di daun yang basah/ada embun//sisa hujan.
"Si aku" yang biasanya sangat dominan dalam sajak-sajak liris Indonesia yang sering berwajah sendu, telah ditransfigurasi sedemikian rupa oleh Inggit sehingga dengan sajak-sajak yang mengisyaratkan laku 'meditatif' ini--penyair seolah adalah dia yang dikaruniai kemampuan untuk menangkap pesan dari ambang alam nyata--yakni kemampuan berupa kemahir-bahasaan dan kewaskitaan mengurai hikmah dan menangkap isyarat yang datang dari wilayah suprapersonal. Meskipun di sana-sini tendensi seperti ini bisa juga kita rasakan sebagai akibat dari pergaulan referensial Inggit dengan berbagai literature Zen-Budhisme, Tao, litarutur sastra mandarin-klasik, tasawuf, dan lain-lain.
Ada semacam "kesemestaan diam" atau khamusy atau laku Wu Wei dalam sajak-sajak di atas yang dibangun dari imaji, bunyi, juga sunyi. Sesuatu yang galib muncul dalam sajak tradisional Jepang, Haiku atau sajak-sajak China klasik (mandarin) seperti yang ditulis Ch'ang Ch'un: buih-buih datang silih berganti/sungai tetap mengalir/tak terganggu.
Puisi--dengan demikian--menjadi tempat konfrontasi antara kata yang terbatas dan makna yang tak terbatas.
Pada sajak-sajak pendeknya yang terangkum dalam Penyeret Babi, Inggit seperti mengajak kita menemukan sebuah dunia dan kesemestaan, dalam sebutir embun, debu, awan, bintang, segelas teh, debur laut, sehelai daun, sayap burung, batu di dasar kolam, harum dupa, kuil, purnama, tanah, mantra...
Kedekatan kepada alam, sekaligus merepresentasikan bagaimana dalam menulis sajak-sajaknya, penyair seperti menghadap-hadapkan diri pada kekuatan "Supra-Human". Pada sesuatu yang niscaya, mutlak, abadi, serentak, dan tak terbantah.
Kuil di Tengah Kota
Dengan kata dan frase yang ringkas, jernih, bunyi-bunyi yang lirih, Inggit meredam semua keriuhan, gejolak, karut-marut, ingar-bingar, segala yang liar dan binal, yang hendak berontak dan meronta, ke dalam diam. Sajak-sajak itu, kadang seperti mengajak kita untuk memeriksa dan merasakan sesuatu yang mengelupas, terlepas, tercerai, sobek dari apa yang rigid, banal, dan final. Justru karena itu kita jadi tersentak dan terguncang bukan dengan sebuah ledakan, melainkan bisikan, sentuhan pada bahu yang perlahan. sekelompok perempuan/memilih selendang/sesosok anak/menunjuk bintang//sebaris bintang menghilang/sehelai selendang/melayang (Sajak Hujan di Pasar Malam).
Rasa kehilangan, kebersendiran kembali membantun pada sajak Melihat Awan di Jalan: taburan burung gereja/di bawah/awan kota//lingkaran semesta//yang berlarian, menenggelamkan jalan/yang berjalan, lebur di pelarian/di padam lampu/memenuhi tujuan mata sepatu//namun, tak berlaku/bagi yang menunggu//pergi dankembali/hanya sebagian komposisi//juga burung,/yang terbang dan mati//di kota ini.
Langganan:
Postingan (Atom)
Catatan ke 23
Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!
17 Juni 2010