Sastra Lampung Post

Sabtu, 26 Desember 2009

Sajak Didi Arsandi

Lampungpost,Minggu, 27 Desember 2009
Reuni di Halaman Puisi

Lama kita tak jumpa. Kulihat sudah banyak kerutan di dahimu. Kedua kantung matamu pun kering kehabisan mata air. Tinggal kerak-kerak lumpur yang masih lengket di lutut -- mungkin juga di selangkangan.

Apa kau punya oleh-oleh untukku? Ratusan tahun memikul sesal, menggelandang siang-malam, mungkin kau sudah memungut makna lain ketidakhadiran.

Namun tak pula kulihat senyummu menyambut perjumpaan kembali, atau ciuman gemetar sebagai lambang kangen. Cuma "hai!" terlontar dari bibirmu yang kering terkelupas.

Ah, mestinya kau ingat selalu pesanku sebelum berpisah di gerbang surga, "Demi cinta, bekali dirimu dengan sebotol air mineral sebelum menapaki gurun, ngarai dan bukit-bukit terjal bebatuan."

2008-2009

Minggu, 13 Desember 2009

Angkon Muakhi

Oleh Budi P. Hatees
Dimuat Media Indonesia edisi 12 Desember 2009

Khazanah foklor masyarakat adat Lampung acap mengisahkan tentang tradisi angkon muakhi (pengangkatan saudara) antara orang Lampung (ulun Lappung) dengan masyarakat dari luar penganut kebudayaan itu. Sebut saja dalam foklor asal mula Keratuan Darah Putih, leluhur masyarakat adat Lampung di kawasan pesisir Selatan (sekarang wilayah Kabupaten Lampung Selatan), yang merupakan daerah kekuasaan Keratuan Pugung.
Foklor ini memuat kisah angkon muakhi antara Keratuan Pugung dengan Kesultanan Banten. Daerah kekuasaan Keratuan Pugung meliputi seluruh bekas wilayah Kewedanaan Sukadana (sekarang wilayah Kabupaten Lampung Timur) sampai pesisir Selatan dan kawasan Selat Sunda. Peninggalannya berupa bekas pertapakan kerajaan di kawasan situs purbakala Pugung Raharjo di Desa Pugung Raharjo yang masih menganut agama Hindu. Angkon muakhi antara Keratuan Pugung dengan Kesultanan Banten perlahan-lahan membuat pengaruh agama Hindu berkurang, digantikan dengan agama Islam yang dibawa para tuan syekh dari wilayah Banten.
Angkon muakhi Keratuan Pugung dengan Kesultanan Banten awalnya terjalin untuk kepentingan perdagangan rempah-rempah, karena Kesultanan Banten menguasai jalur perdagangan di wilayah Selat Sunda dan bermaksud memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke perairan Sumatra bagian Selatan. Namun, di perairan ini Kesultanan Palembang menguasai jalur-jalur perdagangan rempah-rempah dari Bangka, Jambi, sampai wilayah perairan Tulang Bawang. Melihat kekuatan kekuasaan Kesultanan Palembang, Kesultanan Banten kemudian mempererat angkon muakhi dengan Keratuan Pugung lewat hubungan pernikahan.
Putri Sinar Alam, salah satu putri dari Keratuan Pugung, menikah dengan Fatahillah dari Kesultanan Banten. Dari hasil perkawinan ini lahir Hurairi, kelak berganti nama menjadi Haji Muhammad Zaka Wa1iul1ah Ratu Darah Putih bergelar Minak Kejala Ratu. Setelah dewasa, Hurairi mendapat mandat mendirikan sebuah keratuan di kawasan pesisir Selatan, kemudian di daerah itu berdiri Keratuan Darah Putih, berpusat di Kauripan (termasuk Kecamatan Penengahan, Lampung Selatan). Keratuan Ratu Darah Putih dengan gelar Minak Kejala Ratu melahirkan keturunan yang merupakan pejuang Lampung, Khadin Intan (Radin Intan), yang terkenal karena kegigihannya melawan kolonialisme Belanda.
Keratuan Ratu Darah Putih tetap bersaudara angkat dengan Kesultanan Banten. Sampai hari ini, di era otonomi daerah saat ini, Gubernur Lampung tetap melanjutkan hubungan persaudaraan itu dengan Gubernur Banten.

‘Indonesia Mini’
Angkon muakhi merupakan kearifan lokal masyarakat adat Lampung. Tradisi ini ditemukan pada semua masyarakat subbudaya, baik Pepadun maupun Saibatin. Jejak-jejaknya hingga kini ditandai dengan penerimaan masyarakat adat Lampung yang begitu terbuka terhadap kehadiran masyarakat dari lingkungan budaya lain, sehingga wilayah Provinsi Lampung disebut juga sebagai “Indonesia Mini”. Artinya, masyarakat penganut budaya Banten, Jawa, Palembang, Batak, Bugis, Sunda, Bali, Tionghoa, Minang, dan lain sebagainya bisa ditemukan di lingkungan masyarakat adat Lampung bukan sebagai pendatang, melainkan sebagai pemilik Provinsi Lampung.
Semua khazanah budaya lokal yang ada di Indonesia bisa ditemukan di Provinsi Lampung. Masyarakat dari berbagai kelompok budaya membentuk komunitas-komunitas budaya masing-masing. Menurut data yang dikeluarkan Badan Perencanaan Pembangun Daerah (Bappeda) Lampung, masyarakat Lampung hanya sekitar 20% dari 2,2 juta total penduduk, sisanya terdiri dari masyarakat penganut kebudayaan lain. Setiap nilai budaya dari masyarakat luar kebudayaan Lampung itu memiliki peluang yang sama dengan nilai-nilai budaya Lampung untuk berkembang. Itu sebabnya, seni tradisi seperti Reog Ponorogo justru berkembang pesat di wilayah Kota Metro, bahkan pada tahun 2006 memenangi Festival Reog Nasional di Jawa Tengah—mengalahkan Ponorogo. Bahkan, salah satu stasion radio di Provinsi Lampung menampilkan mata acara lagu-lagu Batak dengan segmentasi komunitas masyarakat Batak di Lampung.
Lampung menjelma sebagai Indonesia Mini karena masyarakat Lampung memiliki tradisi yang kuat untuk membuka diri terhadap pendatang, meskipun kehadiran para pendatang di lingkungan mereka mengharuskan masyarakat Lampung membagi berbagai sector kehidupan dengan para pendatang tersebut. Membuka diri dalam hal ini tidak sekedar menerima dan memposisikan masyarakat penganut kebudayaan lain sebagai pendatang, melainkan sebagai bagian dari keluarga luas dalam pengertian saudara angkat.
Persaudaraan angkat masyarakat adat Lampung dengan pendatang dari penganut kebudayaan berbeda tidak pernah menimbulkan persoalan krusial seperti konflik antarsuku. Berbagai perbedaan dalam memahami nilai budaya justru membuat Provinsi Lampung menjadi sangat kaya dari segi budaya, juga dari berbagai aspek kehidupan social lainnya.
Kehadiran masyarakat Jawa, misalnya, membuat masyarakat adat Lampung menjadi lebih paham mengenai berbagai teknologi perkebunan. Pada awalnya, tradisi berkebun masyarakat adat Lampung bisa dibedakan dengan tradisi berkebun masyarakat Jawa. Masyarakat adat Lampung cenderung membiarkan tanaman budidayanya dan kurang memberi perawatan, sehingga tingkat produksi hasil panen rendah. Ketika masyarakat Jawa yang sudah memiliki tradisi teknologi di bidang pertanian dan subsektornya---salah satu yang menjadi alas an Belanda untuk melakukan program kolonisasi Jawa ke Lampung—hadir di tengah-tengah masyarakat adat Lampung, produksi hasil panen mereka tinggi sehingga menarik perhatian masyarakat adat Lampung. Dalam bukunya, Budaya Muakhi (2009), Dr. A. Fauzi Nurdin, M.S. menyebut tradisi angkon muakhi berasal dari kata angkon dala bahasa Lampung yang berarti angkat dan kata muaqi dari bahasa Arab yang berarti persaudaraan. Dilihat dari asal kata, tradisi angkon muakhi diartikan sebagai pengangkatan saudara untuk mengikat silaturahmi persaudaraan.
Secara konseptual muakhi merupakan persaudaraan pertalian darah dan hubungan kerabat atas dasar moral dan agama. Tradisi ini menjadi inti dari filsafat hidup yang disebut piil pesenggiri yang terdiri dari: nemui nyimah (menghargai tamu), nengah nyappur (bergaul dan membuka diri), sakai sambayan (tolong menolong), dan bejuluk beadek (memiliki nama atau gelar yang baik). Filsafat hidup ini bersumber dari kitab undang-undang adat masyarakat Lampung, Kuntakha Khaja Niti yang banyak dipengaruhi ajaran agama Islam.

Legitimasi Kekuasaan Lokal
Sebagai sebuah tradisi budaya, angkon muakhi termasuk warisan leluhur budaya masyarakat Lampung yang tidak akan pernah punah. Meskipun lingkungan kebudayaan di Provinsi Lampung sangat plural, tradisi angkon muakhi bisa diterima oleh semua penganut kebudayaan berbeda. Apabila budaya ini diterapkan kepada seluruh lapisan masyarakat di Lampung, sangat kecil kemungkinan akan mendapat penolakan dari masyarakat penganut kebudayaaan di luar Lampung. Artinya, penerapan budaya local ini yang sekaligus menjadi upaya pelestarian, meskipun sangat menguntungkan bagi masyarakat adat Lampung sebagai pemiliknya, dipastikan tidak akan menimbulkan resiustensi pada penganut kebudayaan bukan Lampung.
Penyebabnya, nilai-nilai dalam budaya angkon muakhi yang merupakan nilai-nilai paling dominan dalam kebudayan Lampung, juga ditemukan dalam kebudayaan-kebudayaan lain. Angkon muakhi merupakan kearifan local yang tidak cuma dimiliki masyarakat adat Lampung, tetapi juga sebagian besar penganut kebudayaan local yang ada di Nusantara. Sebab itu, apabila masyarakat Lampung memproyeksikan angkon muakhi sebagai puncak-puncak kebudayaan Lampung –meminjam defenisi Koetjaraningrat tentang kebudayaan nasional--untuk diproyeksikan sebagai bagian dari kebudayaan nasional, sangat pasti tidak akan mendapat banyak kesulitan.
Tentu, hal ini hanya mungkin dilakukan apabila angkon muakhi tidak diposisikan oleh penganutnya ke dalam kedudukan sebagai mesin kekuasaan. Artinya, alasan-alasan local angkon muakhi jangan diubah menjadi cara legitimasi politik kedaerahan dalam rangka menghidupkan kembali jaringan-jaringan patron klien dan keke¬luargaan (kekerabatan) yang berbasis etnisitas tradisional.
Di era otonomi daerah, desentralisasi telah mengubah politik kebudayaan di daerah. Besarnya wewenang daerah untuk melestarikan nilai-nilai tradisi budaya warisan leluhur budayanya, justru memberi peluang bagi menguatnya kembali karakter patrimonial. Pemerintah daerah terkesan dikelola secara personal seperti dalam keluarga, baik dalam penempatan jabatan-jabatan publik maupun distribusi sumberdaya keuangan. Seorang pejabat pemerintah, atas nama angkon muakhi acap menjalin tali persaudaraan yang disahkan lewat acara-acara adat, meskipun orientasinya hanya untuk memperluat jaringan dalam rangka legitiminasi kekuasaan.
Nilai-nilai angkon muakhi terutama terkait nilai kekeluargaan, meskipun nilai kekeluargaan itu sangat luhur dan universal, akan menghasilkan dampak buruk apabila diterapkan dalam semangat patrimonial. Angkon muakhi di lingkungan masyarakat adat Lampung akan kehilangan keuniversalannya di hadapan penganut-penganut kebudayaan lain. n

Minggu, 29 November 2009

Sajak Heru Joni Putra

KATAK DI ATAS TEMPURUNG


Katak itu kubiarkan di atas tempurung, mungkin

ada yang ingin didengarnya, tak hanya tentang cuaca,

juga tentang pepatah yang telah lama menyebut dirinya.

Katak itu kubiarkan di atas tempurung, mungkin

ingin dilihatnya hujan telah reda sehingga ia tak perlu lagi

berteduh dalam tempurung: di dalam pepatah tua itu.

2009

UDANG DI DEPAN BATU

Entah batu apa yang disembunyikan udang

di balik tubuhnya. Aku kira batu yang biasa

diperbincangkan orang, batu yang cuma ada dalam laut:

pepatah yang sempit ini. Tapi kalau cuma batu biasa, tak

mungkin udang itu mau berlama-lama di depan batu itu.

Aku kira pasti ada sesuatu dengan batu itu. Mungkin itu

cuma batu prasangka yang tersusun seperti batu biasa.

2009

ADA GARAM ADA SEMUT

Di mana ada gula di situ ada semut, begitu katamu.

Dan kausebut habis manis sepah dibuang.

Gula telah habis, sayang, dan semut dibuang--

ke laut: pepatah yang sempit ini.

2009

DURI DALAM DAGING

untuk gus tf

Kutanam biji dalam dagingku berharap tumbuh jadi nadi,

biar bisa bunuh diri berkali-kali. Tapi biji malah sembunyi:

seperti kata dalam puisi. Serumpun akar dalam diriku

menjalar-jalar, mencari duri dalam daging:

biji yang ingin tumbuh meruncing.

2009

SAJAK TERJEMAHAN

Di hutan-hutan aku belajar bahasa pohon. Kuhafal setiap kosakata

dan pengucapannya: aku tiru suara pohon tumbang, bunyi akar

menembus tanah dan sejumlah kalimat untuk menggugurkan dedaunan.

Aku buat sebuah puisi dengan bahasa pohon dan tentu, kubaca

dengan logat pepohonan. Tapi, sungguh, tak mampu aku terjemahkan

kata tumbuh ke bahasa mereka.

2009

Heru Joni Putra lahir 13 Oktober 1990 di Payakumbuh, Sumatera Barat. Belajar di Jurusan Sastra Inggris Universitas Andalas, Padang.

Esai Saut Situmorang*

Lampungpost, Minggu, 29 November 2009
APRESIASI
Sastra Kampus, Sastra 'Underground'


DALAM perbincangan tentang sastra Indonesia di dalam maupun di luar dunia akademis, terutama di media massa, kita akan selalu mendengar tentang beberapa jenis sastra dalam dunia sastra kita. Ada sastra koran, sastra majalah, sastra cyber(punk), sastra buku, sastra sufi, sastra pesantren, sastra buruh, bahkan akhir-akhir ini sastra Peranakan-Tionghoa, sastra eksil, dan sastra wangi.

Kalau bukan medium tempat karya sastra dipublikasikan, maka jenis manusia yang memproduksi karya merupakan kategori pembeda pada pemberian nama-nama sastra tersebut, dan nyaris tak ada definisi yang mampu diberikan sebagai bukti tentang karakter-khusus di luar kedua faktor di atas yang dimiliki jenis sastra tertentu yang akan membuatnya berbeda dari jenis sastra lainnya hingga layak mendapat kategori tertentu dimaksud. Walaupun begitu, perbincangan yang terjadi baik di kalangan sastrawan maupun "pengamat sastra" tersebut, sepanjang pengetahuan saya, selalu luput untuk juga membicarakan sebuah fenomena menarik yang eksistensinya sudah cukup lama ada dalam sejarah sastra Indonesia, yaitu karya-karya yang dihasilkan oleh mahasiswa-sastrawan, atau apa yang saya sebut sebagai "sastra kampus" dalam esei saya ini.

Kalau kita membaca biodata para sastrawan Indonesia, baik di halaman khusus tentang itu di buku-buku para sastrawan tersebut maupun dalam buku-buku "leksikon/pintar" tentang sastra Indonesia, maka segera akan kita temukan bahwa tidak sedikit sastrawan Indonesia, khususnya sejak Angkatan 66, mulai serius memublikasikan karya mereka waktu mereka masih berstatus mahasiswa. Bahkan tidak sedikit dari mereka sudah terkenal semasa mereka masih mahasiswa. Taufiq Ismail dikenal sebagai penyair "Angkatan 66" berdasarkan sajak-sajak yang dikumpulkannya, bersama Goenawan Mohamad, M. Saribi Afn. dan lain-lain, dalam antologi Manifestasi (1963)--yang kemudian diterbitkan ulang sebagai antologi-tunggalnya Tirani (1966) dan Benteng (1966)--di masa dia dan Goenawan Mohamad masih berstatus mahasiswa. Goenawan Mohamad sendiri pada masa itu lebih terkenal sebagai eseis berdasarkan esei-esei sastranya yang mendapat Hadiah Pertama dari majalah Sastra (1962 dan 1963). Banyak contoh lain yang bisa disebutkan terutama sejak periode 1980-an.

Lantas, kenapa kita tidak pernah mendengar atau membaca pembicaraan tentang karya-karya sastra produk dunia kampus ini? Apakah kesan yang ditimbulkan oleh istilah "mahasiswa" telah membuat persepsi atas karya-karya mereka menjadi kurang begitu serius apalagi kalau dibandingkan dengan "sastra eksil" misalnya? Faktor keangkeran sebuah istilahkah yang membuat perbincangan atas istilah tertentu menjadi terasa lebih intelektual dan relevan, dan sebaliknya pada istilah lain, walau argumentasi yang disodorkan sebagai pembelaan atas penciptaan/pembicaraan atas istilah dimaksud tak lebih dan tak kurang cuma berkisar di antara kedua faktor medium publikasi dan jenis manusia penghasil produk karya belaka? Saya ambil contoh apa yang disebut sebagai "sastra eksil" Indonesia itu.

Sebuah buku bunga rampai puisi berjudul Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil diterbitkan oleh Amanah-Lontar (Jakarta) dan Yayasan Sejarah Budaya Indonesia (Amsterdam) pada April 2002. Buku tersebut mengumpulkan sajak-sajak lima belas penyair dan diklaim oleh Asahan Alham, ketua dewan redaksi buku, sebagai "sastra eksil Indonesia". Buku tersebut secara umum bisa dikatakan sebagai satu-satunya buku yang terang-terangan mengklaim eksistensi dari apa yang disebut sebagai "sastra eksil" sebagai warga sastra Indonesia. Klaim eksistensial seperti ini, tentu saja, sah-sah saja untuk dibuat, asal ada produknya.

Membaca kata pendahuluan yang ditulis oleh Asahan Alham untuk buku Di Negeri Orang tersebut ternyata tidak menjelaskan apa-apa tentang klaim eksistensialnya atas keberadaan "sastra eksil Indonesia" itu. Malah kata pendahuluannya itu terkesan cuma sebuah pleidoi editorial bernada rengekan untuk minta diakui kebenarannya. Asahan Alham, misalnya, belum apa-apa sudah menulis bahwa, "Kalau kita berpandangan bahwa sastra suatu bangsa adalah kekayaan bangsa itu sendiri, sudah tentu sastra eksil adalah juga sebagian dari kekayaan sastra Indonesia.

Memperlakukannya sebagai anak tiri atau bahkan tidak mengakuinya sebagai anak karena dianggap cacat tidak molek, tidak cerdas, cuma akan mempermalu diri sendiri." Bagaimana kita yang ingin mengetahui apa itu "sastra eksil Indonesia" bisa tercerahkan dengan pernyataan seperti ini?! Bukankah, kalau saya tidak salah memahaminya, justru buku Di Negeri Orang itulah yang membuat klaim tentang adanya apa yang dewan redaksinya sebut sebagai "sastra eksil Indonesia" itu! "Sastra eksil Indonesia itu wujud dan akan ditulis oleh sejarah," demikian asersi Asahan Alham, tanpa sedikit pun merasakan ironi dalam pernyataannya tersebut.

Seperti yang sudah pernah saya tulis dalam kesempatan lain tentang topik yang sama, ketidakmampuan dewan redaksi Di Negeri Orang untuk memberikan pengertian definisi atas apa yang mereka klaim sebagai "sastra eksil Indonesia" itu telah menyebabkan terjadinya sebuah kekacauan editorial, yaitu absennya Sitor Situmorang dari daftar penyair "sastra eksil Indonesia" tanpa penjelasan apa pun. Kalau definisi istilah "sastra eksil", misalnya, dilihat dari faktor dislokasi geografis dari tempat kelahiran ke sebuah tempat asing sebagai faktor utama yang menciptakan kondisi yang disebut sebagai "eksil" itu, di mana dislokasi geografis itu sendiri bisa terjadi karena disebabkan baik oleh paksaan negara secara resmi maupun karena pilihan pribadi, maka Sitor Situmorang, dan Wing Kardjo, juga mesti dimasukkan sebagai penyair eksil Indonesia. Sajak-sajak yang mereka tulis dalam rantau di negeri orang yang cukup lama masanya itu (bahkan Wing Kardjo, seperti Agam Wispi, juga meninggal di dunia eksil) merupakan wajah lain dari dan sekaligus memperkaya sastra eksil Indonesia, ketimbang sekadar pada yang ditulis oleh para sastrawan yang hidup dalam pembuangan politik di luar negeri kelahiran mereka sendiri karena perbedaan ideologi politik dengan pemerintahan yang sedang berkuasa.

Hubungan antara status sebagai "mahasiswa" dan sebagai "sastrawan" yang menjadi ciri-khas para penulis "sastra kampus" sebenarnya bisa menjadi sebuah isu penelitian yang menarik. Misalnya, adakah status sebagai "mahasiswa" perguruan tinggi di Indonesia itu membuat jenis karya yang dihasilkan cukup berbeda dari mainstream karya sastra Indonesia? Sebuah puisi, misalnya, yang ditulis oleh "mahasiswa" apakah mempunyai kecenderungan realis-sosial, lebih peduli pada apa yang terjadi di masyarakat sekitarnya mungkin dikarenakan mahasiswa itu pada umumnya lebih idealis dibanding kelompok elite terpelajar lainnya? Kalau puisi yang ditulis "mahasiswa-sastrawan" memang cenderung bersifat realis-sosial, isu-isu apa saja yang merupakan isu dominannya? Korupsi, ketidakadilan sosial, kemiskinan?

Bagaimanakah bentuk ekspresi yang dipilih dalam penulisannya: sajak protes, pamflet penyair, atau masih berbentuk puisi lirik yang masih mempedulikan fungsi bahasa metaforik ketimbang bahasa slogan?

Dari awal sejarahnya di awal abad 20 sampai awal abad 21 ini, sastra Indonesia bisa dikatakan secara umum merupakan sastra realis. Novel-novel yang ditulis oleh para "penulis Sumatera" yang kebanyakan berasal dari Provinsi Sumatera Utara dan Sumatera Barat sangat kental dengan isu-isu lokal terutama dengan konflik antara tradisi dan modernitas. Novel Sitti Nurbaja Marah Roesli, misalnya, menjadi sangat terkenal justru karena menggambarkan kekalahan modernitas yang dibawa kolonialisme Belanda lewat dunia pendidikan yang diwakili oleh kematian tokoh-tokoh utama novel tersebut.

Novel Atheis Achdiat K. Mihardja yang merupakan novel pertama setelah Indonesia merdeka juga masih membela tradisi vis-a-vis modernitas. Kecenderungan memenangkan tradisi dalam konfliknya dengan modernitas yang dibawa kebudayaan Barat itu merupakan motif sangat dominan dalam realisme sastra Indonesia khususnya dalam novel dan mulai agak dilawan dalam novel-novel eksistensialis Iwan Simatupang dan terutama dalam karya puncak fiksi Indonesia yaitu Tetralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer.

Cerpen Indonesia juga penuh dengan konflik antara tradisi dan modernitas ini. Hanya di cerpen-cerpen berlatar Eropa Sitor Situmorang, cerpen-cerpen eksistensialis Iwan Simatupang, dan lagi-lagi dalam cerpen Pramoedya Ananta Toer terjadi anomali dalam kesukaan sastrawan Indonesia membela tradisi budayanya.

Puisi Indonesia agak berbeda. Bisa dikatakan cuma puisi Indonesia dalam sastra Indonesia yang tidak membela tradisi dalam konflik tradisi-modernitas. Puisi Indonesia bahkan cenderung antitradisi baik dalam bentuk ekspresi maupun isinya. Kita misalnya melihat diperkenalkannya bentuk Soneta dari sastra Itali ke dalam sastra Indonesia oleh para penyair Pujangga Baru. Chairil Anwar memperkenalkan bentuk persajakan yang sangat bebas yang dalam sastra berbahasa Inggris akan disebut sebagai Free Verse dan merupakan bentuk sajak paling dominan dalam puisi lirik modern dunia. Terakhir Rendra memperkenalkan Balada yang juga berasal dari tradisi sastra berbahasa Inggris, di mana narasi alur cerita merupakan unsur paling membedakannya dari tradisi puisi lirik yang dikembangkan Chairil Anwar, di samping bentuk orasi politik yang diberinya nama Pamflet Penyair.

Isi dari puisi Indonesia pun merefleksikan bentuknya yang berasal dari khazanah sastra Barat itu. Kecuali pada Amir Hamzah, puisi Indonesia sejak zaman Pujangga Baru penuh dengan vitalitas modernitas Barat dan menjadi ajang ejekan atas kekolotan tradisi. Metafor seperti Meninggalkan laut yang tenang dari S. Takdir Alisjahbana, Aku ini Binatang Jalang Chairil, Si Anak Hilang Sitor Situmorang, sampai Abad yang berlari dari Afrizal Malna menunjukkan betapa vitalitas modernitas merupakan benang merah dalam perpuisian Indonesia.

Sekarang yang menjadi persoalan adalah apakah motif konflik antara tradisi-modernitas ini masih bisa dilihat dalam karya para "sastrawan kampus" yang menjamur keberadaannya di Indonesia sejak kekalahan rezim Orde Baru di akhir abad 20 itu? Masih kuatkah arus realisme-sosial di karangan-karangan para intelektual muda Indonesia ini yang rata-rata hidup di dunia urban kita?

Kalau "mahasiswa-sastrawan" seperti S. Takdir Alihsjahbana, Armijn Pane, Rendra, Ajip Rosidi, Subagio Sastrowardoyo, Taufiq Ismail, misalnya, menuliskan reaksi estetik mereka atas kondisi zamannya masing-masing, apakah para "mahasiswa-sastrawan" kontemporer juga merespon peristiwa-peristiwa kontemporer yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat mereka? Atau mereka sudah menjadi anomali dalam sejarah realisme-sosial sastra Indonesia itu dan memilih menulis tentang hal-hal pribadi belaka karena persitiwa-peristiwa sosial besar semacam kolonialisme, kemerdekaan, konflik ideologi, sudah tidak lagi menjadi isu-isu intelektual penting bagi elite kampus kita? Kalau hal ini memang yang terjadi, lantas apakah artinya itu dalam konteks sejarah sastra kita yang usianya belum panjang itu? Kalau "mahasiswa-sastrawan" kontemporer sudah tidak tertarik lagi membicarakan isu-isu masyarakatnya yang pascakolonial dan Dunia Ketiga itu, apakah hal ini merupakan refleksi dari kecenderungan besar dalam sastra Indonesia secara umum?

Antologi pertanyaan seperti inilah yang harusnya kita ajukan waktu kita membaca karya "sastra(wan) kampus" agar jenis sastra yang sama uniknya dengan jenis-jenis sastra kita lainnya itu tidak hilang begitu saja dimakan rayap waktu walau sudah puluhan judul buku dari berbagai genre (puisi dan cerpen khususnya) dituliskan atas namanya. Sudah waktunya "sastra(wan) kampus" diangkat dari obskuritas identitasnya dan tidak lagi dianggap sebagai "sastra underground" alias sastra bawah tanah yang sengaja dilupakan. Ini juga akan sekaligus membantu mengurangi krisis kritik sastra yang sudah begitu lama menggerogoti sejarah sastra kita.

Saut Situmorang, penyair dan eseis, tinggal di Yogyakarta

Cerpen Ugoran Prasad

Cerpen
Hantu Nancy

Kompas, Minggu, 29 November 2009 | 04:03 WIB


Kebon Sawah dipaksa mengingat, pernah di salon itu, duduk di depan meja rias dan menemukan bayanganmu sendiri artinya kamu akan segera ditangani. Nancy akan menghampirimu, berdiri di belakangmu, embus napasnya lembut mencapai tengkukmu. Setelah Nancy mati, Zulfikar masih duduk di sana, menunggu embus napas mencapai tengkuknya sebab yakin gilirannya pasti.

Pasti sebab pembantaian Nancy terlalu mengerikan, kematiannya terlalu keji. Lima orang memberangusnya, mengikatnya di kursi tempat pelanggan salon biasanya duduk. Dari kursi itu Nancy bisa menemukan bayangannya sendiri. Sehari-hari cermin di hadapannya biasa memantulkan berangsur wajah para pelanggan menuju kecantikan, malam itu berangsur wajahnya menuju kematian. Dua di antara lima pemberangus mencukur rambutnya serampangan. Satu yang lain menyumpalkan potongan-potongan rambut ke mulut Nancy dan satu terakhir sekadar menutup hidungnya. Nancy sempat kelojotan, sebentar. Ketika rambut di kepalanya habis, Nancy mampus. Bedah otopsi kemudian membuktikan bahwa Nancy kehabisan napas, versi yang lebih simpatik akan lebih menggarisbawahi kemungkinan Nancy mati karena tak sanggup melihat wajahnya sedemikan buruk. Tersumpal rambut, mulutnya terbuka lebar, seperti terbahak. Rautnya merot-perot, matanya melotot, nyalang dan ngeri. Zulfikar, pemberangus kelima, di pojokan, gemetaran. Melihat bangkai Nancy, penyesalan Zulfikar tak tertanggungkan. Seribu kali kematiannya tak mungkin impas mengganti sekali kematian Nancy.

Sesungguhnya tak butuh penyelidik tangguh untuk membongkar kejahatan ini tapi di Kebon Sawah beberapa kejahatan memang terjadi bukan untuk dipecahkan. Lupa selalu bisa diandalkan, tak pernah mengecewakan. Untunglah, bisik-bisik hantu Nancy terembus.

Ada tidaknya hantu Nancy akan tetap menjadi misteri sampai akhir cerita ini, terutama karena semua orang yang pernah bertemu dengannya tak lagi bisa ditanyai. Satu hal yang bisa dipastikan, beberapa orang telah dibunuh menyusul Nancy. Untuk mengikis sebagian penasaran, ada baiknya kita mulai dari suatu Rabu sore, tepat sebelum kemunculan pertama hantu Nancy.

Hampir seminggu setelah Nancy dibunuh, hampir seminggu pula Zulfikar menghilang. Sulaiman Badik menyuruh Ahmad Senin mencarinya, santun memerintahkan agar Senin mencari tahu apakah Zulfikar sedang sakit atau membutuhkan sesuatu. Senin berjalan ke rumah Zulfikar bersiap menemukan keadaan terburuk dan bertindak.

Zulfikar bukan anggota komplotan Leman Badik. Ia kelas teri, nyalinya tipis, kejahatannya paling cuma maling. Hanya karena Zulfikar pelanggan setia salon Nancy, ia diajak serta. Kuda troya, kata Leman, apa pun itu artinya. Anak buah Leman sejak awal bersiaga, siap menutup mulut Zulfikar kalau-kalau mentalnya kecut.

Ditemukan di rumah ibunya, Zulfikar jongkok di dekat sumur, memandangi cacing tanah. Ketika Senin ikut jongkok dan mengajak bicara, ia menyahut dengan kalimat yang tampaknya disusun tanpa akal sehat.

”Ini tadi cacing ini tadi mati tadi, Nin.”

Kalimat berikutnya, setelah jeda cukup lama, melompat.

”Senin, lu punya duit? Gua mau cukur,” satu tangannya memainkan ujung rambut panjangnya, sebelum mendadak menadah seperti pengemis. Senin, mungkin iba, merogoh kantongnya lalu menyorongkan selembar lima ribuan.

Zulfikar melipat uang itu dengan riang. Setengah bergurau, Senin bertanya di mana Zulfikar bercukur, mengingat Nancy sudah mati.

Wajah girang Zulfikar tiba-tiba lenyap.

”Nancy mati, Nin?” Zulfikar terlihat sungguh-sungguh, tawa Senin hampir meledak. Senin memutuskan mengangguk. Senin tahu jenis orang yang mudah patah, dan Zulfikar pastilah salah satunya. Setengah iba, ia menyimpulkan bahwa Zulfikar tak berbahaya, seperti potongan cacing di depan mereka.

Setelah menepuk-nepuk punggung Zulfikar, Senin beranjak. Sempat membatin laporan untuk bosnya, langkah Senin terhenti begitu mendengar kalimat Zulfikar kemudian.

”Kasihan pembunuh-pembunuh Nancy itu, Nin.”

Membalik badan, Senin bertanya kenapa.

”Aku mimpi ketemu Nancy. Dia bilang mau balas dendam.”

Wajah Zulfikar begitu serius namun malah begitu tolol. Pertahanan Senin jebol, ia tertawa sampai tersedak.

Besok paginya, setelah semalaman menertawai kegilaan Zulfikar bersama komplotannya, Senin ditemukan di kamar yang terkunci dari dalam. Mati tersumpal rambut, ia melotot.

Hampir genap empat minggu setelah kematian Nancy, Rabu selepas maghrib, Leman Badik duduk di pinggir kolam ikan di belakang rumah Sudirja, Lurah Kebon Sawah. Sudah tiga anak buah Leman mati berturut-turut, tiga Rabu malam terakhir. Sudirja di telepon tadi siang gagal menyembunyikan gelisah suaranya.

Leman Badik selalu mengira ketakutan ampuh menggerogoti sembarang orang, selain Sudirja. Duduk di sisinya, menghadapi pancing tanpa umpan, Sudirja tampak kosong, lemah. Lima minggu yang lalu, persis di tempat yang sama, Sudirja memerintahkan padanya untuk menghabisi Nancy. Saat itu suara majikannya pelan namun penuh percaya diri. Menyingkirkan perasaan cinta yang mendalam pada Nancy, raut Sudirja tak terlihat sedikit pun gundah.

Leman telah menjadi tukang pukul Sudirja sejak sepuluh tahun terakhir, menyaksikan berbagai kebusukan tuan tanah itu. Sejak tiga tahun yang lalu, gara-gara Nancy, untuk pertama kalinya Sudirja terjebak selangkangannya sendiri. Nancy seperti tahu sudut-sudut Sudirja yang paling lemah, mengolahnya, meracuninya, membuatnya ketagihan, kesetanan.

”Saya gak percaya ini kerjaan setan,” cetus Leman, menyergah pikirannya sendiri.

Persis ketika Leman mengucap ”setan”, pancing di tangan Sudirja lepas. Leman mencium kerusakan yang parah, jenis yang tak mungkin terobati. Tercetus dalam pikirannya, waktunya tak lama lagi untuk mencari majikan pengganti.

Sejurus kemudian keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Menekuni pembunuhan beruntun lima minggu belakangan, arah pikiran keduanya tak beririsan. Leman percaya ini perbuatan manusia, kemungkinan besar musuh-musuh di pemilihan lurah tahun lalu, sekurangnya-kurangnya karena dua alasan: pertama, karena ini dipastikan oleh dukun langganannya dan, kedua, dukun itu tak pernah mengecewakannya. Sementara itu, pikiran Sudirja dipenuhi Nancy berkepala gundul dengan mata melotot dan mulut dipenuhi rambut yang datang setiap Rabu malam. Nancy akan mencapai dirinya, tak lama lagi.

Pertengkaran terakhir keduanya terngiang. Saat itu, Sudirja tegas menolak permintaan Nancy. Kekasihnya itu mengancam membeberkan hubungan gelap mereka, biar orang kampung tahu siapa Lurah Sudirja sesungguhnya. Sudirja mengancam akan menghabisi Nancy, menegaskan bahwa cara semacam itu bukan pula yang pertama untuknya. Nancy balas menantang, mengancam akan bangkit dari kubur dan membalas dendam jika ia benar-benar dibunuh.

Mencintai Nancy justru karena apa adanya, tak kurang tak lebih, Sudirja tak mungkin mengubah keputusannya. Mengabulkan permintaan itu sama dengan kehilangan Nancy selamanya, sama dengan membunuhnya. Sudirja ingat, saat itu ia sekadar melakukan yang biasanya ia lakukan jika merasa terdesak. Kini Rabu malam menjelang dan Sudirja menyesal sekadar menganggap angin ancaman Nancy. Semua sudah terlambat, ia yakin kematiannya sudah dekat.

Dari tempat duduknya, Leman bisa mencium ketakutan majikannya tapi bergeming. Malam nanti hantu Nancy bahkan boleh saja datang untuknya. Silakan. Anak buahnya tolol, kalah sebelum perang, itulah alasan kematian mereka. Hantu Nancy hanyalah akal-akalan manusia.

Tak diketahui apakah sempat Leman melawan dengan gagah. Esok paginya, ia ditemukan mati melotot melihat ngeri.

Dua malam Rabu setelah Leman, hantu Nancy mengambil dua lagi. Warga kampung mulai terbuka matanya, setelah Supriningsih, istri lurah, mati, dan lalu berani mengambil kesimpulan, setelah seminggu berikutnya giliran Sudirja. Bisik-bisik bahwa Lurah Kebon Sawah berhubungan gelap dengan Nancy, sekalipun sempat susah masuk akal, kini sulit dibantah lagi. Sudirja mati melotot dengan mulut tersumpal rambut, seperti istrinya, seperti seluruh komplotan Leman. Semuanya pastilah berhubungan.

Orang-orang berpikiran paling jernih di Kebon Sawah saling menggenapkan dugaan masing-masing, menyimpulkan bahwa latar pembunuhan Nancy adalah kecemburuan istri Sudirja dan atau ancaman buka mulut Nancy. Kedua latar ini mendorong Sudirja bertindak sedemikian keji. Menurut musuh-musuhnya, kekejian semacam ini bukan yang pertama bagi Sudirja. Mengenai betul tidaknya bisik-bisik bahwa pelaku balas dendam Nancy adalah arwah penasaran, tetua kampung menganjurkan warga mendekatkan diri pada Tuhan. Anjuran ini tak terlalu menenteramkan, terutama karena sudah setiap malam dalam enam minggu terakhir ini warga bertahlil dan dalam mengaji Yasin sebagian telah kehilangan kekhusyukan.

Sekalipun kesimpulan sudah diambil, tak satu pun warga memperkirakan bahwa dibutuhkan satu kematian lagi sebelum keadaan kembali tenang dan lupa mulai bisa diamalkan.

Rabu malam ketujuh setelah kematian Nancy, pintu salon miliknya dibuka paksa. Keadaan remang dan angker tak mencegah Zulfikar menemukan kursi di depan cermin di mana Nancy melihat dirinya sendiri terakhir kali.

Zulfikar duduk di kursi, dan berkat lampu jalan yang menerobos masuk ke salon itu, ia bisa menemukan bayangannya sendiri. Zulfikar menunggu.

Sebentar kemudian, penantiannya berakhir. Di cermin itu kini bisa ia lihat, Nancy berdiri di belakangnya.

Sejak mati Nancy semakin cantik, bukan setan gundul melotot dengan mulut tersumpal rambut seperti perkiraan orang. Rambutnya utuh, hitam tergerai panjang dan lebat, sangat terawat, persis sebagaimana yang Zulfikar ingat. Matanya tenang, menatap Zulfikar penuh sayang. Pakaiannya tipis menerawang. Zulfikar melihat ke dada Nancy dan terharu, sekali lagi. Kematian telah memberikan pada Nancy apa yang hanya bisa ia impikan semasa hidup. Sepasang dada yang mengkal, bukan tambalan potongan gombal. Wajah Nancy demikian halus dan cantik. Seperti janjinya pada Zulfikar dulu, jika operasi penanaman payudaranya berhasil, Nancy akan membiarkan kumis dan cambangnya tumbuh dengan anggun. Sungguh Zulfikar tak pernah mengira sedikit pun bahwa kumis dan cambang bisa membuat seseorang demikian cantik.

Zulfikar berandai-andai, jika saja Sudirja bisa menghargai kecantikan yang diangankan Nancy, tak sulit mengabulkan permintaannya. Sayang, lurah itu kuno. Zulfikar terus berandai-andai, jika saja ia kaya, bukan maling sekadarnya, tentu lain cerita. Terus ia menatapi Nancy di cermin, terus tak berhenti jatuh cinta lebih dari sebelumnya.

Zulfikar ingin bersuara tapi lidahnya kelu. Ia selalu ingin menjelaskan semuanya, kenapa ia mau jadi kaki tangan Leman, kenapa ia terlibat pembunuhan orang yang paling dicintainya. Zulfikar selalu urung karena ia yakin Nancy tak akan mengerti. Nancy tak akan bisa menakar cinta Zulfikar, betapa dalam sehingga jika ia tak bisa mendapatkan Nancy, tak seorang pun boleh bisa. Nancy demikian cantik. Jika Sudirja tak mewujudkan keinginannya, masih banyak orang kaya yang bisa.

Di cermin, Nancy tersenyum padanya. Zulfikar tahu saatnya sudah dekat. Ia telah mematuhi seluruh perintah Nancy tapi masih ada satu lagi. Dengan tenang, Zulfikar mulai memotong rambutnya sendiri, meletakkan potongan-potongan rambut itu di pangkuannya. Senyum Nancy semakin mengembang, menyemangatinya. Tak berapa lama rambut di kepalanya mulai tercukur habis.

Ia melihat ke pangkuannya sendiri, puas dengan hasil kerjanya. Menatap ke arah bayangan Nancy penuh pembuktian diri, satu tangan Zulfikar mulai memasukkan rambut-rambut itu ke dalam mulutnya, satu tangan yang lain ia gunakan menutup hidungnya. Nancy tersenyum, semakin cantik.

Butuh waktu lama agar Kebon Sawah lupa. Dua tahun setelah kematian Nancy, tak satu pun salon baru berdiri. Warga harus pergi ke kampung sebelah atau ke pusat kota untuk bercukur dan didandani. Kerepotan kecil ini memaksa mereka mengingat delapan kematian beruntun di Kebon Sawah.

Warga masih terbelah sikap, sekalipun polisi sudah berusaha menenangkan, mengatakan bahwa Zulfikarlah pelaku di balik kematian enam orang, sebagaimana ditunjukkan jejak sidik jarinya, sebelum akhirnya bunuh diri. Sulit memaksa warga mendapatkan tenang, bukan semata-mata karena pembunuhan Nancy tak pernah terungkap terang. Mayat Zulfikar, setelah lenyap saat disemayamkan di masjid, sampai sekarang tak pernah ditemukan.

Dua bulan yang lalu seseorang bernama Siska datang, mendirikan salon persis di bekas salon Nancy. Mula-mula tak seorang pun mengunjunginya. Keadaan mulai berubah sejak Siska berjanji untuk membakar semua rambut yang dipotongnya. Tetua kampung, sekalipun sempat khawatir dengan kedatangan Siska, urung cemas begitu melihat pemilik salon itu. Berbeda dengan Nancy yang cantik, Siska berwajah buruk, lipstik merah di bibirnya dikelilingi kumis dan janggut. Keburukan itu, anehnya, tak sempat mengingatkan mereka pada wajah seseorang yang demikian akrab. Di balik celemong make-up dan semrawut cambangnya, mudah didapati betapa wajah Siska begitu mirip dengan Zulfikar.

Sampai kisah ini dituliskan, tak seorang pun warga pernah menghubungkan kemiripan keduanya, bahkan tidak juga pada sekadar obrolan ringan. Lupa rupa-rupanya bukan suatu cara bertahan yang bisa diwujudkan sekenanya, gotong royong dibutuhkan agar semuanya berjalan sesuai rencana.

Begitupun, ingatan masih penasaran: mampirlah, di kampung itu kamu selalu bisa menghirup bau rambut terbakar.

Sabtu, 31 Oktober 2009

F Aziz Manna

Sajak-sajak

Kompas, Minggu, 1 November 2009 | 02:58 WIB


Jendela Rumah



rumah kami kecil, rumah kami sederhana seperti sebuah jendela, kami bisa melihat dunia luar tapi dunia tak bisa melihat seluruh ruangan rumah kami, orang-orang hanya memandang anak gadis kami yang menyisir rambutnya panjang sedang dalam kamarnya penuh batu dan pisau, kami bisa mendengar suara riuh sedang suara kami hanya menggema sendiri, inilah rumah sederhana kami, rumah yang selalu dipandang kecil seperti sebuah jendela



Porong, Bulan Suci



/1/

dan kelopak itu retak, angin membuatnya terombang-ambing dan tak seorang pun hirau, kumbang terbang hinggap di kelopak retak itu dan tak seorang pun mau tahu

/2/

lengan kami mengepak, wajah kami tengadah, tubuh kami berputar, kami menari seperti darwis tapi tak ada yang menggubris

/3/

kami lupa kapan terakhir kali tertawa sebab yang ada hanya ratap dan duka, ingatan kami dipenuhi buih pilu, biduk harapan meluncur dalam laut lumpur penuh batu, kisah kami dijalari semak perdu

/4/

kami adalah genggaman yang menanti genggaman lain untuk disebut gagang, kami adalah tangan yang menanti tangan lain untuk disebut pegangan, kami tergantung pada kami yang lain untuk disebut seseorang

/5/

kami terlepas dari pokok dahan naungan, kami terjatuh di pinggir jalanan, tersungkur di celah paving trotoar: dari tanah kembali ke tanah, dari tanah jiwa kami kembali berkecambah

/6/

pintu menujumu dijaga ketat hantu-hantu dan sihir melenyapkan lubang kunci, tangan kami memegang pisau dan pikiran kami penuh mesiu, kami hanyutkan diri dalam peperangan namun yang kami temukan hanya kekalahan, hanya dunia yang tak lagi nyaman

/7/

dan kelopak itu retak, angin membuatnya terombang-ambing dan tak seorang pun hirau, kumbang terbang hinggap di kelopak retak itu dan tak seorang pun mau tahu

Sajak-sajak Avianti Armand

Sajak-sajak

Kompas, Minggu, 1 November 2009 | 02:58 WIB


Pagi




1.

Pagi ini uap putih yang

mengepul dari ceret lari keluar

lewat jendela yang mengantuk

lalu hilang terseret angin;

aroma kopi bercampur hazelnut

menempel pada gorden

dan kain sofa, sarung-sarung

bantal dan linen –

Tapi aku tak mengenalmu.

Rambutmu burai menyembunyikan sisa syahwat seperti

rumput di halaman belakang menyembunyikan cokelat

tanah.

: Aku tak akan menyianginya. Aku tak tahu namamu.

Seekor belalang yang takut sembunyi menggigil

di antara bilah hijau dan bola embun.

Biru memanjang pelan-pelan di atas meja

menggeser debu dan menit.

Dalam tidurmu, kau menyebutku.

: Tapi pagi masih terlalu dingin.

2.

Tiba-tiba kamu ada;

berlari sepanjang tangga setelah puas

menghitung tahun di wajah dan rambut yang tak hitam,

menggeser puting susu berbintik dengan lidah

sebanyak detik,

dan “ooh!” dan “ahh!”

Dua cangkir kopi ini:

saksi yang lugu.

3.

Ikan-ikan itu lapar, katamu –

lalu kau jatuhkan gerimis

di sekujur kolam yang

megap-megap kehabisan udara.

Ahh!

Pagi ini, kamu mencintai aku.

Jakarta, 16 September 2009



Percakapan dengan Tuhan

Di Atas Awan




“Aku hampir tak mengenalMu, Tuhan. Tapi di lipatan

jubahMu tersembul jari-jari sekurus ranting yang tak bisa

mengibas lalat di mata. KasutMu mengepulkan debu dari

kota-kota yang tak sengaja terinjak. Jejak air juga belum

mengering di dadaMu dari ibu-ibu yang melepas anaknya

ke arah peluru.”

“Aku tahu, itu Kamu.”

“Bukan,” sangkalNya – lalu berlalu sambil menangis.

“Jangan pergi!”

Ia telanjur berbalik, lupa kalau gerumbul putih itu hanya

sekumpulan air. TubuhNya melesak – hilang jadi butir-

butir hujan.



Di Tepi Pelangi



KataNya, “Aku mencintaimu.”

Aku tak percaya – karena tak juga bisa tidur setelah lelah

menghitung domba yang tak habis-habis melompat ke

jurang.

Maka Ia membentang tangan dan tercipta pelangi yang

membutakan mataku.

Aku tak pernah tahu kalau warna bisa seperti itu.



Di Ambang Pintu



Tanpa menyentuhku Ia telah menciumku dan berbisik di

ambang pintu yang tak pernah tertutup:

“Kita belum selesai.”

Angkor, Seam Reap, 23 September 2009

Sajak-sajak Hasan Aspahani

Kompas, Minggu, 1 November 2009 | 02:58 WIB


Balada Siapa Saja



IA bernafas dengan harmonika, gamang membayangkan

syair, sajak penyair terakhir, tentang maut & lahir.

Ini seperti balada tentang siapa saja, seperti

petualang menemukan peta pantai hilang, lalu ia

berikrar akan jadi tua, meninggal nama, di sana.

Sebuah lagu akan rampung dihirup-hembuskan, ia

mengecupi harmonika seperti bibir kekasihnya.

Selalu itu membuatnya lebih dalam mematakan pejam.

Ini seperti balada tentang siapa saja, dan itu

berarti yang paling mungkin (dan paling mustahil)

ia akan bernyanyi tak henti tentang Cinta & Sunyi.

Cinta sebab ia telah pernah berani memimpikan mimpi.

Sunyi karena ia tahu akan kembali menjadi sendiri.

Keduanya melahirkan lagu nafasnya pada harmonika,

pada kecup dalam dan lama di lapar bibir kekasihnya.



Gerbera



“ADA akar rahasiaku, menyerap butir cahaya,”

katamu, dan aku percaya. “Engkau tak sabar

memekarkan terangnya, kan?” Aku juga seperti

akar itu, merahasiakan saja segala pertanyaanku.

“ADA telinga rahasiaku, yang menyimak semua tanya

yang kau sembunyikan itu,” katamu, dan aku percaya.

Kubayangkan akulah yang menyusun petal-petalmu,

mengatur sepal-sepalmu, “Seperti menata nyala

lampu di ruang tidur,” kataku. Dan diam-diam

kusisipkan sesuatu di antara yang benderang itu.

“Aku tahu,” katamu, “...yang kau rahasiakan itu!”



Chrysanthemum



ENGKAU warna, menunggu dijemput cahaya

Dan aku tangkai belaka, yang setia menjaga

dengan tubuh luka, aku kenang asal akar kita,

dia yang tak ada di antara: vas, senja, dan

beranda, penanam yang tak kita kenal siapa.

Minggu, 25 Oktober 2009

SAJAK Eko Putra

Adakah Pintuku

adakah pintuku

untuk dibuka

dan lapangkan jalan

menuju cahya

dalam kenyataan

paling sunyi seorang

keinginan membagi

segala puisi

dalam hati agar kau mengerti

untuk membula pintuku

menuju hatiku

2008

Berjalan Mencari Pintu


mengapa aku harus

kehilangan beribu

doa dalam seorang

menuju kesunyian

dari jiwa-jiwa

yang menyala

berapa pula ayat

yang habis kupuisikan

untuk menuju ruhmu

dari kering kerontang

dan tilas waktu

dimakan sia-sia

aku harus kehilangan

beribu alifbata

dalam seorang

sebagai pembangkang

sampai nemu terang

2008

Khuldi


jiwaku telah hilang

melubangi kenangan di pusaran waktu

angin apa yang menembus ragaku

hingga tak bergerak dalam kedinginan

2008

Ada Suara di Pintu

ada suara yang mengetuk

untuk bicara

pada jiwaku yang lelah

ada bahasa yang dieja

untuk membuka pintu

yang hilang

pada zikir seorang pembangkang

suara siapa di pintu

untuk bertanya dan pulang

ke dalam rumahmu

2009

Eko Putra, lahir di Kertajaya, Musi Banyuasin, Sumsel, 19 Juni 1990. Puisi-puisinya pernah dimuat berbagai media dan antologi bersama. Diundang sebagai peserta Temu Sastrawan Indonesia II Pangkalpinang, Bangka Belitung (2009).

Pengukuhan Kelisanan

SASTRA

Kompas,Minggu, 25 Oktober 2009 | 03:01 WIB

Hikmat Gumelar

Sastra Indonesia bukanlah sastra lisan. Sedari lahirnya, sastra Indonesia diharap sebagai sastra tulis. Sedari lahirnya, sastra Indonesia meminta siapa yang hendak menggelutinya untuk sadar akan pengharapan demikian, dan sekaligus sedia memenuhi konsekuensinya.

Adapun konsekuensinya, hemat saya, pertama-tama mengenal benar perbedaan antara berbicara dengan tulisan dan berbicara secara lisan. Dalam pembicaraan lisan, kata hadir melalui suara, dan kehadirannya bersama bentuk mulut, sorot mata, kerutan jidat, gerak bahu, dan sebagainya. Dan di sana, ujaran remang bisa segera dibuat terang, ujaran menyimpang bisa segera dibuat lempang. Salah paham dan tafsir beragam mudah dielakkan. Guyub dan tertutup yang merupakan ciri budaya lisan terus berlanjut. Komunikasi langsung juga membuka peluang untuk berbahasa sembarang, tidak kritis, tidak elaboratif, tidak inovatif, tidak imajinatif, tidak kreatif. Maka bahasa lisan kebanyakan penuh klise.

Bahasa tulis tak demikian. Jika bahasa lisan terikat pada pengujar, bahasa tulis terlepas dari penulis. Ia datang tanpa diantar penulis. Ia datang sendirian. Olenka, misalnya, tidak datang kepada saya melalui mulut Budi Darma. Kedatangannya diantar kata-kata tertulis dalam satu buku. Bukan lagi Budi Darma yang menentukan makna, melainkan kata-kata atau teks Olenka itu sendiri penentunya. Maka siapa hendak menulis sastra dituntut mengenal betul hukum-hukum dan keterbatasan-keterbatasan bahasa, serta kemungkinan-kemungkinan yang masih tersembunyi di ceruk-ceruknya. Hal ini modal baginya untuk menaati dan melanggar bahasa demi lahirnya bahasa baru yang kuasa sendirian membentuk dunia yang mungkin, yang merupakan ruang terbuka bagi berbagai tafsiran.

Akan tetapi, modal tersebut harus diraup. Siapa hendak meraupnya bisa jadi mesti sedia menanggung nasib sebagai binatang jalang yang terbuang dari kumpulannya. Ia mesti setia dan disiplin menjelajahi belantara bahasa, yang sebagiannya bisa berarti menempuh jalan yang diretas sendiri. Inilah, saya kira, yang diminta oleh sastra Indonesia sedari awal kelahirannya. Tetapi sampai kini, kelisanan masih berperan besar dalam membentuk sastra Indonesia.

Memang pengaruhnya tak selalu buruk. Ada juga hal positif yang diberikannya. Berkatnya, sejumlah prosa berhasil jadi dunia rekaan yang unik, hidup dan meyakinkan, sejumlah sajak berhasil menghadirkan dunia-dunia yang belum ternamai dan tak akan ternamai dengan nama-nama lain. Bahkan terhadap Linus Suryadi AG, WS Rendra, dan Sutarji Calzoun Bachri, misalnya, sumbangan tradisi lisan lebih besar. Linus lebih banyak kita ingat karena Pengakuan Pariyem, sebuah prosa lirik yang jelas bertumpu pada pengolahan tradisi lisan. Rendra terus kondang dan dihormati sampai akhir hayatnya karena sajak-sajak baladanya yang keruan mengandung banyak unsur budaya lisan dan karena kepiawaiannya membaca sajak di pentas yang tak syak merupakan praktik tradisi lisan. Sutarji dianggap banyak orang mencapai puncaknya dengan O, Amuk Kapak, sebuah antologi yang terang menampakkan besarnya pengaruh kelisanan. Coba simak lagi sajak-sajak yang mereka tulis. Darinya akan terbaca bahwa mereka ternyata telah menguasai seluk-beluk bahasa tulis dengan mumpuni. Dan inilah, saya kira, kunci yang memungkinkan ketiganya berhasil mengolah unsur-unsur kelisanan jadi kekuatan puisi-puisi yang ditulis masing-masingnya.

Kecuali itu, masih besarnya pengaruh budaya lisan akan sastra Indonesia membuat sastra Indonesia miskin dokumentasi. Sebagai akibatnya, penulisan sejarah sastra Indonesia sampai kini masih sarat masalah. Dan ini lantas ikut melahirkan berbagai masalah lain. misalnya ringkihnya kritik sastra. Sampai kini sastra Indonesia masih pula dunia yang sunyi dari kritik sastra yang merupakan buah dari kecintaan dan penelitian yang luas dan dalam. Kebanyakan yang dianggap sebagai kritik sastra nyaris tak lebih dari tulisan-tulisan singkat hasil pembacaan selintas. Buku sastra memang jadi melimpah, sastrawan memang jadi bertambah. Tetapi minimnya kritik sastra sebagai imbangan reflektif atas kerja kreatif bisa memungkinkan makna kehadiran karya-karya kreatif jadi menipis.

Oleh karena itu, saya diam-diam menaruh harapan pada Ubud Writers and Readers Festival, sebuah festival sastra internasional yang diadakan tiap tahun sejak tahun 2004. Harapan ini agaknya mula-mula dirangsang oleh namanya Ubud Writers and Readers Festival (UWRF). Nama itu menunjukkan penghormatan akan sastra tulis. Harapan kian besar ketika tahu bahwa yang diundang adalah para penulis. Bahkan beberapa dari mereka yang diundang UWRF tahun ini yang berlangsung pada 7-11 Oktober lalu adalah penulis besar dunia seperti Wole Soyinka, penyair dan dramawan Nigeria yang memenangi Nobel Sastra 1986, Vikas Swarup, novelis India yang novel pertamanya, Q & A, dijadikan film dengan judul Slumdog Millionaire , dan Arnold Zable, penulis terkemuka Australia yang telah menulis banyak buku dan kini duduk sebagai Presiden Melbourne PEN. Para penulis seperti itu sudah menghidupi dan dihidupi oleh sastra tulis. Harapan kian besar lagi ketika melihat acara yang disajikan UWRF. Festival yang dibuka Gubernur Bali Mangku Pastika ini antara lain menyajikan 64 diskusi dan 16 bedah buku. Tema diskusi, antara lain ”Orang Pertama: Menemukan Ucapan”, ”Ekspresi Tubuh: Para Penulis yang Melampaui Batasan”, ”Melintasi Genre: Identitas, Keluarga dan Tempat”, dan ”Suara-suara Perempuan dari Penjuru Dunia”, menjanjikan kemungkinan terjadinya pertukaran gagasan-gagasan yang penting dan relevan

Namun, dari 64 diskusi dan 16 bedah buku, tak ada satu pun pembicara yang menulis makalah. Semua pembicara berbicara hanya berdasarkan catatan pribadi dan ingatan. Ucapan para pembicara dan para peserta diskusi dan bedah buku juga tidak dipandang perlu untuk dicatat. Juru catat hanya ada pada satu dua diskusi belaka.

Buku acara tidak memuat uraian, apalagi dengan rinci dan gamblang, ihwal UWRF. Ada memang empat sambutan di dalamnya. Namun, serupa umumnya sambutan, keempatnya melulu barisan kata formulaik, klise, dan berbau jargon sehingga, misalnya, tema festival tahun ini, yakni ”Suka Duka: Compassion and Solidarity”, tak jelas apa maknanya, kenapa dipilih, dan bagaimana pula hubungannya dengan para penulis yang diundang serta karya masing-masingnya. Perlu diingat bahwa ”suka” dan ”duka” di situ bukan ”suka” dan ”duka” dalam bahasa Indonesia, tapi dalam ranah bahasa (budaya) Bali. Tapi karena tak ada penjelasan memadai, ”suka” dan ”duka” dalam ranah bahasa (budaya) Bali itu jadi bermakna tak beda dengan ”suka” dan ”duka” dalam bahasa Indonesia.

Buku antologi UWRF tidak memuat karya semua peserta. Yang dimuat antologi dwibahasa bertajuk Compassion & Solidarity ini hanya karya para peserta dari Indonesia. Panitia tak menjelaskan alasannya. Panitia juga tak menjelaskan kenapa tulisan pertanggungjawaban kurator tak dimuat dalam buku antologi yang didanai HIVOS tersebut. Bobotnya tambah merosot lagi karena tipografi beberapa puisi yang ada di sana berbeda dengan yang ditulis penyairnya. Begitu juga layout cerpen. Terjemahan sejumlah puisi dan cerpen juga banyak yang tidak tepat dan salah. Compassion & Solidarity pun tidak memuat biodata para penulis.

Masih banyak lagi hal sejenis. Tapi, itu saja telah membuat UWRF seperti melupa janjinya. Festival yang diikuti 80 penulis lebih yang berasal dari 23 negara ini jadi seperti umumnya kegiatan serupa. Ia malah terasa sebagai ingar-bingar pengukuhan kelisanan, hal yang justru berperan besar dalam membuat sastra Indonesia jadi serupa bangunan dengan sebagian tiangnya yang rapuh.

Saya tidak tahu kenapa sampai UWRF jadi begitu. Saya hanya ingat Putu Fajar Arcana menulis Jalan Sastra dan Wisata Menuju Ubud (Kompas, 18/10). Di ujung tulisan tersebut, Putu mengucap bahwa ”brosur-brosur wisata dan buku-buku yang ditulis dengan maksud dagang telah membius para pengunjung” Ubud.

”Saya tidak heran,” tambah Putu ”jika UWRF sejak awal memiliki misi yang paralel dengan brosur-brosur wisata itu….”

Hikmat Gumelar, Institut Nalar Jatinangor

Sabtu, 17 Oktober 2009

Sajak MM Bhoernomo

SUARA PEMBARUAN DAILY
Menjaring Ombak

Nelayan itu ragu

Ketika menebar jaring

Pada gulungan ombak

Adakah ikan

Dalam keraguan

Nelayan tetap menjaring

Di tengah lautan

Tak peduli maut mengiring

Bagi nelayan

Hidup adalah menjaring

Dengan harapan

Masih ada ikan.

Griya Pena Kudus, 2009

Nihilisme

Berburu macan di kota

Pasti akan dianggap gila

Berburu ikan di gunung

Pasti dianggap linglung

Berburu babi di lautan

Pasti dianggap sakit ingatan

Berburu hantu di siang bolong

Pasti dianggap pembohong

Betapa banyak kekonyolan

Dalam kehidupan.

Griya Pena Kudus 2009

Keranda

Selalu ada keranda

Diusung ke pusara

Berisi jasad tanpa jiwa

Selalu ada keranda

Menanti kita

Untuk mengisinya

Selalu ada keranda

Membayangi kita

Di mana-mana.

Griya Pena Kudus, 2009

Keris

Kerismu bukan kerisku

Meski sama-sama keris

Biarlah pamornya membiru

Tak lagi bau darah amis

Keris kita berlekuk dan berkarat

Tak cocok untuk merajang tomat

Maka biarlah tersimpan di museum

Bersama riwayat-riwayat mesum

Keris kita adalah turangga

Menyimpan watak murka

Tak layak dibangga-banggakan

Tak laik dijadikan hiasan.

Griya Pena Kudus, 2009

Gambar Anjing

Anakku menggambar anjing

Berjas dan berdasi

Membawa tas jinjing

Bergambar kucing

Anak tetanggaku juga menggambar anjing

Bersepatu dan berpeci

Membawa tas jinjing

Bergambar kucing

Di layar televisi

Ada banyak anjing

Menyalak tak henti-henti

Mencari tikus di dalam tas jinjing.

Griya Pena Kudus, 2009

Rumah

Rumah-rumah telah menjadi penjara

Mengurung keluarga-keluarga kaya

Seumur hidupnya

Rumah-rumah telah disita

Karena dibangun dengan uang negara

Di mana-mana

Rumah-rumah selalu kosong

Karena penghuninya melancong

Setelah berhasil menjadi cukong.

Griya Pena Kudus, 2009

Last modified: 2/10/

Esha Tegar Putra

Korantempo, Minggu, 18 Oktober 2009

SAJAK YANG BERMULA DARI SEPANTUN-SEPANTUN KECIL


sepantun gelapung hanyut

kalau disebut sepantun gelapung, maka hanyut akan teringat batangnya disebut-sebut, buahnya dibiar tiada tujuan

sepantun talang basah

diketuk juga itu talang, di dalamnya miang gatal bersarang di dalamnya bulat air diumpamakan di dalamnya basah tak dapat dikemanakan dan dari kulit luar itu talang bakal dibilah dengan parang

sepantun kopi pahit

kau dengarlah suara-suara yang berbunyi malam maka akan kau pantunkan kopi pahit rasa di lidah hendak dibuang, tapi candu di badan mengharuskan untuk menelan

sepantun benang basah

seringkali benang basah diberi maksud yang salah tak baik dipintal, tak baik diregang, tak baik ditarik ditegakkan

tak ada salah jika dikeringkan, didiang di bumbungan dapur atau diurai dari satu tangkai pohon ke tangkai lain agar gerak angin memberinya maksud lain jadilah benang berguna penyambung kain buruk

sepantun orang buta

jika berlari hendak disuruh, berjalan pun aku dipapah kusebut ini agar kau mematah agak seranting kayu biar aku belajar menyusun langkah

2009

JURU MASAK KAMPUNG

: damhuri

sesekali kau harus pandai menggunakan asam sebagai garam juga empedu sebagai tebu

di bunyi tingkahan sendok gulai dan kuali kau bakal menemu hal yang serupa itu

kau tak paham bagaimana dirinya mengurung mendung agar tak menurunkan hujan (dengan segenggam garam dan percikan buah asam ia lemparkan ke bara dalam tungku sambil merapal entah kalimat apa)

kau juga bakal tak paham bagaimana ia mengendapkan sari tebu ke dalam serat empedu sebab ia lihai meracik bumbu ia tahu di gelegak mana santan menggumpal ia hafal di wangi manakah lada, pala, garda munggu (di mana segala bumbu saling berpadu)

agar suatu kali kau maknai ia sebagai si tua, juru masak kampung yang selalu berkopiah berkain sarung lihai bersiul dan bersenandung pandai mengobat hati yang murung Gunuangpangilun, 2009 Esha Tegar Putra belajar di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas, Padang. Kumpulan puisinya Pinangan Orang Ladang (FramePublishing, 2009)

Iyut Fitra

Sajak Sajak

Kompas,Minggu, 18 Oktober 2009 | 03:02 WIB

Istri Penyair



setiap pagi ia seduhkan hangat sebagai kopi dan matahari. di bawah jendela kembang-

kembang ditanam mulai daun. dan ketika ia ceritakan retak mimpi semalam, penyair

hanya menyapa dengan selembar sajak tua; mengalirlah sebatas impian, meski yang

kita rindu adalah ruang kelengkapan



di meja makan siang beringsut perlahan. panas di ubun tegak tali. lelah yang terasa

ranggas dan gerah yang kekeringan. ia siapkan sebuah perjamuan juga sedikit nyanyian

di bawah jendela kembang-kembang ditanam mulai tunas. terasa wangi mulai ada

tapi penyair hanya berkata; apa pun kenyataan, bertahanlah pada satu keabadian



malam menjadi ujung. selimut dingin terjela di ranjang. ia kisahkan bagaimana rama mencuri sesuatu dari sinta. kemudian ia buka kain pintu sebelum hasrat jadi beku

di bawah jendela kembang-kembang ditanam mulai putik. kumbang dan rerama ada di antaranya. penyair hanya gumam saja; kita kan ada sepanjang pandang terlihat sua



sebelum jatuh larut. ia rasa waktu akan beranjak lamban

“aku tertimbun kata-kata…”



Payakumbuh 2009

Kekasih


seperti kelelawar patah sayap. paruh dan cakar digantung bulan. kemudian kau datang

membawa sarang. berumahlah di tebing ini. di hatiku gerimis dan hujan bersusulan

gulung halimun. langit jadi seputih kapas. tidakkah kaurindu musim bersebadan segera datang? dan begitu saja aku telah memujamu. duhai!



bagai anak kijang berkaki pincang. sepi tersemai di tengah padang. lalu kaugamit

angin ragu arah. singgahlah di rindang ini. kemarau di luar akan panjang. limbubu

berkesiur datang membakar pohon-pohon. hanya lumut lembah di setiap jalan. kau akan

tersesat sebelum hari jatuh petang. dalam gamang, tiba-tiba, aku mencintaimu. o!



semisal rerama dan bebunga. duri-duri merindu darah. setelahnya kaubuka diri untuk

ngilu. hinggaplah di ranting ini. cuaca di tubuhmu rapuh. bunga-bunga kuncup juga

bunga-bunga kembang meliuk meminta warnamu. kau akan kehilangan cinta di setiap

senja. begitulah aku serahkan birahi ke hasratmu. wahai!



semisal aku dan engkau. dua petualang dan juga mungkin dua jurang. kita bertemu

ketika waktu lelah dalam jumlah. malam digelapkan kunang-kunang riang. gigil jua

yang bersandar. kauceritakan tentang sepasang kekasih kesepian di ujung renung

dan tanganku kaugenggam. demikianlah, aku pun berkasih kepadamu. duh!



Payakumbuh 2009


Pergi



kita hanya gerombolan burung-burung gundah, katamu seraya berkemas. kaubawa

segala yang pernah kauberi. di hatiku kemarau tiba-tiba. sebab hujan bermusim

kita tampung kautuang ke dalam malam. bila di selenting ranting pernah bersama

adalah canggah-canggah terasa sepi, dan kau pun berjalan. aku tak bertanya ke mana

tujuan. juga tak berkata tentang luka ditinggalkan



kurasa kini ada palung yang kosong. ada lorong-lorong kosong. bila saja masih aku

bernyanyi dendang lengang, adalah pucuk kehilangan tiada lerai. gerombol burung-

burung bercinta. berpasang kicau-kicau lampau. aku hanya sekejap-kejap singgah

saat tua daun-daun ruruh. aku akan berangkat mencari musim, seolah terngiang

juga kata-katamu sebelum aku dilipat waktu



kini kau telah pergi. tersebab itukah aku menanti?



Payakumbuh 2009


Iyut Fitra lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat. Kumpulan puisinya yang sudah terbit adalah Musim Retak (2006) dan Dongeng-dongeng Tua (2009)

Acep Zamzam Noor

Sajak Sajak

Minggu, 18 Oktober 2009 | 03:02 WIB


Seperti Sebuah Gurau



Seperti sebuah gurau, kau pernah berjanji akan menyayangiku

Dengan sungguh-sungguh. Lalu aku teringat kampung yang jauh

Bukit-bukit gersang di pesisir selatan, lereng-lereng tanpa pepohonan

Serta tenda-tenda pengungsian. Seperti sebuah gurau, kau selalu

Bercerita tentang teman-temanmu yang hilang, tentang becak-becak

Yang ditenggelamkan, juga tentang perubahan yang tak kunjung datang

Kadang kau berang karena melihat masih banyak rumah peribadatan

Yang dibakar, masih banyak fatwa yang dipaksakan, masih banyak

Pembalakan liar, masih banyak aparat yang kurang ajar, sedang teror

Masih terus dimainkan. Kau berang karena keadaan ternyata sama saja

Hukum belum juga ditegakkan, pendidikan semakin mirip perusahaan

Berbeda keyakinan selalu dijadikan masalah besar, sementara korupsi

Dimaklumi sebagai kegiatan sehari-hari. Kadang kau tertawa kecil

Sambil menyelipkan kata-kata cinta, mengulang-ulang ungkapan rindu

Yang tak pernah berubah sejak dulu. Tapi entah kenapa aku sering ragu

Menanyakan di mana tempat tinggalmu, berapa anakmu dan bagaimana

Kesehatanmu? Nampaknya kau pun tak mau tahu apakah orang sepertiku

Masih suka turun ke jalan raya, masih rajin memprotes para penguasa

Atau malah sibuk jatuh cinta? Diam-diam aku berjanji akan mengingat

Semua ucapanmu yang lucu-lucu. Sebagai gurau yang indah


Maut Terus Mengikutiku


buat Sinta Ridwan



Ketika turun dari kereta api, maut seperti mengikutiku

Dari belakang. Ketika memasuki hotel dan memesan kamar

Maut terus saja mengikutiku. Ketika sempoyongan di ruang karaoke

Dan muntah-muntah di halaman kafe, maut terus saja menyertaiku

Ketika meninggalkan Jakarta dan memasuki hutan-hutan di Sumatera

Maut tidak pernah ketinggalan menguntitku. Ketika terbang ke Sulawesi

Berlayar ke Kalimantan dan menyusuri sungai-sungainya yang lebar

Maut menjadi bayang-bayang di sekelilingku. Ketika tenggelam

Diterjang gelombang pasang, mautlah yang mengangkat tubuhku

Ke tepian. Ketika angin puting beliung menyapu kampung-kampung

Maut begitu setia menemani ke manapun aku mengungsi

Ketika gempa dahsyat menggoyang Jawa, maut dengan sigap

Menggamit tanganku. Jika maut terus mengikutiku, terus menguntitku

Lalu siapakah yang sebenarnya kutuju? Aku harus segera berbalik

Dan mengikuti ke manapun maut pergi. Aku harus segera memburu

Ke manapun maut akan berlalu



Kepada Seorang Penyanyi Dangdut



Di tengah melambungnya harga-harga

Suaramu semakin merdu saja



Di tengah membengkaknya hutang negara

Wajahmu semakin cantik saja



Di tengah ruwetnya masalah sosial, politik dan agama

Tubuhmu semakin sintal saja



Di tengah merebaknya teror dan berbagai bencana

Goyanganmu semakin heboh saja



Di tengah langkanya pemimpin yang bisa dipercaya

Kehadiranmu semakin berarti saja



Di tengah terpuruknya kehormatan bangsa

Hargamu semakin melambung saja

M. Raudah Jambak

Lampungpost,Minggu, 18 Oktober 2009

SENI BUDAYA


Syuhada yang Berkendara Gempa

Hari ini dan kemarin adalah hari esok

jalan kita menuju pintupintu surga

masuklah segera

gempa adalah sampan sajadahmu

yang paling gempita para syuhada

naiklah segera

maka, pada hari ini aku hanya bisa menabur

doadoa pada nisanmu yang entah tertanam

di bumi yang mana

Tujuh Koma Enam

Tujuh koma enam dinding itupun luluh lantak

selantak dadaku yang perih, seperih jeritan anak-anak

di bangsi

takpun bisa kuehentikan debar dadaku ini

meski sekejap gelap mata yang merembeskan

butiran kecemasan

kepadamu aku katakan, akan kubangun dinding baru

di dadamu dari padat batu yang masih tersimpan

di bara dadaku

maka, terimalah

Dari Sebuah Wasiat Singkat

Aku kehilangan kata-kata ketika kau wasiatkan

berjuta kata yang tak sempat kusimpan

yang kau kirimkan dari sebuah pesan

pilu hatiku menyimpan lemari kata-katamu

yang terbenam batu-batu sepenuh gunung debu

memadat, memekat

dan dari sebuah wasiat singkat yang kau amanatkan

akan kukirimkan tanda beribu bunga doa

di atas sajadah pada makammu yang tak bertanda

Kepada Para Pengusung Doa

Tahlilku tahlil sederhana mengiringi doadoa

yang menebar memenuhi semesta raya

mengetuk dadadada berlumur duka

tahmidku tahmid sederhana membunga doadoa

pada sekujur tubuh yang pasrah tak berdaya

dalam banjir air mata

tasbihku tasbih sederhana mengusung doadoa

yang tak pernah berhenti mengharap

demi sampai kepada bingkai cerita

Bayi Kardus

Takkan kulepaskan kehangatan semacam ini

sebab, waktuku memang untuk untuk itu

berpeluk pada kenistaan dan keniscayaan

tak usah kalian menjaring air mataku

dan menampungnya dalam kolam

kepura-puraan

tak kurasakan kepedihan apalagi duka

sebab, aku hanya hampa dari kedukaan

yang tercipta dan diciptakan secepat

peluru dari sudut mata kalian yang hina

dibungkus yang menahun setua

kepengecutan

medan, 2009

M. Raudah Jambak, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Beberapa karya masuk dalam beberapa antologi, seperti Tanah Pilih (antologi puisi Temu Sastrawan Indonesia I) dan Jalan Menikung ke Bukit Timah (antologi cerpen Temu Sastrawan Indonesia II).

Minggu, 11 Oktober 2009

CERPEN Putu Wijaya

Kucing

Koran Tempo, Minggu,11 Oktober 2009

KAMI bertengkar lagi. Menurut saya, tetap tiga hari sekali. Tidak bisa diganggu-gugat. Sekali-sekali boleh empat hari sekali. Tapi jangan sampai satu minggu sekali. Meskipun ini bulan puasa. Itu kan kebutuhan rohani.

Tapi dasar kepala batu. Satu minggu satu kali saja sudah kebanyakan, katanya dua minggu sekali cukup. Orang lain ada yang sebulan sekali. Apalagi di bulan suci. Kalau tidak setuju terserah.

Setuju? Bagaimana mungkin saya setuju? Mestinya dia harus bersyukur, sebab setelah puluhan tahun, saya masih tetap fit. Saya selalu hangat, segar dan bertubi-tubi seperti prajurit yang siap menyerahkan jiwa raga untuk membela negara. Tidak ada kata bosan. Semuanya seakan yang pertama kali. Itu kan karunia yang harus disyukuri.

Tapi kontrak tidak bisa hanya satu pihak. Saya jadi pusing tujuh keliling. Lalu saya ngelencer ke segala penjuru kota membunuh waktu. Menunggu saat berbuka, saya masuki toko-toko buku. Mencari-cari yang tak ada. Akhirnya saya beli juga sepuluh buku tua yang harganya jatuh. Bukan karena isinya sudah busuk, tapi karena kalah heboh oleh promosi buku-buku komoditi yang sebenarnya bermutu sampah.

Menggendong seabrek belanjaan yang mungkin tidak akan pernah saya baca itu, saya seberangi Jakarta. Lalu-lintas sudah makin brengsek. Janji untuk menurunkan rasa nyaman bagi pejalan kaki ternyata omong kosong semua. Motor berseliweran siap membunuh pejalan kaki yang meleng. Dan mobil-mobil seakan-akan begitu meremehkan harga manusia.

Tapi, saya masih bisa tepat sampai di depan rumah, ketika suara azan magrib terdengar. Cepat saya rogoh kunci dari saku dan buru-buru masuk rumah. Teh kental manis panas, di bulan puasa, lebih indah dari rubayat Omar Khayyam. Puasa adalah bulan yang paling saya tunggu dalam setahun. Itulah saat saya merasakan nasi adalah nasi, pisang goreng benar-benar pisang goreng, dan kehidupan, betapa pun rewelnya, adalah sebuah puisi.

Celakanya, rumah kosong. Saya baru ingat, istri dan anak saya ada janji berbuka di rumah saudaranya. Tak apa. Hanya saja saya tidak melihat ada sesuatu di atas meja makan. Ada vas bunga dengan bunga mawar. Tapi saya tidak bisa menenggak mawar. Saya memerlukan sesuatu yang hangat mengalir di tenggorokan setelah menahan nafsu selama 12 jam.

Harusnya saya tidak usah buru-buru pulang. Makan saja di warung sate kambing muda di Cireundeu. Sekarang kalau balik ke situ, tidak akan keburu. Dibayar dua kali lipat juga tukang taksi tidak akan mau jalan. Mereka juga mau menikmati buka.

Dengan kesal saya lemparkan buku-buku ke atas meja. Saya kenakan kembali sepatu. Siap untuk kabur. Biar saya makan enak sendirian di PIM. Mengganyang bebek goreng yang harganya selangit itu. Seratus ribu melayang juga tak apa asal tidak kecewa. Dan kalau perlu terus nonton bioskop.

Tapi ketika mau menutup pintu, saya dengar ada suara kucing mengeong. Saya bukan penggemar kucing, tapi saya paham sedikit bahasa kucing. Itu bukang ngeong kucing yang sedang kasmaran. Itu kucing yang sedang keroncongan. Kucing memang selalu kelaparan. Tapi itu ngeong kucing yang ngebet makan sesuatu, tetapi tak berdaya.

Dengan hati-hati saya kembali masuk rumah. Saya temukan kucing tetangga mengeong di dapur. Dia meratap lembut di depan almari. Matanya sayu. Ketika saya muncul, dia terus saja mendayu-dayu sambil mencakar-cakar almari, seperti menunjukkan, di situ, di situ.

Saya ikuti petunjuknya, lalu membuka almari. Begitu daun almari terbuka, hidung saya diterjang bau ikan bakar rica-rica yang sedap sekali. Saya lihat juga ada termos dan gelas kosong dengan bubuk teh tarik sasetan di dalamnya. Tinggal diseduh saja.

Ngeong, kucing itu nyeletuk, seperti mengatakan. Nah ya, kan?

Benar, kata saya sambil membelai kucing itu dengan sayang. "Kalau kamu tidak merintih-rintih kawan, aku tidak akan tahu istriku sudah menyiapkan segala yang terbaik buat suaminya sebagaimana mestinya seorang istri yang bertanggung jawab. Terima kasih, Cing. Untung ada kamu. Kalau tidak, aku tidak pernah tahu aku sudah punya semua ini. Kau sudah menyelamatkan seratus ribu, mungkin dua ratus ribu lebih, yang mau disikat kas bebek goreng penganut neoliberalisme itu!"

Kucing menggesek-gesekkan kepalanya manja ke tangan saya.

"Oke, aku tidak jadi marah, mari kita nikmati hidup ini!" kata saya sambil meletakkan kucing itu di lantai.

Saya buka sepatu. Kemudian menjerang teh tarik. Nikmatnya. Setelah marah-marah, tendangan rasa teh berlipat ganda. Apalagi istri saya tidak lupa menyediakan musuh yang serasi: singkong yang sudah dibalur bumbu sebelum digoreng.

Makanan tradisional dengan bahan baku langsung dari kebun, lebih sehat, lebih aman, lebih murah dan lebih nikmat dari makanan kalengan keluaran pabrik mana pun. Tidak memberi jedah lagi, saya siap mengganyang ikan bakar rica-rica, untuk menghargai karya istri itu.

Tapi begitu menoleh, saya terperanjat. Rica-rica itu sudah lenyap. Pintu almari yang belum sempat saya tutup, seperti kecewa. Mata saya jelalatan mencari kucing. Ternyata sambil mengeram-ngeram, durjana itu mengganyang ikan saya di bawah meja, di depan mata si pemiliknya.

Darah saya langsung mendidih.

"Bangsat!"

Kucing itu terkejut. Sambil melotot, dia caplok ikan itu untuk dibawanya kabur. Tangan saya menyambar buku, lalu menembak, tepat mengenai badannya. Hewan itu terjungkal, lalu lari keluar. Ikan rica-rica saya terkapar berserakan di lantai. Tak penting lagi. Saya harus hajar maling itu. Saya sabet sapu dan memburu keluar.

Kucing itu ternyata masih duduk di depan pintu menjilat-jilat kakinya, seperti menunggu kesempatan masuk. Saya geram dan memukul. Kena. Lalu saya tendang dia ke halaman. Waktu mau dihajar lagi, piaraan tetangga itu ngibrit lari menyeberang jalan menuju ke rumah tuannya. Marah saya masih meluap.

Saya masuk ke dalam rumah. Lalu rica-rica itu saya campakkan ke tong sampah. Saya tidak sudi makan bekas kucing. Tapi kemudian saya ambil lagi. Saya bungkus baik-baik. Saya buang jauh-jauh dalam perjalanan ke restoran bebek goreng di PIM. Saya bunuh rasa kecewa dengan berfoya-foya dengan 200 ribu, memperbaiki sore hari yang rusak itu. Tetapi rasa dongkol itu tak berkurang.

***

PAGI-PAGI ada kejutan lagi. Pak RT berkunjung ngajak ngomong serius.

"Saya kira di bulan Ramadhan ini, kita semua harus bisa menahan diri, Pak," katanya.

"Maksud Pak Haji?"

"Saya mendapat komplain dari Pak Michael, tetangga Bapak. Bapak sudah menzolimi mereka."

"Menzolimi bagaimana?"

"Beliau terpaksa membawa kucingnya ke dokter, karena Bapak pukul. Apa betul?"

"O, ya, kalau itu betul!"

"Maaf, Bapak mungkin tidak suka dengan kucing, tapi pak Michael itu lebih sayang pada kucing daripada anak-anaknya sendiri."

"O begitu?"

"Ya. Jadi saya kira, Bapak mengerti kenapa beliau sangat terpukul oleh kejadian ini. Untung tidak perlu operasi. Tapi sekarang kucingnya pincang, Pak."

"Masih untung hanya pincang, kucing itu mestinya harus mati karena makan rica-rica saya yang disiapkan untuk buka puasa."

"Namanya juga kucing, Pak. Makanya jangan meletakkan makanan terbuka di meja."

"Dia curi dari almari!"

"Apa kucing bisa membuka almari, Pak."

"Ya kebetulan pintunya saya lupa tutup."

"Ya kalau pintu lupa ditutup, itu bukan salah kucingnya, Pak."

"Salah siapa? Salah saya?"

"Kucing itu binatang, Pak, tidak bisa disalahkan. Kita yang memiliki kesadaran yang bersalah."

"Wah itu tidak adil! Kalau ada pencuri mencuri barang saya, meskipun saya lupa mengunci almari, pencuri itu harus dihukum, karena perbuatan mencuri itu melanggar hukum!"

"Memang begitu, Pak."

"Terus Pak RT mau nyuruh saya ngapain? Minta maaf sama Pak Michael karena saya sudah memukul kucingnya? Tidak! Terima kasih. Kalau disuruh membayar perawatan kucing itu ke dokter, saya bayar, tapi kalau minta maaf, sori, itu bukan gaya saya, bukan salah saya kan?"

"Memang itu maksud beliau."

"Apa?"

"Beliau menuntut Bapak mengganti ongkos berobat kucingnya."

Pak RT merogoh saku dan mengeluarkan kuitansi. Saya terperangah. Minta ampun. Jumlah yang ada di dalam kuitansi itu membuat istri saya ikut terbakar.

"Kami bukannya tidak punya duit pak RT," kata istri saya yang memang cepat naik darah, "tapi ini soal keadilan. Masak kami disuruh mengongkosi kucing ke dokter padahal binatang itu sudah mencuri rica-rica suami saya? Itu keterlaluan. Kalau perlu ke pengadilan, kita ramein di pengadilan sekarang supaya jelas! Kita ini masih negara hukum, kan?"

Pak RT termenung. Diam-diam saya mengucap syukur. Kucing bangsat itu sudah membuat saya dan istri saya kompak lagi.

"Baiklah," kata Pak RT kemudian, "demi menjaga ketenteraman kita bersama dan agar tidak merusakkan kekhusyukan bulan Ramadhan, saya carikan jalan tengahnya. Begini. Biarlah ongkos perawatan kucing itu saya yang menanggung. Tapi izinkan saya untuk mengatakan kepada Pak Michael, semua itu dari Bapak. Jadi hubungan keluarga Pak Michael dan keluarga Bapak-Ibu di sini tetap terpelihara. Bagaimana kalau begitu?"

"Kenapa jadi begitu, Pak RT?"

"Ya sebagai RT saya merasa bertanggung jawab untuk mengusahakan perdamaian di antara warga."

Saya dan istri saya bisik-bisik.

"Kalau sampai pak RT yang bayar, rasanya kita malu juga," bisik saya.

"Memang. Habis Pak RT kita terlalu baik sih. Seperti nabi saja."

"Jadi kita bayar saja?"

"Ya sudahlah, demi Pak RT, biar tidak berkepanjangan!"

Akhirnya ongkos kucing itu ke dokter kami bayar kontan. Pak RT memuji kekompakan kami. Saya pun sekali lagi bersyukur, kucing itu sudah berjasa menjaga keutuhan rumah tangga saya. Kalau tidak ada dia, sampai sekarang saya masih cakar-cakar dengan istri soal tiga kali sekali atau dua minggu sekali.

Kami terpaksa mengeluarkan 200 ribu untuk biaya kucing itu. Jumlah itu cukup besar, tapi tak pernah saya sesali. Sebab sejak saat itu, kucing itu tidak pernah lagi berani masuk ke dalam rumah saya. Apalagi mencuri. Kalau lewat, dia terus saja berjalan lempeng, tak sudi atau tak berani menoleh.

***

SEKALI pernah saya lupa menutupkan pintu. Padahal di meja makan sedang ada ayam goreng yang bau harumnya muntah sampai keluar rumah. Kucing itu pura-pura menjilat-jilat kakinya yang masih pincang. Kemudian dia berhenti dan memandang ke dalam. Tapi hanya memandang. Sama sekali tidak berani masuk. Kakinya yang pincang itu sudah membelajarkan dia untuk menghormati hak saya, sekali pun dia hanya binatang.

"Jadi kalau ada kucing lewat dekat rumah, tidak peduli kucing siapa. usir saja," kata saya mengindoktrinasi anak saya yang baru berusia 5 tahun.

"Kenapa?"

"Karena kalau dibiarkan, dia akan jadi maling! Paling tidak berak seenaknya. Kamu tahu sendiri kan, kotoran kucing itu bau, sulit hilang!"

"Kalau nggak mau?"

"Hajar dengan batu!"

"Semua kucing?"

"Tidak semua kucing jahat. Tapi kita tidak ada waktu untuk menyeleksi mana yang jahat mana yang bijaksana. Pukul rata saja, semuanya maling."

"Kenapa?"

"Seperti kata George Washington, hanya senjata yang bisa dipakai untuk menjaga perdamaian."

"Kenapa?"

"Karena hanya kekerasan yang akan bisa mencegah kekerasan. Biar pintu terbuka, almari lupa ditutup, kucing itu tidak akan berani lagi masuk, karena dia terpaksa menghormati kita. Dia pasti tidak akan mau lagi mengeluarkan 200 ribu untuk mengobati kakinya yang satu lagi, karena Bapak akan mematahkan kakinya yang satu lagi."

Lalu saya tunjukkan bagaimana saya mengajari kucing itu dengan melempar buku. Rupanya buku-buku itu memang ditakdirkan aku beli untuk menghajar maling.

"Jangan mengajari anak kamu kejam!" protes istri saya.

"Lho, hidup ini sudah kejam. kok. Kalau kita tidak ikut kejam, kita akan selalu jadi sasaran. Sebenarnya ini bukan kekejaman, tetapi ketegasan saja. Supaya tidak ada peluang orang lain untuk kejam terhadap kita, kita harus tegas. Kita tunjukkan kita bisa kejam!"

"Itu kan teori kamu!"

"Boleh dites, tapi itu berarti kita harus masak rica-rica lagi!"

Istri saya melengos tak menanggapi. Tapi dia perempuan yang baik. Dia tidak sampai hati membiarkan dendam saya pada rica-rica berkelanjutan. Sehari setelah saya sambat, ikan rica-rica itu sudah menanti di atas meja menjelang waktu waktu buka.

Dengan tak sabar saya tunggu ceramah Pak Quraish Shihab di TV yang dipandu oleh si cantik Inneke Kusherawati. Sekali ini rasanya lama sekali. Bau rica-rica itu sudah mencabik-cabik.

"Lihat kucing itu sudah bengong di situ!" kata istri saya menunjuk keluar jendela. "Nggak bakalan ada kapoknya. Namanya juga binatang!"

Saya ngintip. Kucing itu memang lagi termenung di pagar rumah. Tapi itu jelas akting. Dia pasti sudah mengendus bau rica-rica yang sudah sempat membuat kakinya pincang.

"Tutup jendelanya, Pak!"

"Tidak usah. Ini saatnya untuk melihat apa rumah kita ini masih dia hormati?"

Sebaliknya dari menutup jendela, daun jendela saya kuakkan lebar-lebar. Pintu dibuka. Saya pura-pura tak menyadari kehadiran kucing itu. Ikan rica-rica itu saya pajang di atas meja di teras, tanpa ditutupi. Saya ingin membuktikan, apakah kucing itu masih memiliki nyali.

"Aneh!" kata istri saya.

Saya tidak peduli. Saya ingin membuktikan kebenaran teori presiden pertama Amerika Serikat itu.

Begitu azan magrib terdengar, kucing itu makin gelisah. Ia tak putus-putusnya melongok ke arah meja di teras. Kelihatan nafsunya bergolak. Tapi pelajaran yang sudah diterimanya tak membiarkan dia bergerak lebih jauh dari pagar. Sebaliknya, meninggalkan pagar pun dia tidak mau. Rica-rica itu memang terlalu indah untuk ditinggalkan.

"Mau makan atau mau ngurus kucing makan?" bentak istri saya kesal.

"Stttt! Lihat, aku sudah berhasil menghajar binatang itu bagaimana menghormati wilayah kita!"

"Ntar ikannya disambar lagi, baru nyesel!"

"Nggak bakalan!"

"Namanya juga kucing!"

"Tidak mungkin! Kakinya yang pincang itu, sudah membuat dia ngeper sendiri!"

Tapi tiba-tiba anak saya yang kecil muncul dari samping. Dia membawa batu mau melempar binatang itu, sesuai dengan yang saya ajarkan. Kucing itu cepat berbalik. Ternyata dia tidak takut. Kakinya yang cidera seperti mendadak sembuh. Dia membungkuk menanti serangan. Anak saya tak menyadari bahaya, terus mendekat dengan batu di tangan yang siap dilemparkan.

Dan kucing itu menerjang.

"Pak!" teriak istri saya.

Saya langsung nongol di jendela. Belum sempat berteriak, kucing itu sudah kaget melihat muka saya. Dia kontan membatalkan serangannya, lalu melompat ke jalan dan kabur. Tapi sebuah mobil yang meluncur cepat menerima lompatannya. Kucing itu tergilas.

Saya terpaku. Takjub melihat pemilik mobil itu sudah membunuh piaraan kesayangannya sendiri. Untung saya belum sempat teriak. Cepat-cepat saya beri isyarat istri saya supaya membawa anak kami masuk.

***

MALAM hari kami lebih cepat menutup pintu dan mematikan lampu. Saya tahu Pak Michael pasti sedang uring-uringan. Saya menghindari pertengkaran. Masak bulan suci harus berkelahi karena soal kucing.

Esoknya, seperti yang sudah diduga, Pak RT muncul. Saya lebih dulu menegur.

"Bulan Ramadhan tidak boleh mengumbar emosi kan, Pak RT?"

Pak RT tersenyum seperti kena sindir.

"Betul, Pak. Tapi kalau terpaksa apa boleh buat."

"Lho boleh?"

"Habis kalau nyolong melulu?"

Saya tertegun.

"Siapa Pak RT?"

"Siapa lagi! Almarhum!"

"Almarhum siapa?"

"Kucing yang Bapak bunuh itu."

Saya tertegun. Pak RT tersenyum.

"Saya tidak membunuh kucing itu! Kan yang punya sendiri yang menggilasnya!"

"Ya untungnya begitu. Tapi sebenarnya dia sudah mati sejak Bapak mematahkan kakinya."

Saya tidak menjawab.

"Sejak kakinya patah, kucing itu tidak berani lagi sembarangan masuk ke rumah. Bukan hanya rumah Bapak, juga rumah saya dan rumah-rumah yang lain. Dan sejak itu pula, tak ada yang pernah kehilangan ayam atau makanan lain dari meja secara misterius. Rupanya selama ini kucing itu biang keroknya. Sekarang kita aman."

"O ya?"

Pak RT senyum lagi.

"Ya."

"Kalau begitu bagus dong."

"Bagus."

"Jadi kita aman sekarang. Tidak ada aman, tidak ada tai kucing?"

"Ya. Untuk sementara."

"Sementara?"

"Untuk sementara."

"Kenapa?"

"Sebab Pak Michael sudah membeli tiga ekor kucing lagi untuk mengganti kesayangan istrinya itu. Habis istrinya nangis terus kehilangan kucingnya."

Saya terhenyak.

"Berarti kita harus melakukan pembunuhan lagi?"

Pak RT tertawa.

"Tidak usah. Cukup biasakan mengunci pintu dan almari dapur."

"Dan mematahkan kakinya pada kesempatan pertama dia mencuri?"

"Betul!"

"Sebab kalau dibiarkan atau dimaafkan, dia pasti akan mengulang dan lama-lama jadi penyakit!"

"Betul."

Saya tertawa.

"Kalau begitu kita kawan, Pak RT."

Saya mengulurkan tangan. Lalu kami berjabatan.

"O ya, saya lupa,"kata Pak RT sambil merogoh kantongnya, lalu mengulurkan selembar kuitansi. Darah saya tersirap.

"Apa ini?"

"Menurut Pak Michael yang membunuh kucingnya itu Bapak. Bapak diminta dengan sangat mau mengganti pembelian ketiga kucing yang baru dibelinya itu."

Pak RT lalu begitu saja meninggalkan saya. Seakan-akan tidak ada sama sekali keanehan dalam peristiwa itu. Saya bingung. Tiba-tiba saya jadi pembunuh yang harus dihukum. Mana jiwa nabi serta kebesaran pak RT yang dulu kelihatan begitu tebal untuk menjaga kesejahteraan warga? Kenapa saya dianggap pantas menerima pemutarbalikan yang kacau itu?

Manusia dan binatang sama saja, teriak saya dalam hati. Lalu saya kejar Pak RT ke rumahnya. Saya ulurkan kuitansi itu ke mukanya. Supaya ia menatap dengan baik, bukan jumlah yang tertera di sana yang membuat saya mabuk, tetapi maknanya. Hakikatnya. Dan tanpa bicara sepatah kata pun, saya robek kuitansi itu di depan matanya menjadi potongan-potongan kecil.

Jakarta, 6 September 2009
(sesudah berita Pulau Jemur)
Putu Wijaya menulis novel, novelet, cerita pendek, dan naskah sandiwara. Ia juga aktor dan sutradara.

CERPEN Agus Noor

Pemetik Air Mata

Kompas,Minggu, 11 Oktober 2009

Mereka hanya muncul malam hari. Peri-peri pemetik air mata. Selalu datang berombongan— kadang lebih dari dua puluh—seperti arak-arakan capung, menjinjing cawan mungil keemasan, yang melekuk dan mengulin di bagian ujungnya. Ke dalam cawan mungil itulah mereka tampung air mata yang mereka petik. Cawan itu tak lebih besar dari biji kenari, tapi bisa untuk menampung seluruh air mata kesedihan di dunia ini. Saat ada yang menangis malam-malam, peri-peri itu akan berkitaran mendekati, menunggu air mata itu menggelantung di pelupuk, kemudian pelan-pelan memetiknya. Bila sebulir air mata bergulir jatuh, mereka akan buru-buru menadahkan cawan itu. Begitu tersentuh jari-jari mereka yang ajaib, setiap butir air mata akan menjelma kristal.

Mereka tinggal di ceruk gua-gua purba. Ke sanalah butir-butir air mata yang dipetik itu dibawa. Di selisir ulir batu alir, di antara galur batu kapur berselubung tirai marmer bening yang licin dan basah, di jejulur akar-akar kalsit yang bercecabang di langit-langit stalagtit, peri-peri itu membangun sarang. Butir-butir air mata itu ditata menjadi sarang mereka, serupa istana-istana kecil yang saling terhubung jembatan gantung yang juga terbuat dari untaian air mata. Di langit-langit gua itu pula butir-butir air mata itu dironce terjuntai menyerupai jutaan lampu kristal yang berkilauan.

Seorang pencuri sarang walet menemukan tempat peri-peri pemetik air mata itu tak sengaja. Setelah berhari-hari menyelusup celah gua, ia merasakan kelembaban udara yang tak biasa, hawa yang membuat kuduknya meriap, dan menyadari dirinya telah tersesat dan tak akan lagi melihat dunia karena setiap kali bersikeras mencari jalan keluar ia justru merasa semakin mendekati kematian. Kesepian gua itu begitu hitam dan mengerikan. Bahkan kelelawar, ular dan lintah pun seperti memilih menjahuinya. Sayup jeritan dan gema kelepak ribuan walet seperti berada di dunia yang berbeda. Semua suara seperti lesap—bahkan ia tak mendengar suara napasnya sendiri—dan ia merasakan betapa udara tipis dan bau memualkan yang bukan berasal dari tumpukan kotoran kelelawar atau lumpur belerang membuatnya limbung dan perlahan-lahan seperti mulai mengapung.

Saat kesadarannya seperti terisap, lamat-lamat didengarnya tangisan yang begitu gaib, menggema dari palung gua. Sampai kemudian ia menyadari betapa tangisan itu berasal dari butir-butir kristal bening yang menempel dan bergelantungan nyaris memenuhi seluruh langit-langit stalagtit di mana ribuan peri mungil tampak beterbangan lalu lalang. Pada saat-saat tertentu butir-butir kristal air mata itu memang memperdengarkan kembali kesedihan yang masih tersimpan di dalamnya. Tak ada yang bisa menghapus kesedihan bukan, bahkan ketika kesedihan itu telah menjelma kristal? Di lambung gua itu bergaung jutaan tangisan yang terdengar bagaikan simfoni kesedihan yang agung.

Ketika akhirnya lelaki pencuri sarang walet itu meninggalkan jazirah peri dan menemukan jalan pulang, ia membawa sekarung kristal air mata yang kemudian dijualnya eceran. Kristal-kristal air mata itulah yang kini banyak dijajakan di pinggiran dan perempatan jalan.

Sandra tak percaya cerita itu. Meski ia sering melihat para pengasong menjajakan kristal air mata itu. Sering mereka mengetuk-ngetuk kaca mobilnya, setengah memaksa.

”Air mata, Bu? Murah... Seribu tiga, Bu… Seribu tiga…”

Dulu, semasa kanak, setiap kali melihat Mamanya diam-diam menangis, Sandra selalu berharap peri-peri pemetik air mata itu muncul. Mamanya memang sering menangis terisak malam-malam. Ia pun selalu menangis bila melihat Mamanya menangis. Tapi Sandra berusaha menahan tangisnya karena Mamanya pasti akan langsung membentak bila tahu ia menangis. ”Jangan cengeng anak setan!” Kadang teriakan itu disertai lembaran kaleng bir yang segera bergemerontangan di lantai yang penuh puntung dan debu rokok. Rumahnya memang selalu berantakan. Selalu ada pakaian dalam Mamanya yang berceceran begitu saja di lantai. Tumpahan bir di meja, bercak-bercak sisa muntahan di pojokan, botol-botol minuman yang menggelinding ke mana-mana. Kasur yang selalu melorot seprainya. Bantal- bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus- menerus mendengkur, bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah.

Suara Mama memang nyaris selalu membentak. Pernah sekali Sastra bertanya soal Papanya, tetapi ia langsung disemprot mulutnya yang berbau alkohol, ”Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik Kucing dengan Papa!” Meski begitu Sandra tahu kalau sesungguhnya perempuan itu menyayanginya. Bila pulang setelah pergi berhari-hari—Mamanya memang selalu pergi berhari-hari keluar kota atau entah ke mana, kadang mendadak pergi terburu-buru begitu saja malam-malam setelah menerima pager—selalu ada oleh-oleh menyenangkan untuk Sandra. Sering boneka. Tapi Sandra lebih senang bila ia dioleh-olehi buku cerita.

Sering, bila hari Minggu, Mamanya juga mengajaknya jalan-jalan. Membelikannya baju, mengajak makan kentang goreng atau ayam goreng. Saat Sandra menikmati es krim, perempuan itu tampak selalu menatap dengan mata penuh cinta. Tanpa sadar ia akan bergumam, ”Sandra, Sandra….” Sambil membersihkan mulut Sandra yang belepotan.

Tapi saat-saat paling menyenangkan bagi Sandra adalah saat perempuan itu membacakannya cerita dari buku berbahasa Inggris dengan gambar-gambar berwarna. Kadang tanpa sadar di tengah-tengah cerita yang dibacakannya, air mata Mamanya menetes.

”Kenapa Mama menangis?”

”Tidak, Sandra… Mama tidak menangis.”

”Kenapa manusia bisa menangis, Mama?”

”Karena manusia diciptakan dari kesedihan.”

”Kenapa mesti ada kesedihan, Mama?”

”Diamlah. Jangan cerewet. Atau Mama hentikan bacanya!”

Lalu Mama kembali membacakan cerita tentang peri-peri pemetik air mata.

Pada mulanya adalah sebutir air mata. Saat itu Tuhan begitu sedih dan kesepian, hingga meneteskan sebutir air mata. Dari sebutir air mata sejernih putih telur itulah tercipta semesta, hamparan kabut, langit lakmus yang belum dihuni bintang-bintang, makhluk-makhluk gaib, pepohonan dan sungai-sungai madu. Kemudian, pada hari ke tujuh, barulah terbit cahaya. Dari sebutir air mata itu pula muncul sepasang manusia pertama. Karena tahu manusia akan mengenal kesedihan, maka sebelum menciptakan maut, Tuhan menciptakan lebih dulu peri-peri pemetik buah kesedihan. Saat itu memang ada tumbuh Pohon Kesedihan, yang buah-buah bening segarnya selalu bercucuran dari ranting-rantingnya. Setiap kali datang musim semi, peri-peri itulah yang selalu memetiki buah-buah kesedihan yang telah ranum, yang membuat manusia tergoda menikmatinya.

Saat manusia sedih karena harus pergi dari surga, peri-peri pemetik air mata turun menyertai. Maka, sejak saat itu, bila ada manusia menangis malam-malam, peri-peri itu akan muncul dan memetik air matanya yang bercucuran.

Setiap kali mendapati Mamanya menangis, Sandra pun berharap peri-peri pemetik air mata itu muncul. Ia tahu peri-peri itu bisa menghapus kesedihan dari mata Mamanya. Tapi Sandra tak pernah melihat peri itu muncul, dan Mamanya terus terisak menahan tangis, sembari kadang-kadang memeluk dan dengan lembut menciumi Sandra yang pura-pura tertidur pulas. Setiap malam Sandra memang selalu pura-pura bisa tertidur lelap, terutama bila ada laki-laki entah siapa datang ke rumahnya. Sandra tak pernah lupa ketika suatu malam Mamanya pelan-pelan memindahkannya ke kolong ranjang dan mengira ia sudah tertidur, padahal ia bisa mendengar suara lenguh Mamanya dan laki-laki itu di atas ranjang. Juga suara dengus sebal Mamanya ketika akhirnya laki-laki itu mendengkur keras sekali. Di kolong ranjang Sandra terisak pelan, ”Mama... Mama….” Pipinya basah air mata.

Bahkan saat itu peri-peri pemetik air mata yang diharapkannya tak pernah muncul. Itulah sebabnya ia tak percaya.

Tapi Bita, anak semata wayangnya, punya beberapa butir kristal air mata itu. Dia membelinya dari seorang pedagang mainan di sekolahnya. Cerita tentang pencuri sarang walet yang menemukan koloni peri itu pun didengarnya dari Bita. Kata anaknya yang berumur 10 tahun itu, cerita itu dia dengar langsung dari penjual kristal air mata itu.

”Itu bohong, sayang…”

”Kenapa penjual itu mesti bohong, Mama? Ini memang air mata beneran, kok. Cobalah Mama dengerin, kadang-kadang ia mengeluarkan tangisan.” Lalu Bita berceloteh riang, kalau kawan-kawan sekolahnya juga banyak yang membeli butir-butir kristal air mata itu untuk dikoleksi. ”Semua anak laki-laki di sekolah sekarang enggak suka lagi adu jangkrik. Saat istirahat, mereka lebih suka mengadu kristal-kristal air mata miliknya. Kristal air mata yang mengeluarkan tangisan paling panjang dan paling menyedihkan yang menang.”

Bita menyimpan koleksi kristal air matanya di kotak kecil, dan selalu menaruhnya di sisi bantal tidurnya. Kadang Bita terbangun ketika didengarnya kristal-kristal air mata itu mengeluarkan tangisan. ”Bita senang mendengar tangisan mereka yang merdu, Mama,” katanya. ”Apa Mama juga suka menangis kalau malam?”

Tidak, tidak—tapi Sandra tak mengucapkannya.

”Apakah kalau Bita menangis, peri-peri itu juga akan muncul, Mama?”

Sandra mencoba tersenyum.

”“Sekarang tidurlah,” Sandra berusaha menghentikan percakapan, kemudian dengan lembut menyelimuti dan mencium keningnya. Baru saja beranjak hendak keluar kamar, terdengar suara Bita,

”Apa besok Papa jadi ngajak Bita jalan-jalan?”

Sandra tersenyum. ”Nanti Mama tanyakan Papamu, ya. Kamu kan tahu, Papamu sibuk.…”

Lalu mematikan lampu.

Suaminya tengah berbaring di ranjang ketika Sandra masuk. Senyumnya masih tetap memikat seperti saat pertama kali Sandra melihatnya, ketika suatu malam ia menyanyi di sebuah kafe. Senyum yang membuatnya jatuh cinta. Ia bukannya tak berdaya oleh senyum itu. Namun senyum itu sejak mula memang telah membuatnya percaya, bahwa ia akan menemukan hidup yang lebih baik. Sandra memang tak ingin nasibnya berakhir celaka seperti Mamanya: digeroti penyakit kelamin saat tua dan ditemukan mati tergorok di losmen murahan.

Tidak. Tidak. Sandra tidak ingin seperti Mamanya. Bahkan Sandra tahu kalau Mamanya tak pernah menginginkan ia menjadi seperti Mamanya. Sandra selalu ingat, dulu, di saat-saat Mamanya begitu tampak mencintainya, perempuan itu selalu mendekapnya erat-erat sembari sesekali berbisik terisak, ”Berjanjilah pada Mama, kamu akan menjadi wanita baik-baik, Sandra.”

”Seperti Mama?”

”Tidak. Kamu jangan seperti Mama, Sandra. Jangan seperti Mama….”

Sandra merasa hidupnya jauh lebih beruntung dari hidup Mamanya karena punya suami yang mencukupi hidupnya. Bagaimana pun suaminya memang laki-laki penuh perhatian yang pernah dikenalnya. Setidaknya dibanding puluhan laki-laki yang hanya iseng terhadapnya.

Berbaring di ranjang, hanya dengan selimut di bawah pinggang, suaminya terlihat segar. Hmm, pasti habis mandi air hangat, batin Sandra. Itu berarti laki-laki itu memang menginginkannya malam ini. Sandra segera meredupkan lampu, membuka gaunnya, dan bersijengkat naik ke ranjang. Bau harum tubuh laki-laki itu merangsanya untuk menciuminya. Ia hafal dengan denyut otot laki-laki itu yang perlahan meregang. Sandra ingin selalu membuat laki-laki itu betah bersamanya.

”Kamu menyenangkan sekali malam ini,” desah laki-laki itu tersengal, setelah lenguh panjang dan berbaring lemas memeluk Sandra.

”Makanya kamu nginep saja malam ini. Biar besok sekalian ngajak Bita jalan-jalan.”

Ketika laki-laki itu hanya diam, Sandra tahu kalau ia telah meminta yang tak mungkin laki-laki itu penuhi. Selama ini mereka memang sepakat, Sandralah yang akan mengurus Bita. Mengantar jemput ke sekolah. Menemani jalan-jalan atau pergi makan. Dan Sandra selalu mengatakan ”Papamu sibuk…” setiap kali Bita bertanya kenapa Papa enggak pernah ikut?

Sandra tahu malam ini laki-laki itu pun harus pergi. Sandra sudah terbiasa dengan pertemuan-pertemuan yang cuma sebentar seperti ini. Tapi ketika selepas jam 2 dini hari Sandra mendengar derum mobil laki-laki itu keluar rumahnya, ia benar-benar tak kuasa menahan air matanya. Dulu, saat ia seusia Bita, Sandra selalu pura-pura tertidur ketika ada laki-laki keluar masuk rumahnya. Apakah Bita kini juga pura-pura tak mendengar suara mobil itu pergi?

Sandra ingin semua ini akan berjalan baik seterusnya. Ia berusaha serapi mungkin menyembunyikan. Ia tak ingin Bita sedih. Ia ingin Bita menikmati masa-masa sekolahnya dengan nyaman dan tak cemas menghadapi pelajaran mengarang. Sandra kembali merasakan saat-saat paling sedih masa kanak-kanaknya, saat ia tahu kalau ibunya pelacur. Sungguh, ia tak ingin Bita tahu, kalau ibunya hanya istri simpanan.

Sandra merasa bantalnya basah. Ia berharap, sungguh-sungguh berharap, para peri pemetik air mata itu muncul malam ini.

Yogyakarta, 2009

Seluruh kisah masa kanak-kanak Sandra bisa dibaca pada cerpen Pelajaran Mengarang, karya Seno Gumira Ajidarma.

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman