lampungpost, Minggu, 9 Mei 2010
SENI BUDAYA
SAJAK-SAJAK
Eko Putra
Getaran Hujan
: kepada Orin
bagai getaran hujan
yang melenyapkan
sebuah janjiku kepadamu
rasa dingin begitu sulit
kuterjemahkan. walau kau beri
aku selusin selimut menutupi
sekujur tubuhku yang gigil.
rindu ini telah merobek
kamar dan jendela
dan tetesan hujan di luar
mengantarkan aku pada sepi
yang dipenuhi hawa gaib.
bila, sebuah sajak mampu menjaga
lelapmu malam ini. akan kupotong
seluruh jemariku. dan hujan
akan membawanya kepadamu.
sembari dituliskannya
doaku paling biru.
menuju amin ibu-bapakmu.
21 Maret 2010
Melankoli
keluasan, bukan milik siapa pun
di antara segala tatapan
yang telah dijatuhkan ke rongga dadaku.
serupa getaran mantera
yang melambatkan malam
aku hanya ingin keluar
dan membuat sebuah perhitungan
yang menjadikan aku terusir
dan tak tahu jalan pulang
yang entah di mana engkau
menyembunyikan sebuah alamat
yang kau curi dari ibuku
ketika aku diselimuti
hawa dingin yang gaib
yang menjadikan tarikan napasku
mengeraskan malam-malam jauh
kau menyelamatkan aku dengan satu kata saja. cinta.
di antara yang demikian
sesungguhnya siapa di antara kita
yang berhasil mengalahkan kekeliruan
sebab udara di seluruh kampung
telah menumbuhkan sebatang pohon di kepalaku
yang memaksa aku untuk bunuh diri
dan menuliskan huruf-huruf
yang memantulkan namamu.
saat ini, aku ingin mengunci pintu
dan mengurung diri
dengan sebuah mantel pemberian ibuku. tangisan.
(15 Maret 2010)
Hening
selembar daun kamboja
jatuh di halaman rumahmu.
angin betina membawa wangi dupa
menuju perkampungan.
alam lengang, langit rendah.
hanya tanda tanya
yang menguasai gelap malam.
mengantarkan hawa semedi yang terurai
di telapaktanganmu yang dingin.
bulan hanya bayang-bayang
tergantung di pohon bacang
dan tetaplah di sini
meski selalu asing
dan kosong
(16 Maret 2010)
Kabut Ungu
sesal. di sini, ketika embun menerka isi pagi. ada yang mendesah di penghujungnya. yang membuat matari tak tinggi, dan langkah terhenti.
engkau mungkin. Gadis manis yang membiarkan aku tak mampu menuju hari. karena fajar tampaknya melelapkan mimpi tak kembali. menemukan isyarat yang lewat dalam luka dan pedih.
jalan setapak yang dulu kubangun sebelum lelap. kini terbongkar oleh kabut, entah bagaimana aku dapat menjangkau matahari lain, selain menundukkan keangkuhan pada langit yang mengaramkan bulan-bulan
2010
------------
Eko Putra, lahir di Kertajaya, Musi Banyuasin, Sumsel, 19 Juni 1990. Sekarang menetap di Keramat Jaya, sebuah desa definitif dari desa kelahirannya dan mengabdi sebagai sekretaris desa di desa tersebut.
Sastra Lampung Post
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Catatan ke 23
Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!
17 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar