Kompas, Minggu, 17 Januari 2010 | 03:23 WIB
Beberapa Sajak yang Aku Pikir
Seharusnya Aku yang Menulisnya
1. SEBUAH sajak yang sama sekali
padanya tak ada kata sakit atau
yang menyaran pada rasa itu. Seperti
pedih, perih, luka, atau aduh.
Tapi, bagiku itu adalah sajak
yang paling pedih, sajak tentang
rasa sakit yang paling sakit. Aku
seperti akrab sekali pada sakit itu.
“Lihat, dagingku menganga tertawa,”
kata sebuah bait di sajak itu. Aku
suka sekali diam-diam memetik bait itu.
Ingin sekali aku mengaku-aku, bahwa
akulah yang menulis sajak itu,
untukmu. Karena dengan begitu
aku berharap, kamu mengira, bahwa
aku sudah memahami rasa sakitmu.
2. SEBUAH sajak asing, yang datang
dengan sangat karib, padaku pada
suatu sunyi. Aku seperti kenal dengan
nama penyair itu. Sajak itu seperti
ditulis untuk mengajari aku: beginilah
seharusnya sunyi disajakkan.
Dalam bahasa asing itu, aku mendengar
sajaknya penuh bunyi. Beberapa konsonan
seperti menyusun diri jadi lonceng,
lalu huruf vokal mendentangkannya.
Tapi, bunyi-bunyi itu justru terdengar
seperti mengabarkan sebuah kesunyian.
Aku kemudian mencoba menuliskannya,
sendiri, dalam bahasaku sendiri, untuk
sunyiku sendiri. Tapi, ah, kenapa ya,
itu tak pernah jadi sajakku sendiri?
“Mungkin, kau belum karib dengan sunyi,
sunyimu itu, mungkin kau diam-diam
sering ingin menolaknya, menjauhinya,”
kata sebuah bait dalam sajak asing itu,
seperti dipersiapkan untuk menjawabku.
3. DIA hanya pendek. Sebuah sajak singkat
yang setelah sekali saja kubaca, meninggalkan
jejak betapa panjangnya. Di dalam kenanganku
dia menggandengmu ke mana-mana. Sakit, bukan?
Pedih, bukan? Perih, bukan? Terus-menerus,
begitu dia bertanya. Aku tak kuasa menjawabnya.
Aku pernah ingin mencoba melacak apa sebenarnya
rahasia, di balik bait-baitnya. Diam-diam aku pun
menjadi diam. Menyelinap masuk ke bait-bait
sajak pendek itu, dan oh, baru aku tahu kemudian,
ternyata rumit sekali kata di balik kalimat yang
ketika sekilas kubaca, tampak sangat sederhana.
4. SEPERTI ditulis untuk syair lagu kanak-kanak dan aku
menyanyikannya sepanjang jalan menjauh dari rumah.
Aku tak pernah ingat seluruh lirik itu, tapi sepertinya
memang begitulah seharusnya aku mengenangnya,
aku bebas memasukkan kata baru, menambah irama lain,
menafsirkan arti yang kuingin, membebaskan aku untuk
menjadi apa saja. Aku selalu percaya bahwa matahari
yang ramah itu, ikut bernyanyi bersama riang lagu liar itu.
5. SERATUS? Tapi, aku membacanya seperti seribu, seperti sejuta, tak habis-habis. Sebuah soneta – melahirkan sepuluh lagi, sehabis kubaca.
O, betapa besar cinta. Kayu yang melapuk ikhlas, tumbuh jamur umur, seakan mengerti ada
siklus yang tak boleh putus, tak boleh terhapus.
Dari batang-batang baja hanya akan ada karat mudarat. Aku memang hanya putra bapak
petani, bukan penjaga api di bengkel pandai besi.
Sajak yang Hendak Diterjemahkan oleh Penyair Asing Itu
“PAKAILAH kata dalam bahasamu yang tak terterjemahkan oleh bahasaku,” katanya.
Menantang aku. Lalu, dalam sajakku itu, aku menyusun cerita tentang sepasang petani yang menanam kelapa, di rawa yang mereka bebaskan dari asam gambut dan asin laut.
Mereka memberi nama-nama anatomi kelapa itu dengan bahasa sendiri: seperti sepasang ahli botani. (Tapi, di sajakku tak kusebutkan bahwa aku adalah anak pasangan petani itu.)
Nama-nama untuk akar pertama, santan tua yang tak terperah, sepasang pelepah muda,
batang sejari yang membayangkan angin di ketinggian itu nanti, buah-buah yang tiap bulan
berbeda sebutan, bahkan bekas gigitan tupai di kulit kelapa muda.
“Ah, aku tersesat jauh di sajakmu. Aku tak sanggup benar menerjemahkannya,” katanya.
“Aku mungkin ingin jadi petani saja. Masihkah ada rawa yang bisa kutaklukkan untuk
kutanami kelapa lain, dan kelak aku bisa mencipta nama-nama lainnya?” katanya.
(Tak kusebutkan, di sajakku, bahwa aku terusir jauh dari kebun kelapa yang dulu ditanami ayah-ibuku, sepasang petani itu.)
Itukah Sajak yang Kau Tulis untukku?
APAKAH sajak-sajak cinta yang tak menyebut namaku itu?
Aku sering tersesat di sana. Terkejut pada kata yang
tak pernah aku tahu, padaku mereka ingin mengucap apa.
Aku kerap terjerembab di sana. Berjalan di bait-bait
yang rumit, yang aku tak tahu hendak mengantarku ke mana.
Tapi aku betah di sana. Seakan sembunyi dari banyak bunyi,
yang bertahun-tahun memaksa aku memekakkan telinga sendiri.
Ah, alangkah kamusnya engkau. Sebetapa sempitnya lidahku.
Aku ingin tahu, apakah sajak-sajak itu kau tulis untukku?
Beberapa Mungkin di Satu Pantai
yang Belum Pernah Kita Kunjungi
: Bernard Batubara
MUNGKIN kita akan berteduh, di angkuh
pinus atau kelapa. Mungkin kita akan
mengaduh, oleh bius atau karena lupa.
Apa yang terbayang tentang pantai ini?
Mungkin di sini ingin kukubur tembuni
lalu mencoba mengabadikan nama yang
tak sempat kita rindu memanggilnya.
Mungkin kita menjadi sepasang mungkin
Mungkin yang mungkin semakin mungkin.
Indeks Baris Pertama Puisi
yang Panjang dalam Buku Puisi
yang Belum Ingin Kuterbitkan
1. HAI, engkau! Rasa sakit itu. Masihkah kau kenal dengan tubuhku? Tubuh yang belum
selesai menjahit koyak jerit sendiri?
2. TUBUHKU adalah sawah yang mencintai musim hujan. Engkau pematang liar, beralur
licin, melingkar.
3. “MAUKAH kau menanamku?” tanya rasa sakit itu. Ah, aku sudah menyemai benihnya,
sebelum nanti rasa itu menyemak menggulma.
4. MAAFKAN aku hujan. Maafkan aku katak. Maafkan aku bangau. Aku tak bisa bermain
dengan kalian. Aku sedang dirawat oleh rasa sakitku.
5. PETANI itu pernah datang sekali. Berdiri di ambang subuh, nyaris rubuh. Lalu pergi, dan
selalu tergoda – tapi menolak – untuk lagi kembali.
6. TAK ada jejak di pematang. Tapi, semalam ada yang datang. Ke sawah ini. Seperti buru-
buru, ia tanam sesuatu yang tak ia harapkan akan tumbuh.
7. “SEANDAINYA, setiap butirku adalah benih yang tumbuh padamu,” kata hujan, kepada
sawah. Sawah, sering sudah, ia mendengar pertanyaan itu. Ia tahu, hujan tahu jawaban
apa yang ia senantiasakan.
8. MUNGKIN akulah petani itu. Petani yang ingin menanam diri sendiri, di sawah sendiri.
Memanen luka: luka sendiri.
Hasan Aspahani lahir 1971 di Kalimantan Timur dan kini bermukim di Batam. Wartawan, penyair, dan blogger. Setelah Orgasmaya (2007) dan Telimpuh (2009), tahun ini ia tengah menyiapkan penerbitan buku puisinya yang terbaru, Mahna Hauri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar