kampung dalam akuarium
Kompas, Minggu, 20 Juni 2010 | 03:59 WIB
Zelfeni Wimra
ke pemancingan mana lagi kautumpahkan rindu
melumutkan kecemasan pada lendir umpan
dan mata kail yang lapar
agar ikan-ikan mau kaubujuk bercerai dengan lubuk
dan pulang ke kampung penggorengan
pelengkap hidangan di meja makan
kau tahu, sejauh-jauh pergi menyisir bibir sungai,
hanya untuk mencari air keruh,
ikan-ikan pilihan tak akan memakan umpan dalam kejernihan
kau tinggalkan hulu yang hening-bening
muasal segala arus terus menghanyutkan
anak-anak pantau dengan sejarah hambar
entah arah mana akan dituju
sebut saja, kampung berair jernih berikan jinak;
berair keruh berikan liar;
berair tawar berikan banyak
alamat kepulangan yang pahit
aku beritahu, andaikata usahamu sia-sia, pulanglah.
aku dan ikan-ikan yang kauburu
setelah penggusuran itu
kini tinggal di kampung baru
mendekam di kamar air empat persegi
pada sebuah ruang tamu tidak berhulu-bermuara
hanya gelembung-gelembung dihembus tenaga listrik
juga kincir-kincir plastik
batu-batu buatan dan lukisan karang di balik kaca
terasa seperti menyelam-melintas di antara
tanjung dan teluk kampung pesisir yang tenang
meski tidak ada kapal-kapal berbenah
bagi pelayaran para pelaut
apalagi jejaring pukat ikan karang
bertandanglah, oi pemancing
bukankah sungai-sungai yang menghilir
dari hunjaman kaki-kaki hujan
sudah tidak mampu menafsirkan kehendak air matamu
dan kerinduan tidak selamanya mesti dipuaskan
dengan tancapan mata kail di rahang ikan yang rakus
aku bayangkan kau datang
sebelum insangku sempurna jadi karang
menyematkan mata kail
di setiap saku baju para tamu
2010
Zelfeni Wimra
pada sebatang tubuh yang tidak lagi muda
ia kini berkurung, menujum bunga, meninggam buah
mengurut cemburu ke sekeliling
ke batang lain, beragam buah bergelantungan
riwayat bunga putik dan burung
burung yang gemar mematuki madu di benang sari
telah lama berlalu
bunga putik berubah bentuknya
dari kelopak yang merekah
kini meranum sebagai buah yang sempurna
meski sebagian bergelimpangan
menghitam, tak mampu mengubah diri
dulu kelopak yang gemilang
kini lendir sekarat, meradang di pangkal batang.
seseorang, belakangan sering datang, duduk mengenang
menimbang setiap cabang:
”ini kebun sungguh rindang
tangan siapa yang dingin dan suka menanam batang-batang;
tubuh-tubuh indah dan riang? buahnya, aduhai, rindu yang matang.”
”mereka menanam tubuh mereka sendiri,” ingin ia jawab begitu
tapi undur ketika melepas pandang ke sekujur batang yang berliang:
dari bengkalai badan yang sunsang
entah apa kelak akan dipetik orang?
ia idamkam sebatang lain dalam waktu yang baru
tumbuh memayungi pagar halaman,
pintu kamar seorang pencinta
telah lama menanti kepulangan kekasihnya
membawa jinjingan, buah tangan perantauan
tapi apa yang meletup
berdentang tak henti di balik kedua buah dadanya
telah kekal sebagai cikal bunyi
seperti tonjolan talempong yang dipukul tak beraturan
mengundang orang berdendang tari selendang
sebelum sampai ke gendongan, merasakan geliat
dan rengek, juga jemari kecil yang lunak
buah hati tak lebih dari dongengan para nabi dalam kitab suci
melewati pagi dengan segelas pergunjingan
mengaduk buah bibir dengan buah pikiran
meski pada akhirnya jadi buah angan saja
seorang yang belakangan sering datang memegang cabang
sementara tubuhnya terus meliuk ditunda angin
musim yang tentu akan selalu berganti
2010
Gunawan Maryanto
Wong lanang lara atine --------------------------
Seorang lelaki yang sakit hati
Melaku ning tengahing wengi
-------------------Berjalan di tengah malam buta
Gerimis lan melu nangisi ------------------------ Gerimis pun ikut menangisinya
Uripe wis kerasa mati
-----------------------------Hidupnya terasa sudah mati
Dewi Kirana, 30 tahun, menyapa penggemarnya yang berkerumun. Sebuah kebetulan, mendadak hujan turun. Seperti menegaskan bahwa lagu itu nyata hadir malam itu. Para lelaki yang merasa terwakili menggoyangkan dadanya. Ada juga yang mengeras di dada saya. The queen of Pantura datang pada mereka malam ini bersama the best of music yang paling eksis Puspa Kirana. Bagai Dewi Padi yang dirindukan para petani–mereka yang datang dari abad lima belas. Keributan sempat terjadi di pinggir panggung antar-remaja tanggung. Tapi hiburan terus berlangsung.
Empat anak Sang Dewi duduk di belakang panggung berjajar seperti pagar ayu, menyaksikan ibunya bertarung. Entah berapa lama lagi ia sanggup bertahan. Mau tak mau perahu yang mereka tumpangi malam itu akan tenggelam. Beberapa musim panen lagi mungkin. Akan segera tiba perahu yang lain dengan dewi yang lain–yang lebih muda yang lebih menggoda.
Jerite sajeroning ati
--------------------------------Ia menjerit dalam hati
Banyumata bli bisa mili
---------------------------Airmata tak bisa keluar lagi
Larane disimpen neng dada -------------------- Sakitnya disimpan di dada
Ngakoni sabar lan nerima -------------------- -
Mengakuinya dan sabar menerima
Tak ada kabar gembira sebenarnya. Tapi mereka melagukannya dengan gembira. Hasilnya adalah kesedihan yang asing– entah punya siapa. Yang jelas bukan milik mereka malam itu. Sang Dewi terus bergoyang. Tato di punggungnya berkilat oleh cahaya bulan. Pemuda di samping saya memanjat ketinggian. Ia melemparkan uang ribuan dan menjerit kesenangan. Seandainya ia jatuh, ia jatuh dalam kemenangan.
Jogja, 2010
Gunawan Maryanto bergiat di Teater Garasi sebagai penulis dan sutradara. Buku kumpulan puisinya adalah Perasaan-perasaan yang Menyusun Sendiri Petualangannya (2008).
Zelfeni Wimra lahir di Sungai Naniang, Luak Limopuluah Koto, Minangkabau, 26 Oktober 1979. Sutradara Teater Cabang dan penggiat Komunitas Daun serta Magistra Indonesia, Padang.
Sastra Lampung Post
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Catatan ke 23
Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!
17 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar