Jawapost, Minggu, 30 Mei 2010
Jalan Menuju Hatimu
Jalan ke arah rumahmu
Begitu mendaki dan berliku
Jalan menuju hatimu
Begitu mencari dan semoga ketemu
Jalan aspal jalanan berlobang
Jalan penderitaan tak berkesudahan
Kulalui di siang ke malam, harap-harap cemas
Jauh pun ditempuh, ada janji belum berbalas
Di belakang jalan tak kutengok sejarah
Di hari kemarin berporsi percintaan berserah
Kepada rasa, ke duli naluri Adam-Hawa yang
Diasingkan dari pintu-pintu surga
Jalan hidup kau aku
Jalanan berbecek, mendaki, melingkar-lingkar
Tapi kau aku tak pernah terasa sakit
Sekalipun percintaan begitu terjepit
Jalanan hari berganti ruang
Jalanan ruang berubah jarak
Sampailah dipisahkan tembok-tembok
Sekalipun percintaan kau aku terus saja mabok
Jalanan cinta
Jalanan penuh kasih sayang
Kau aku menolak sekian kehancuran
Kau aku hidup dalam bayang-bayang kebersamaan
Jalanan angan jalanan kenyataan
Jalanan impian terbentur jalanan bebatuan
Tetapi jalan menuju hatimu
Setidaknya pernah lebur di dalam penyatuan
Yogyakarta, Januari 2009
---
Di Ujung Nun
Di ujung nun
Jalan bercabang dua
Bila yang satu naik, bila yang satu turun
Lalu langkah kaki bertemu di mana?
Di ujung nun
Jalan mengapa menjelma dua?
Di atasnya ada satu titik takdir
Matahari: di mana cinta tak harus berakhir
Yogyakarta, Januari 2009
---
Hari Ini Adalah Puisi Indah
Tiap bangun tidur, masih di atas dipan
Kuhadapkan wajahku ke cermin
Maka di dalam cermin itu kulihat wajahmu juga
Yang meniatkan bahwa hari ini adalah puisi indah
Lalu berlalu aku menuju kran air
Kubasuhkan wajahku dalam urutan wudlu
Kusahadatkan hatiku agar kembali segar
Yang menyaksikan bahwa hari ini adalah puisi indah
Lalu berlaku aku dalam sujud
Kuhunjamkan keningku ke bumi
Ke dalam waktu di mana suara manusia masih dengkur
Yang terbaca bahwa hari ini adalah puisi indah
Betapa nyatanya terasa kata Gus Mus
Sampainya doa akibat tiga perkara
Lelaku siapa itu, di tempat mana dia sampaikan pinta
Dan waktu kapan dia tengadahkan harapan
Tetapi subuh masih jauh
Dan fajar menjadi jembatan cahaya antara bumi dan langit
Tatkala malaikat-malaikat saling ganti berganti
Dalam kerjanya yang tak habis-habis
Hatiku jendela yang membuka
Seperti kulihat wajahku ke dalam cermin
Maka di dalam cermin itu kulihat wajahmu juga
Yang menerangi bahwa hari ini adalah puisi indah
Yogyakarta, 6 Agustus 2009
Abdul Wachid B.S., l ahir 7 Oktober 1966 di Bluluk, Lamongan, Jawa Timur. Bukunya yang telah terbit antara lain Ijinkan Aku Mencintaimu (Penerbit Bukulaela, cet.III-2005), Tunjammu Kekasih (Bentang, 2003), Membaca Makna dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri (Grafindo Litera Media, 2005), dan Gandrung Cinta (Pustaka Pelajar, 2008). Kini mengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto.
Sastra Lampung Post
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Catatan ke 23
Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!
17 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar