Tiga Sajak Berawal dari Burung
Kompas, Minggu, 27 Juni 2010 | 04:21 WIB
Ketika Matahari Mati
: ahmad mudzil
gelombang burung terbang
warna-warni layang-layang
udara bau cendana
ribuan lilin menyala
pantulan bayang-bayang seroja
genderang dibunyikan
sitar disuarakan
para pelayan menari
ratusan lembu berjalan tenang
dikendarai ratusan bidadari
menyambut kau lahir
mengantar matahari berakhir
malam tak lagi gelap
karena matamu rumah bagi cahaya untuk menetap
di langit, indah bulan tersingkir
sebab senyummu mantra ampuh para penyihir
syair yang lahir dari tangan penyair
yang luka dan cinta dalam dan pada kehidupan
maka tertawa dan menangislah
menari dan terjatuhlah
ketika kau tertawa dan menangis
para bidadari penunggang lembu
akan menabuh genderang
ribuan pelayan akan memainkan sitar
lalu tawa dan tangismu jadi kidung
bergema, memantul ke gunung-gunung
meresapi samadi pendeta-pendeta agung
saat kau menari dan terjatuh
gelombang burung terbang
akan mengangkatmu
jadikan kau satu di antara
ribuan warna-warni layang-layang
tenang melayang lalu kembali jatuh
rebah di tanah
terkubur bagai sejarah
bagai udara bau cendana yang cepat hampa
nyala lilin yang pantulkan bayang-bayang seroja
lalu padam, segera atau seketika.
umpama burung pengepak sayap
ia berkidung setiap hinggap
di rumput-rumput lembab
rumah-rumah tak beratap
mulut-mulut gagap
pikiran-pikiran gelap
bulu-bulu merak
melingkari kepalanya
kekuatan dan keanggunan
menyatu dalam ia
sepasang mutiara
tergantung di telinganya
kedalaman dan misteri samudra
mewujud sebagai hatinya
cahaya purnama adalah tangannya
kelopak-kelopak padma adalah jemarinya
yang menggenggam suling
lalu ia tiup sambil menunggang sapi
ke semua ruas semesta ia berkeliling
membuat segala yang keruh jadi bening
yang bising jadi hening
yang berpusing jadi bergeming
dilebur diri sejati
yang kerap terasing
pecah berkeping
di antara debu-debu musim kering
jika ia pijakkan kaki di rawa
mekarlah kuncup-kuncup seroja
bila tangan ia kibaskan ke udara
puluhan kupu-kupu bertukar warna
di cantiknya yang baka
gadis-gadis cemburu dan menangis
di wibawanya yang tak fana
para lelaki sujud dan terpana
kepadanya, hanya untuk ia
ribuan mantra dirapalkan
ribuan kidung dinyanyikan
agar sampai akhir usia semesta
suara sulingnya tetap bergema
menjadi denyut nadi
setiap makhluk pendengarnya
dari lembar-lembar buku tua
kubaca kisah tentang ia
: sang peniup suling
penghening segala yang bising
di kelopak-kelopak lotus
di udara pagi
di bentuk awan-awan yang tak pasti
di arus sungai yang tak mampu berhenti
ia kucari
sampai ketika aku berkaca
di jernih telaga:
bayang-bayang awan ungu
berpendaran di belakang bayang-bayang wajah:
kepalanya dilingkari bulu-bulu merak
sepasang telinganya digantungi
mutiara
taburan burung gereja
awan-awan nila
angin menggoyang tumbuhan liar
di dinding bangunan tua sebuah kota
sejauh apa pun ia pergi
sedalam apa pun ia sembunyi
ke panorama itu selalu ia kembali
pernah, ia pergi mencari panorama lain:
kapal berlayar lalu karam lebur di karang hitam
tari ribuan rumput yang ia cabut
saat bibirnya tak menemu tempat berpagut
barisan semut yang di tubuhnya kerap menyelimut
tapi, ia pengecut yang selalu mencari alasan untuk takut
pada karam yang kalut
pada maut yang pasti memagut
pada tali karma yang makin kusut
lalu, ia kembali pergi
mencipta panorama sendiri:
ia ciptakan sesuatu yang ia sebut puisi
membacakannya di depan tubuh-tubuh tak berpenghuni
berharap mereka percaya:
ia mampu merayakan luka di kelahiran yang entah keberapa.
di perut bumi,
ia bangun ruang terdalam untuk sembunyi
ia ingin dekat dengan ibu bumi dan merasa suci
terlepas dari lilitan temali karma yang menghantui
ribuan topeng bergantian digunakan
ribuan kata bersusulan diucapkan
ribuan hari habis untuk berlari
ribuan kelahiran hanya menggiringnya kembali
ke panorama yang ia lihat pertama kali:
taburan burung gereja
awan-awan nila
angin menggoyang tumbuhan liar
di dinding bangunan tua sebuah kota
kepada mereka, ia tanyakan:
apa arti pergi dan kembali, bagiku
jika setiap kepergianku adalah
awal kepulangan padamu?
tetapi, adakah kepulangan, bagiku
jika di tiap panorama yang terlihat dalam kepergianku
yang tampak hanya dirimu?
engkau, tanah kelahiran
yang membuatku dihantui kematian
dirimu, tanah kematian
yang tak pernah menolakku
untuk kembali dilahirkan
ia lepaskan lapis-lapis topeng di wajahnya
diam, membakar segala jenis puisi dan kata
pelan-pelan ia memburung
hilang tampak di antara awan-awan nila
melayang bersama angin
menggoyang tumbuhan liar
di dinding bangunan tua
sebuah kota.
2010
Inggit Putria Marga lahir di Tanjungkarang, 25 Agustus 1981. Ia aktif di Komunitas Berkat Yakin, Bandar Lampung. Buku puisinya berjudul Penyeret Babi (2010).
Sastra Lampung Post
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Catatan ke 23
Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!
17 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar